Bagian 2: Dalu


Tiga hari berlalu sejak aku selesai menuliskan kisah Kencana.

Masih ada kisah lain yang harus kutulis, tetapi aku sengaja mengambil jeda untuk "beristirahat". Peristiwa-peristiwa yang harus kuceritakan ini memang luar biasa. Makanya, jika aku terlalu terburu-buru menuliskannya, bisa-bisa aku salah mengutip atau keliru dalam mengungkapkannya.

Selama tiga hari itu, aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Kegiatan kampus sedang diliburkan sampai jangka waktu yang belum ditentukan, akibat merebaknya serangan sebuah virus mematikan. Awalnya kupikir setelah pindah ke kota ini, masalah-masalah dalam hidupku akan berkurang sedikit, tetapi aku keliru. Virus itu jelas sebuah pengecualian, karena kemunculannya yang tiba-tiba bikin heboh orang-orang.

Aku baru setahun pindah ke kota ini. Sebelumnya aku berasal dari kota besar, dan kota tempat tinggalku sekarang lebih kecil dan sunyi. Demi kakakku, kami memutuskan untuk hijrah kemari. Rumah ini ukurannya kecil tetapi sangat nyaman. Karena hanya tinggal berdua, kami tidak memerlukan tempat tinggal yang besar. Selain itu ada sepetak halaman yang lumayan di belakang rumah dan kakakku memanfaatkan lahan itu untuk menanam bunga-bunga.

Di sini kami juga lebih akrab dengan tetangga.

Salah satu tetangga itu akhirnya menjadi sahabat karibku. Kalau dipikir-pikir, lucu juga rasanya kami bisa berteman baik. Aku dan sahabatku itu amat berbeda. Namun kami saling mengenal karena suatu peristiwa yang tak disangka-sangka. Aku akan menceritakan detilnya di lain waktu.

Hari ini aku sudah meneguhkan niat untuk menuliskan kisah yang kedua. Ini cerita tentang Dalu, seorang anak laki-laki yang tidak suka pada kucing...


...


Ketika cerita ini dimulai, Dalu duduk di kelas dua belas. Dari penjelasan orang yang pernah bertemu Dalu di kisah ini dimulai, penampilannya agak urakan. Potongan rambutnya pendek, alisnya tebal, dan dadanya tegap seperti tentara. Ada beberapa bintik jerawat di wajahnya, seperti remaja lainnya seumurannya. Cara berpakaiannya tidak bisa dibilang cool, mungkin lebih cocok acuh tak acuh; Dalu suka menggulung lengan kaosnya untuk memamerkan ototnya. Kemejanya selalu dikeluarkan, dan celana jinsnya juga agak melorot. Aku membayangkan Dalu sebagai tipe bad boy yang herannya sangat digemari dalam novel-novel remaja zaman now.

Pada masa itu, ponsel pintar belum ditemukan. Internet masih merupakan barang mewah yang hanya bisa diakses segelintir orang. Dalu juga tidak punya pacar, penampilannya yang agak berantakan sulit membuat gadis-gadis terkesan. Jadi Dalu menghabiskan sebagian besar waktunya dengan menonton televisi, membaca komik dan majalah remaja, mengisi teka-teki silang, atau main Nintendo – permainan konsol di era sembilan puluhan yang bisa dibilang adalah nenek moyang Playstation. Kalau bosan di rumah, dia akan keluar bersama teman-temannya, sekedar jalan-jalan dengan motor mengitari kota dan nongkrong di kafe-kafe sampai larut.

Karena libur akhir tahun, jadi sejak pagi Dalu hanya tinggal di rumah. Selesai sarapan, dia tidur tengkurap di sofa ruang keluarga sambil membaca beberapa komik yang dipinjam dari Reza, temannya. Sore nanti dia akan pergi berenang dengan teman-temannya. Namun sampai saatnya tiba, Dalu memutuskan untuk bermalas-malasan saja di rumah.

"Dalu..." Ibunya memanggil dari dapur. "Tolong belikan Mama lada sama ketumbar dulu di warung Ko Afung. Dua-duanya habis."

"Iya..."

Dalu tidak beranjak dari sofa dan masih menekuni komiknya. Setelah beberapa saat menunggu dan karena Dalu tak kunjung bergerak, akhirnya ibunya pergi sendiri ke warung.

"Dalu, tolong angkat jemuran dulu, nak. Di luar mendung, kayaknya sebentar lagi hujan."

"Iya..."

Dalu meraih komiknya yang kedua. Tak berapa lama ibunya masuk ke ruang tamu sambil memeluk sebuntal cucian yang baru diangkat.

"Ini ada beberapa baju yang masih lembab, termasuk seragam kamu. Tolong kamu setrika, ya..."

Dalu berbalik, perutnya terasa kram. Sekarang dia membaca sambil telentang. "Iya..."

"Kalau kamu lagi baca, televisinya jangan dinyalakan begini, dong. Boros listrik."

"Iya..."

Mamanya mengamatinya lalu berkacak pinggang. "Kamu iya-iya terus dari tadi tapi nggak pernah dilakuin. Sebenarnya kamu dengar Mama apa nggak, sih?"

Dalu berdecak kesal. "Iya, aku dengar kok, Ma. Aku lagi baca komik!"

"Kalau dengar tolong dilakuin dong, nak..."

"Iya, iya, sebentar..." Dalu menambahkan dalam hati. Dasar bawel!

Ibu Dalu kembali ke dapur untuk melanjutkan memasak, hatinya dongkol. Melihat ibunya pergi, Dalu merasa lega. Nyuruh-nyuruh terus. Nggak bisa lihat orang santai sedikit apa?

Dalu dan ibunya hanya tinggal berdua. Ayahnya meninggalkan mereka demi wanita lain saat Dalu kelas tiga SD. Sejak saat itu kedua orangtuanya berpisah. Dalu tidak begitu ingat tentang ayahnya, baginya lelaki itu hanya seperti bayang-bayang. Jenis orang yang tak perlu dikenang dengan sepenuh hati, apalagi mengingat perbuatannya. Meski Dalu sudah melupakan lelaki itu, bukan berarti dia memaafkannya. Ibunya juga tak pernah lagi menyebut-nyebut tentang ayah Dalu. Kalau Dalu terpaksa bertanya pada ibunya tentang ayahnya, ibunya hanya menjawab pendek-pendek. Keabsenan pria itu dalam hidup Dalu dan ibunya sempat menimbulkan luka yang mendalam, tetapi setelah sepuluh tahun, luka itu telah pulih. Ibunya pun memutuskan untuk tidak menikah lagi.

Ibu Dalu bekerja sebagai pegawai negeri sipil di kecamatan setempat. Dulu pendapatannya lumayan, tetapi setelah bercerai tunjangan keluarganya diberhentikan. Selain itu, kehilangan kepala keluarga juga menjadikan ibu Dalu sebagai pencari nafkah tunggal. Mereka pindah dari rumah keluarga yang lumayan luas ke kontrakan mereka sekarang ini; sebuah rumah satu kamar yang sempit. Dalu harus berbagi kamar dengan ibunya. Selain mereka berdua, di rumah juga ada Bik Inah sang asisten rumah tangga. Sebetulnya mereka tak punya cukup uang untuk menggaji asisten rumah tangga, tetapi ibu Dalu kasihan pada Bik Inah yang janda dan tak punya anak. Sekarang Bik Inah sedang mudik ke kampung halamannya.

"Dalu... Ke sini sebentar. Tolong Mama belah kelapa dulu."

"Iya..."

"Sekarang, ya. Jangan iya-iya aja kamu."

Meski sudah tahu jawabannya, Dalu bertanya untuk sekedar mengulur waktu. "Belah kelapa buat apaan sih, Ma?"

"Mama mau bikin klepon," jawab ibunya kalem. "Sama mau diambil airnya."

"Nanti aja sih, Ma!"

"Sekarang, Dalu. Kalau kesiangan, maag Mama kambuh lagi."

Dalu menggerutu keras-keras, membanting komiknya dan memaksakan diri ke dapur. Ibunya punya kebiasaan minum air kelapa alami setiap hari untuk meredakan penyakit maagnya. Air kelapa memang efektif mengurangi sakit maag. Sebutir kelapa rutin diantarkan setiap pagi oleh Bang Mamat, tukang sayur langganan mereka. Hari ini Dalulah yang kebagian tugas membelah kelapa itu.

Dalu tiba di dapur sambil memberenggut. "Mana martilnya?"

"Itu di bawah laci dapur." Mamanya menunjuk laci. "Kamu kok cemberut begitu? Mama minta tolong kamu karena belah kelapa kan susah."

"Iya, iya!" Dalu kesal sekali. Kenapa sih setiap ibu seperti nggak rela melihat anaknya malas-malasan saat liburan dan menyuruh mereka mengerjakan ini dan itu?

"Ketok kelapanya di teras belakang aja. Nanti berantakan kalau di sini."

"Iya, Ma. Aku tahu!"

"Nanti tolong sekalian diparutin juga, ya..."

"Mama bawel banget sih dari tadi! Nyuruh-nyuruh aku terus!"

Dalu baru sadar kalau balasannya itu sedikit kasar karena ibunya hanya terperangah menatapnya, lalu membuang muka. Wanita itu melanjutkan mengiris bumbu-bumbu klepon dalam diam, rahangnya mengetat. Namun Dalu tidak menarik kembali kata-katanya ataupun meminta maaf. Mama memang menyebalkan! Kenapa sih selalu aku yang dimintai tolong ini itu?

Dalu duduk di lantai teras belakang dan meraih kelapa. Menggunakan sisi kepala martil yang berbentuk pasak, dia mulai mengupas kulit luar kelapa itu. Ah, sialan! Dalu meringis saat sehelai serabut kelapa menusuk kulit tangannya. Seharusnya Bik Inah yang mengerjakan pekerjaan ini!

Begitu melihat batok kelapa yang berwarna cokelat gelap, Dalu mengayunkan martilnya kuat-kuat. Martil itu menghantam batok kelapa dan memecahkannya.

Air kelapa merembes keluar, membasahi lantai.

"Yah, kok airnya tumpah?" Ibu Dalu melongok dari balik pintu dapur. "Kamu mecahinnya terlalu kasar..."

Brengsek! "Kenapa sih Mama nggak beli air kelapa yang udah jadi aja?"

"Air kelapa yang udah jadi harganya lebih mahal, nak. Selain itu kalau kita beli kelapa utuh, kita bisa ambil dagingnya juga dan-"

"Mama kan cuma butuh airnya aja! Lagian aku juga nggak suka klepon!"

Ibunya berbalik dan kembali ke dalam dapur. Dalu membiarkan air kelapa yang tumpah itu dan masuk ke dapur untuk mengambil alat pengerik kelapa. Ibunya tidak mengatakan apa-apa, adonan klepon yang sedang dibuatnya tergeletak terlupakan di dekat dandang kukusan.

Dalu masih mendumel dalam hati. Sesampainya di teras belakang, dia menemukan ada yang sedang menjilati air kelapa di lantai. Itu adalah seekor kucing betina liar yang berbulu belang putih dan kuning. Kucing itu sering berkeliaran di sekitaran sini dan punya reputasi sebagai pencuri ulung.

Kucing sialan! Dalu mengayunkan martilnya ke arah kucing itu. "SHUH!"

Kucing itu mendongak dan menatap Dalu dengan matanya yang kuning gelap.

Dalu benci kucing itu. Seakan tugas-tugas dari ibunya belum cukup membebani, sekarang Dalu harus mencuci kelapa yang sudah diendus-endus si kucing. "Pergi! PERGI!"

Kucing itu mencoba membawa lari sepotong pecahan kelapa, tetapi Dalu menendangnya. Kucing mengeluarkan meongan tercekik dan cepat-cepat kabur, ekornya terjuntai lesu. Dalu mengejar si kucing, tetapi binatang itu melompat lincah ke atas pagar dan menghilang. Dalu terpaksa meredam kekesalannya. Dia hanya bisa menendang-nendang udara dengan kesal.

Aku benci Mama! Aku benci kucing! Aku benci semuanya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top