Bab 6
Entah mengapa aku tak bisa menolak, menurut apa kata Romi. Mengambil ponsel dan selimut membawanya ke kamar tamu.
Kulihat kamar Mama pun pintunya sudah tertutup, pasti Mama juga sudah tidur. Sementara Mas Ardi berada di depan televisi, tak tahu dia sedang apa.
“Maaf, ya, Sayang. Malam ini kamu tidur sendiri dulu,” ucapnya melihatku.
Aku hanya menghela napas, bukankah kalau Romi datang memang kamu selalu menghilang dari kamar ketika tengah malam?
Kali ini sepertinya Romi menginginkan kamar kami untuk melakukan ritualnya.
Aku buru-buru masuk kamar sebelum Mama mendengar perbincangan aku dengan Mas Ardi.
Di kamar tamu aku hanya terdiam, berbaring, menatap langit-langit kamar. Masih tak percaya saja kalau hampir lima tahun aku bertahan dalam rumah tangga yang seperti ini, di mana kedua orang tuaku juga Mama mertuaku sama sekali tak mengetahui siapa Mas Ardi sebenarnya.
Masih teringat jelas saat pertama kali aku dan Mas Ardi tidur bersama dalam satu kamar. Ketika baru menjadi pengantin, tak ada yang aneh memang saat dia bilang kalau capek ingin langsung tidur.
Aku memakluminya, hingga seminggu lamanya aku tak disentuh olehnya sama sekali. Kupikir dia memang benar-benar lelah, ternyata dia sama sekali tak bergairah denganku.
Aku berusaha untuk memejamkan mata karena besok harus bangun pagi mengerjakan tugas yang diberikan oleh Bu Lastri dan belum kukerjakan sama sekali.
.
Aku terbangun karena perutku serasa perih, mungkin karena semalam aku tidak makan malam. Hanya sedikit, lalu minum es bersama Bagas.
Kulihat jam di dinding masih pukul 02.45, aku beringsut dari ranjang dan melangkah ke pintu.
Sambil menguncir rambut, aku menuju ke dapur. Menghidupkan lampu dan mencari mie instan di atas lemari dekat wastafel cucian piring.
Aku merebus air di dalam panci, mengambil sebutir telur dari lemari es. Mangkuk, juga sendok dan garpu di rak piring.
Makan mie instan dini hari sebenarnya tidak baik, tapi mau gimana lagi, makan nasi pun aku tidak bernafsu.
Suara air dalam panci mulai bergemuruh, aku memasukkan telur terlebih dahulu ke dalam air mendidih, setelah itu barulah mie rebus rasa kari ayam kupilih. Tidak ada sawi atau rawit, tak apalah, yang penting perut aku terisi.
Sambil menunggu mienya matang, aku membuka bungkus bumbu dan menuangnya ke dalam mangkuk. Namun, tiba-tiba saja aku mendengar suara yang tak asing.
Suara itu terdengar samar tapi aku tahu itu berasal dari mana arahnya. Sementara aku abaikan suara tersebut karena mie dalam panci mulai mengembang.
Aku mematikan kompor dan menuang mienya ke mangkuk, setelah itu kuletakkan panci kotor ke wastafel dan membawa mie ke meja makan.
Suara itu semakin lama semakin terdengar kencang, aku ingin tahu apa yang dilakukan suamiku bersama Romi. Karena selama ini aku hanya melihatnya di handphone Mas Ardi berupa video saja.
Kuberanikan diri melangkah ke depan pintu kamar yang biasa aku dan Mas Ardi tempati untuk tidur.
Mereka sadar nggak sih kalau pintunya terbuka sedikit, semisal Mama terbangun dan melihat apa yang mereka lakukan di dalam sana. Bisa kena serangan jantung, bahkan kedua mataku sampai tak berkedip melihat pemandangan menjijikan di dalam kamar yang remang-remang itu.
Air mata ini tanpa terasa menetes, baru ini aku melihat Mas Ardi begitu bernafsu menjajaki tubuh Romi. Kulihat permainan dia pun pintar, dia yang berperan sebagai laki-laki alias top, sementara Romi berperan menjadi si perempuan alias bottom.
Gila, aku melihat apa yang seharusnya tidak kulihat. Aku menutup pintunya dengan rapat, jijik, ya sangat jijik dengan kelakuan mereka berdua.
Aku melangkah kembali ke ruang makan, mie di atas meja masih terlihat mengepul asapnya. Aku duduk, menyesap kuah mie perlahan.
Bagaimana bisa seorang laki-laki tidak bernafsu dengan perempuan? Aneh.
Aku tidak pernah melihat milik Mas Ardi setegang tadi, bahkan aku pernah memaksanya untuk mencoba mencumbuku. Tapi, tetap tidak berdiri.
Aku pernah berpikir apa aku kurang cantik? Apa badanku ini bau? Atau tubuhku kurang seksi? Ternyata bukan, tapi karena aku bukan tipenya.
Aku menelan mie dengan susah payah, masih teringat dengan bayangan permainan kotor suamiku dan sepupunya itu.
“Selly?”
Deg, suara Mama.
Aku menoleh, tersenyum kecil melihat Mama melangkah menghampiriku dan berdiri di sampingku.
“Kamu bikin mie?” tanyanya.
“Iya, Ma. Laper,” kataku meringis.
“Ya kamu sih tadi makannya Cuma dikit.”
“Mama kok bangun?”
“Mama keingiet lopis Mama tadi udah dimasukin kulkas belum, takut basi.” Mama melangkah ke lemari es dan membuka pintu kulkas dua pintu tersebut. “Aman.”
Aku tersenyum dan mengangguk.
“Yaudah, kamu lanjutin makannya. Mama mau nemuin Ardi. Dia bangun juga kan?”
“Mas Ardi tidur, Ma. Kasihan kayanya kecapean,” kataku meringis.
“Owh, kalian abis main kuda-kudaan ya? Iya deh, Mama paham, pantas kamu lapar. Yaudah, Mama lanjut tidur lagi aja deh. Kamu makan yang banyak, pake nasi mienya. Kali aja jadi Dedek bayi.” Mama semringah masuk kembali ke kamarnya.
Huft, bukan Dedek bayi, Ma. Tapi jadi eek.
.
Esoknya di ruang makan, aku yang buru-buru hendak ke sekolahan melihat Mas Ardi, Mama, juga Romi sudah menunggu di kursinya masing-masing.
“Sibuk banget, Sel?” tanya Mama.
“Iya, Ma. Mau ke sekolahan dulu, abis itu baru ke kolam renang langsung.”
“Ke sekolahan ngapain?” tanya Mas Ardi dengan pandangan sinis.
Aku mengernyit. “Nganter berkas yang kemarin kamu bawain itu loh, Mas.”
“Bukan alasan lain?” tanyanya seolah menginterogasi.
“Maksudnya?” tanya Mama bingung.
Aku juga bingung apa maksud Mas Ardi, apa dia pikir aku mau pacaran sama Bagas? Ya mana mungkin sepagi ini.
“Nggak tahu tuh, Ma. Aku jalan duluan ya, nanti aku sarapan di kantin saja.” Aku pamitan, melirik Romi sekilas, dan dia melihatku juga.
Ish, geli kali aku ingat dia semalam desah desah sambil nungging.
“Hati-hati ya, Sayang,” ucap Mas Ardi.
Huek, sayang sayang, kalau nggak inget hutang Papa sama wasiat papanya, sudah kubongkar semua kebusukan mereka berdua itu.
Ting.
Ponselku bergetar, aku yang hendak memesan ojek online melihat pesan WhatsApp masuk terlebih dahulu.
Bagas [ Bu Selly sayangnya aku, aku udah di depan komplek nih, ke sini ya berangkat bareng.]
Aku tersenyum kecil, rezeki. Nggak perlu keluar ongkos buat bayar kang ojek.
Saat aku hendak melangkah keluar pagar, tanganku seketika tertarik ke belakang. Mas Ardi baru saja menarik tanganku, menggenggamnya erat sambil menatapku.
“Semalam kamu ngintip kan?” tanyanya dengan tatapan tajam.
Deg. Kok Mas Ardi bisa tahu?
Aku harus jawab apa ini?
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top