Bab 7

Aku langsung menepis tangannya, “Lepasin, aku udah kesiangan ini, Mas. Kamu lakukan saja sesuka hatimu. Aku nggak peduli.”

“Selly, tunggu!” Tiba-tiba Mas Ardi menarik kembali tanganku dan memeluk erat.

Aku hanya menahan napas, dan mengembuskannya perlahan. Tak ada rasa atau getaran sama sekali ketika aku berada dalam pelukannya seperti ini.

“Maafin aku ya, Sel. Aku nggak tahu harus meminta maaf seperti apa lagi sama kamu. Jujur aku juga ingin normal, tapi aku nggak bisa “

Aku mendorong pelan tubuhnya agar menjauh, “Aku yang salah, Mas. Harusnya aku pergi, tapi kamu juga pasti tahu apa yang membuatku seperti ini.”

“Nanti setelah Bagas lulus, aku mau kamu nikah sama dia.”

“Stop ngomongin pernikahan sementara kita masih ada ikatan. Aku berangkat.”

Dengan cepat aku melangkah menjauh meninggalkan Mas Ardi yang masih berdiri di depan pagar rumah. Ketika aku menoleh, Romi tampak mendatangi Mas Ardi dan berdiri di sampingnya.

Aku sempat membaca berita tentang seorang selebgram yang menikah dengan pria tampan. Ternyata punya selingkuhan yang tak lain adalah laki-laki yang pernah menjadi saksi di pernikahannya.

Awalnya aku pikir kok bisa si istri nggak sadar kalau suaminya itu punya kelainan. Sampai akhirnya aku sendiri yang menjadi salah satu istri yang tidak tahu kalau suamiku juga seperti itu.

Pernah dengar katanya seseorang yang punya pandangan berbeda pada laki-laki, kemungkinan ada kecenderungan penyuka sesama jenis. Aku tidak tahu bagaimana cara membedakannya, karena memang dilihat dari postur tubuh dan gerak gerik Mas Ardi tidak ke arah sana.

“Pagi Bu Selly cantik sayangku cintaku,” sapa Bagas sambil menyerahkan helm ke arahku.

Wajahku pasti merah nih sepagi ini di sudah disapa sama berondong, mana murid sendiri.

“Pagi juga, kamu nggak mandi ya?”

“Ih, mandi lah, Bu. Emang kurang wangi? Sebentar aku pakai minyak wangi dulu.” Bagas langsung membuka tas ranselnya, tapi kucegah.

“Nggak ko nggak, bercanda, abis muka kamu kaya orang bangun tidur,” ujarku sambil naik ke boncengan.

“Yaah, namanya juga laki, Bu. Mandi sat set, nggak dandan, bedakan apalagi. Bisa sikat gigi aja udah syukur.” Tak lama Bagas terbahak.

“Jangan jorok,” kataku.

“Hahaha, apalagi kalau udah nikah sama Ibu, bisa sehari aku mandi sepuluh kali.”

“Apa hubungannya nikah sama mandi, ngaco kamu.”

“Ya ada lah, Bu. Heheh, Ibu pura-pura nggak tahu nih.”

“Ngabis-ngabisin sabun sama air aja kalau keseringan mandi.”

“Nggak apa-apa lah, Bu. Kan nanti hidup kita dibiayain sama Pak Monster.”

Lagi Bagas terbahak, aku hanya senyum-senyum. Nih bocah khayalannya udah tembus sampai planet Pluto kayanya. Nggak masuk akal, mana ada Mas Ardi mau biayain hidupku sama Bagas.

“Ibu bawa susu?” tanyanya.

“Bawa nih, ngegantung,” godaku sambil ketawa.

Bagas ikut terbahak. “Hah, Ibu mah giliran aku serius nanya, Ibu yang godain saya.”

“Enggak, jadwalnya kan tiga hari sekali. Kenapa?”

“Eum, semalam susunya meledak, tumpah semua, Bu.”

“Ko bisa?”

“Nggak tahu tuh, jatuh gelinding kan berbusa, dibuka yaudah tumpah.”

“Yaudah, besok ya. Hari ini palingan sore kalau mau, saya ambil ke rumah kakak saya dulu.”

“Iya, Bu. Kabarin aja, nanti biar saya yang jemput Ibu.”

Tak lama kemudian kami tiba di depan pagar sekolahan. Aku langsung turun dan menyerahkan helm pada Bagas. Bagas memarkir motornya dan aku melangkah menuju ruang guru.

“Assalamualaikum,” sapaku.

“Waalaikumsalam.”

Beberapa guru yang sudah datang menoleh sekilas sambil menjawab salam. Aku tersenyum dan melangkah ke meja Bu Lastri.

Wanita dengan jilbab coklat Pramuka itu menatapku dengan wajah berseri. Meski kerutan sudah tampak di bagian wajahnya, dia masih terlihat cantik dan segar. Ditambah dengan lisptik merahnya menyungging senyuman.

“Cantik banget kamu, Sel. Ngajar di mana pagi ini?” sapanya sambil memujiku.

Cantik juga percuma, Bu. Suami saya sukanya sama laki-laki.

“Di TK, Bu,” jawabku sambil menyerahkan berkas dan flashdisk miliknya lalu duduk sejenak di kursi.

“Bu Selly, sebenarnya Bagas itu beneran keponakannya Bu Selly bukan sih? Apa kalian pacaran?” tanya seorang laki-laki yang sudah berdiri di sebelahku.

Aku tersenyum kecil. “Masa saya pacaran sama murid sih, Pak? Saya juga kan ada suami.”

“Oh jadi yang beredar selama ini benar kalau kalian itu hubungannya keponakan? Tapi kok mesra ya?”

“Ya gimana ya.”

“Halah, Pak. Keponakan kan kaya anak sendiri, ya wajar wajar saja. Lagian nggak usah ngurusin hidupnya orang. Bu Selly sama Bagas juga di sekolahan nggak pernah ketahuan mesum, berduaan, atau kepergok ciuman kan?” Bu Lastri membelaku.

“Bukan begitu, Bu. Tidak enak saja kalau dilihat orang luar yang nggak tahu. Nanti pandangan orang terhadap citra guru jadi buruk.”

“Terima kasih ya, Pak. Sudah diingatkan,” kataku tersenyum kecil.

Omongan itu tidak sekali dua kali kudengar, mungkin karena aku yang memang merasa kedekatan kami seperti kakak adik, jadi kuanggap omongan itu ya hanya angin lalu saja.

Jadi tidak enak kalau sampai ada omongan buruk, kenapa aku tidak kepikiran sampai ke sana ya.

Mungkin aku harus jaga jarak dulu sama Bagas, tapi, mana bisa. Bocah itu selalu mendekat setiap kali melihatku di sekolahan ini.

“Tapi, suami ibu nggak marah kan sama Bagas?” tanya si bapak lagi, Pak Ndaru namanya. Guru pelajaran matematika itu terus mengingatkanku.

“Ya kali marah, kan ponakan sendiri,” ujar Bu Lastri kembali menimpali.

Bu Lastri adalah satu-satunya guru yang paling mengerti aku. Kadang aku suka curhat juga dengannya, walaupun bukan masalah rumah tangga. Melainkan bagaimana cara agar aku bisa mengajar dan mendidik murid dengan baik.

“Nih jangan-jangan, Pak Ndaru cemburu ya, lihat kedekatan Bu Selly sama Bagas, ih inget istri di rumah, Pak. Suaminya Bu Selly juga ganteng, pengusaha sukses pula. Udahlah, Bapak jangan dekat-dekat sama Bu Selly, Pak.” Kali ini Bu Riana guru bahasa Indonesia ikut berbicara.

Dia menghampiriku dan merangkul bahuku, karena kami memang dekat dan juga seumuran.

Pak Ndaru yang diledek hanya meringis saja, aku juga tahu kalau maksud dia hanya mengingatkan, dan juga Riana juga bercandaan saja.

Tak lama bel masuk berdentang, beberapa murid yang kulihat masih di luar langsung buru-buru masuk kelas. Sementara guru yang di dalam ruangan pun bersiap.

“Bu Selly, kita ngajar dulu ya.”

Beberapa guru berpamitan padaku, aku hanya tersenyum kecil melihat mereka yang semangat untuk mengajar pagi ini.

Karena masih pukul 07.00 sementara aku mengajar di pukul 09.00. Aku ingin ke kantin sekolahan dulu untuk mencari sarapan. Karena tadi hendak makan di rumah rasanya sudah tak bernafsu melihat kedua laki-laki sakit yang tanpa dosa bermain di kamarku dengan suamiku.

Sebelum ke kantin, aku hendak ke toilet guru terlebih dahulu untuk buang air kecil juga merapikan rambut.

Baru membuka pintunya, aku mendengar suara dari dalam bilik toilet yang tertutup. Karena bagian bawahnya berlubang, aku bisa melihat kalau di dalam sana ada dua pasang kaki.

Astaga.

Aku mengetuk pintunya. “Siapa di dalam?” tanyaku.

Tak ada sahutan, tapi yang kulihat keduanya berseragam putih abu-abu. Satu pakai rok, dan satunya pakai celana panjang.

“Mau keluar, atau saya dobrak!”

“Aaahh, sakiiit, pelan-pelan,” lirih suara desisan dari dalam bilik.

Aku menelan ludah dan hati ini rasanya pun panas mendengarnya.

“Satu ....”

Aku mulai menghitung, dan menjauh hendak menendang pintu. Tak peduli sedang apa mereka di dalam sana.

“Dua ....”

.

Vote komennya yaaa ges

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top