Bagian 1: Kencana


Kurasa sebaiknya cerita ini dibuka dengan kisah paling aneh yang pernah kudengar, supaya kalian tidak kaget dengan bagian-bagian selanjutnya.

Aku membaca kisah tentang Kencana dari sebuah blog. Tak banyak yang tahu apa yang sebetulnya terjadi padanya, karena sekarang keberadaannya menjadi tanda tanya.

Kencana hanyalah seorang gadis biasa berumur enam belas tahun. Namanya boleh saja berarti jelita, tapi rendahnya rasa percaya dirinya membuat Kencana sering merasa tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan gadis-gadis seusianya. Kulitnya sawo matang, tidak putih kemilau seperti model-model iklan remaja di dunia maya. Rambutnya panjang sepundak dan sering mengembang meski Kencana sudah mencoba berkali-kali meluruskannya. Bentuk wajahnya bulat agak tembam. Matanya besar seperti mata ayahnya. Bibirnya yang mungil seolah mencoba mengompensasi kebesaran matanya itu. Satu-satunya hal yang Kencana suka dari penampilannya adalah hidungnya yang lurus dan simetris – seolah Tuhan memakai penggaris sewaktu mengguratkan hidungnya.

Dari foto-foto yang ada di blog, menurutku sebetulnya Kencana adalah gadis yang manis andai saja dia tidak pemalu.

Di hari ketika rentetan peristiwa aneh itu dimulai, kepercayaan diri Kencana tidak lebih baik. Dia baru saja pindah ke kota, karena kampung halamannya hanya tinggal nama akibat ditunggangbalikan gempa. Dan hari itu adalah hari pertamanya di sekolah baru.

Sekolah barunya adalah sebuah SMA yang terletak di pinggiran kota. Bangunan sekolahnya terlihat layaknya sekolah biasa – berwarna kelabu kaku, menjemukan, dan bikin semangat menguap setiap Senin. Tapi Kencana sadar bahwa mulai hari ini gedung sekolah itu akan jadi rumah keduanya, tempatnya menghabiskan sebagian besar waktunya selama tiga tahun ke depan.

Perasaan Kencana campur aduk sewaktu melangkahkan kaki melewati gerbang depan sekolah. Dia antusias sekaligus cemas karena tak seorangpun teman SMP-nya yang ikut masuk ke sekolah ini. Tak hanya mengobrak-abrik kampung halamannya, gempa itu juga telah mengoyak tali persahabatannya dengan teman-temannya. Sejak malapetaka itu, hanya sedikit teman-teman Kencana yang masih betah tinggal di kampung, sisanya memilih angkat kaki demi kehidupan yang lebih tentram di tempat lain.

Bagaimana rupa teman-teman sekelasku nanti? Kencana bertanya-tanya dalam hati sambil masuk ke lapangan. Bisakah aku menemukan sahabat-sahabat baru?

Lapangan sekolah sudah penuh dengan anak-anak yang sedang menunggu upacara bendera dimulai. Ada beberapa genangan air sisa hujan deras semalam, jadi anak-anak itu bergerombol untuk menghindarinya. Anak-anak kelas sepuluh paling mencolok. Pakaian mereka masih baru, ujung topi mereka masih kaku, dan dasi mereka masih bertengger mantap di bawah dagu.

Kencana sudah tahu bahwa dia ditempatkan di kelas sepuluh C. Tapi di mana barisan kelas sepuluh C?

Kepanikan menyerangnya, memelorotkan rasa percaya dirinya yang hanya secuil itu jauh lebih rendah lagi. Aku tidak kenal siapapun di sini! Kencana terlalu malu untuk bertanya, tetapi risih juga hanya berdiri sendirian tanpa teman. Di mana barisan kelasku? Apa yang harus kulakukan?

Karena sibuk mengamati sekelilingnya, Kencana tidak menyadari ada seorang anak laki-laki yang sedang berlari ke arahnya sambil tertawa-tawa dengan seorang teman.

"Aduh!"

Anak laki-laki itu menyerempetnya. Untung saja Kencana langsung menyeimbangkan diri. Penabraknya itu tidak sempat mengerem larinya dan menginjak salah satu genangan air di lantai semen lapangan. Tak ayal, beberapa anak kelas sepuluh yang berdiri di dekat genangan terkena percikan air. Seragam baru mereka langsung basah. Tapi Kencanalah yang kena cipratan paling parah, karena dia yang berdiri paling dekat dengan genangan air itu.

"Ya ampun! Maaf!" Anak laki-laki itu mendekati Kencana. "Aku nggak sengaja!"

Air merembes dari bagian bawah rok baru Kencana, mengalir melewati betisnya menuju kaos kakinya lalu membasahi sepatunya. Rasanya seperti berdiri di atas spons cuci piring.

"Kamu..." Rasa kesal menggelegak di kerongkongan Kencana. Dia ingin berteriak, tapi tidak mau terlihat lebih memalukan lagi. "Kamu nggak... nggak..."

"Nggak pakai mata?" sambung anak laki-laki itu. Dia malah tertawa.

Nggak pakai mata! Persis itulah kalimat yang ingin Kencana ucapkan. Kok dia bisa tahu?

Kencana memberanikan diri mengangkat muka untuk melihat anak laki-laki itu.

Tubuhnya sedang, tidak kurus namun tak juga berotot. Rambutnya yang tebal dan gelap agak berantakan, seperti baru diacak angin. Matanya yang lebar tampak jenaka di bawah tudung bulu mata yang panjang-panjang seperti anak perempuan. Hidungnya sedikit bulat, tak sampai bangir. Di bawah kumis yang masih tipis-tipis hasil pubertas yang belum sempurna, ada sebuah mulut yang menyunggingkan senyum salah tingkah.

Semua yang ada pada anak laki-laki itu sedang-sedang saja, membuatnya tidak cukup tampan, namun bukan juga tak rupawan. Namun ada sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh Kencana, yang menguar lewat cengirannya dan sinar matanya. Menatapnya membuat Kencana merasa sedang ditarik ke arah anak laki-laki itu, seakan tubuhnya terbuat dari magnet.

"Lihat..." Anak laki-laki itu menunjuk celananya, senyumnya berubah jadi tawa gugup. "Aku juga kebasahan, kok. Jadi, maafin aku, ya. Aku nggak sengaja."

Memandangi pemuda itu membuat perasaan Kencana bergejolak. Sensasinya seperti matahari senja; hangat dan lembut.

"Ayo segera ke barisan kelas masing-masing!" Sebuah seruan yang dilantangkan lewat megafon bergema di seluruh lapangan. "Upacara bendera akan segera dimulai!"

Anak laki-laki itu meminta maaf sekali lagi lalu melambai singkat sebelum bergabung dengan sekelompok murid yang lain. Rasa hangat di dada Kencana menguat.

"Kelas sepuluh C!" Seorang wanita berseragam pegawai negeri sipil memanggil-manggil. "Ayo, baris di sini!"

Kencana mengikuti instruksi itu dan bergabung dengan teman-teman sekelasnya. Namun kelas dan teman-teman baru sudah tergusur dari benak gadis itu. Dia melongok untuk mencari-cari anak laki-laki yang menyerempetnya tadi. Meski berada di tengah lautan murid-murid, Kencana ingat betul wajah anak laki-laki itu. Pertemuan singkat mereka barusan sudah mematri rupa pemuda tanpa nama itu dalam keabadian memorinya.

Akhirnya Kencana menemukan anak laki-laki itu. Dia sedang berdiri sambil tertawa-tawa di barisan lain yang terpisah empat baris dari barisan Kencana.

Melihatnya membuat dada Kencana terasa hangat lagi.


...


Hari pertamanya di SMA baru itu berjalan normal. Sepanjang hari kegiatan belajar mengajar belum dimulai, karena setiap guru yang masuk ke kelas lebih banyak menghabiskan waktu untuk berkenalan daripada mengajar.

Kencana bersyukur karena dia bisa menemukan dua orang yang sepertinya bisa diandalkan. Ada Balqis, gadis berhijab yang duduk satu meja dengannya dan Lisye, gadis berwajah bulat dan senang tersenyum ceria yang duduk di depan Kencana.

Pada saat istirahat, Kencana mencari-cari penabraknya itu lagi. Diamatinya setiap wajah yang ditemuinya di kantin, berharap bisa bertemu lagi dengan anak laki-laki itu. Kencana ingin merasakannya lagi, perasaan hangat yang menyenangkan di dalam dadanya ketika bertemu pemuda itu. Apa namanya perasaan itu Kencana belum tahu pasti – dia baru pertama kali merasa seperti itu. Rasa hangat itu ibarat campuran berbagai macam perasaan lainnya; gembira, antusias dan bangga, berpadu dengan sedikit rasa malu, kikuk dan ragu.

Sayangnya, Kencana tidak bertemu dengan pemuda misterius itu. Saat pulang sekolah tadipun, dia sengaja berlama-lama karena berharap bisa berpapasan dengan pemuda itu lagi di gerbang sekolah. Mungkin sang waktu iri pada pertemuan singkat mereka, karena sepanjang sisa hari itu Kencana tak lagi bertemu dengan pemuda itu

Sayang sekali, pikir Kencana sedih. Aku belum tahu namanya atau kelasnya...

Namun Kencana ingat betul wajah si pemuda, detil cengirannya yang jenaka, matanya yang besar cokelat muda, dan rambutnya yang tergerai-gerai saat dia tertawa. Kini wajah itu sudah menjadi penghuni permanen baru di ingatan Kencana dan kelak gadis itu tak akan pernah melupakannya, selamanya.

Kencana kembali ke rumahnya dengan perasaan sedikit kecewa. Tapi dia menghibur dirinya sendiri. Besok pasti bisa bertemu lagi. Aku dan dia satu sekolah. Dia tak akan ke mana-mana...


...


Ojek online yang mengantar Kencana akhirnya berhenti di depan rumahnya. Rumah baru itu sempit dan tinggi, seakan sengaja dijejalkan di antara rumah-rumah lainnya yang sudah lebih dulu dibangun di kompleks perumahan ini. Desainnya yang minimalis terkesan hambar dan membosankan karena dua puluh rumah lain di jalan ini juga punya model serupa. Namun Kencana tidak memprotes, rumah ini lebih baik dari rumahnya di kampung yang kini hanya berupa reruntuhan puing-puing.

Kencana melintasi halaman rumah yang sebetulnya hanya sepetak tanah dengan rumput gersang kekuningan. Dari teras depan ada tiga anak tangga menuju pintu utama. Kencana duduk di salah satu tangga dan membuka sepatunya yang masih lembab akibat terciprat air tadi. Sepatu ini harus dicuci dan dijemur, pikirnya. Kalau tidak, besok pasti akan berbau tak sedap.

Dia menanggalkan sepatunya itu tangga. Kaos kakinya juga terasa liat karena air, membuat kakinya pengap. Cepat-cepat Kencana melepas kedua kaos kaki itu...

Kencana menggerakkan jari-jari kakinya, membiarkannya terkena angin. Tiba-tiba dia melihat sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang baru sekarang dialaminya...

Gadis itu menjerit panik.

Kedua ibu jari kakinya lenyap.


...


Ratih adalah nama ibu Kencana. Usianya awal empat puluhan, dan sewaktu muda dia pernah bekerja sebagai presenter televisi. Selama satu dekade malang melintang di dunia penyiaran, Ratih merasa dia sudah menyaksikan rupa-rupa hal, beberapa amat absurd dan sulit dipercaya. Namun yang satu ini belum pernah dijumpainya.

"Kencana... Coba kamu pegang."

Kencana menatap ibunya, matanya yang besar basah oleh air mata. Gadis itu menjulurkan tangannya yang gemetar ke arah kakinya, ke tempat ibu jari seharusnya berada.

"Sakit nggak?"

Kencana menggeleng.

"Coba pegang di kaki yang satunya lagi."

Tangan Kencana berpindah, kali ini ke kaki kirinya. Dia menggapai ke arah jempolnya semula berada, tapi hanya menggenggam udara kosong.

"Aku kenapa, Ma? Kok dua jempol kakiku hilang?"

Ratih menelan ludah. Dia juga kebingungan. Kedua jempol kaki anaknya lenyap tak berbekas, seperti jawaban salah dalam lembar ujian yang sudah dihapus bersih-bersih.

"Kapan kamu sadar kalau jempol kamu udah menghilang?"

"Pas aku buka kaos kaki."

"Tapi tadi pagi masih ada, kan?" Ratih merasa tolol menanyakan hal seperti ini. "Pas kamu pakai kaos kaki sebelum berangkat sekolah?"

Kencana mengangguk. "Aku kenapa, Ma?"

Sebagai orangtua tunggal, Ratih selalu berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan Kencana, termasuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Sekarang hatinya terasa teriris-iris, karena dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi pada putrinya.

Apa yang terjadi pada anakku? Bagaimana bisa dua jempolnya menghilang?

"Bu Ratih... " Seorang wanita melongok dari balik pagar pembatas rumah yang rendah. "Ada apa? Kok Kencana menangis begitu?"

"Oh, ini Bu RT..." Ratih jadi gugup. Apa aku harus menjawab jujur? Bagaimana reaksi para tetangga jika tahu apa yang terjadi? "Itu... anu... kaki Kencana keseleo."

"Keseleo?" Bu RT kedengaran prihatin. "Dipijat, atuh. Saya ada kenalan tukang pijat. Pas bapak jatuh dari kursi waktu itu dipijat sampai sembuh. Sebentar, saya carikan nomornya..."

"Nggak perlu repot-repot, Bu RT," potong Ratih cepat-cepat. Kalaukan saja aku yang adalah ibunya sulit memercayai apa yang terjadi pada anakku, bagaimana dengan orang lain? Pasti merekapun tidak akan percaya. "Sepertinya cuma perlu dikompres air panas."

"Dipijat aja. Ini lagi saya carikan nomornya," kata Bu RT. Jemarinya yang gemuk-gemuk menari-nari di atas layar ponsel, mencari nomor sang tukang pijat. "Nah, ketemu. Ini nomornya."

Karena merasa tidak enak, Ratih menyalin nomor itu di secarik kertas.

"Paling-paling dipijat dua kali udah mendingan."

"Terima kasih, Bu RT."

"Kencana, jangan banyak jalan dulu, ya..."

Kencana mengangguk dan berusaha menutupi jempol kakinya yang hilang dengan memakai sepatu. Ratih cepat-cepat membimbing putrinya ke dalam rumah dan menutup pintu supaya Bu RT tidak bertanya lebih jauh lagi.

Ratih mendudukkan Kencana di sofa ruang depan. Lalu dia menyambar kunci mobil. "Kita ke dokter sekarang, ya..." 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top