Bab 5

Pukul 21.05 aku kembali tiba di rumah, mobil milik Mas Ardi pun sudah ada di halaman. Itu tandanya dia sudah pulang.

Aku melangkah menuju pintu yang terbuka, suara obrolan terdengar. Ketika aku tiba di depan pintu, menatap siapa yang ada di ruang tamu berbincang asyik dengan Mama mertuaku.

Romi, laki-laki yang usianya lebih muda dari Mas Ardi. Badan tegap berisi, wajahnya juga rupawan, senyumannya manis, dia melihat ke arahku dan tersenyum mengangkat alis.

“Hallo, Selly. Kamu dari mana, Sayang?” tanyanya akrab.

“Pesanan Mama ada, Sel?” timpal Mama.

“Ada, Ma., Aku dari pasar malam, Mas,” jawabku pada Romi yang kupanggil Mas karena memang usianya lebih tua dariku.

Dia adalah sepupunya Mas Ardi dari kakaknya Mama. Mungkin sekarang usia Romi dua puluh delapan atau sembilan, pekerjaannya sebagai staf marketing di salah satu perusahaan swasta.

Kalau dilihat dari segi materi harusnya sudah cukup matang untuk berumah tangga. Tapi, dia lebih memilih untuk melanjutkan karirnya sampai puncak baru cari istri, itu juga kalau pikirannya bisa berubah.

“Eh, kamu udah pulang, Sayang?” tanya Mas Ardi yang tiba-tiba datang dan duduk di ruang tamu.

Mas Ardi dan Romi duduk bersisian, rambut Mas Ardi basah, pasti pulang kerja langsung mandi.

“Tadi kalian ketemu di mana?” tanyaku.

“Oh, aku yang nyamperin Mas Ardi, Sel. Ke tempat fitness biasa dia ngajar. Soalnya kalau nyuruh Mas Ardi jemput aku, jalannya muter.”

“Oh gitu, emang kalian mau ke mana?”

“Nggak ke mana-mana, aku mau nginep sini ya,” ujar Romi.

Deg.

Jantungku seketika berhenti, lalu menarik napas pelan sambil menelan ludah memandang mas Ardi yang sibuk membuka plastik jajanan pesanan Mama. Sementara Romi menatapku meminta persetujuan.

“Sampai kapan nginep di sini?” tanyaku lagi.

“Aku nggak tahu, sambil nyari kosan baru aja, Sel. Soalnya yang kemarin airnya sering mati,” jawab Romi.

“Kamu kenapa sih, Sel? Masa nanyanya gitu sama Romi, biar saja Romi nginep sini, mau tinggal di sini juga nggak apa-apa.” Mama menimpali.

“Ditawarin di apartemen aku aja nggak mau,” sahut Mas Ardi.

Aku melirik sinis, apartemennya? Mas Ardi punya apartemen kok nggak pernah bilang sama aku?

“Oh, yaudah aku ke kamar dulu ya, capek.” Aku beranjak dari duduk.

“Makasih, ya, Sel,” ucap Mama.

“Iya, Ma. Sama-sama.”

Aku menuju ke kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Entah mengapa sesak dada ini kembali menyergap, ah semoga apa yang pernah terjadi waktu itu tidak kembali terulang dengan keberadaan Romi di sini. Aku benar-benar takut kalau laki-laki itu datang dan sampai menginap di rumah ini, apalagi dengan jangka waktu yang lama.

Baru saja aku hendak melepas jaket, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Mas Ardi berdiri di depan pintu, melihatku sekilas dan masuk sambil kembali menutup pintunya.

“Tadi pergi sama Bagas?” tanyanya

Aku hanya mengangguk, meletakkan jaket di paku samping lemari.

“Kamu mencintai dia?”

“Kamu ngomong apa sih?”

“Sel, jujur. Aku lihat kamu mulai mencintai dia, kalian saling mencintai, ayolah, Sel.”

“Ayo apa, Mas?” tanyaku bingung sambil duduk di tepi ranjang.

“Kita raih kebahagiaan kita masing-masing.”

“Ha? Maksudnya?”

“Aku mau kamu nikah sama Bagas, Sel. Tapi jangan sampai ketahuan Mama.”

Aku menggeleng. “Mas, pernikahan itu sakral, kamu pikir dengan aku menikah sama Bagas. Keluarga Bagas juga akan diam saja? Keluarga aku juga? Nggak habis pikir sama jalan pikiranmu, Mas.”

“Kalau kamu mau senang-senang yaudah, bersenang-senang lah. Toh selama ini aku juga nggak pernah ganggu kebahagiaan kamu kan? Kamu mau ngapain, jalan sama siapa, aku nggak peduli,” sambungku lagi.

“Iya, aku juga nggak pernah peduli, tapi kamu istri aku, Sel. Apa yang kamu lakukan ada di bawah kendaliku.”

“Yaudah, trus mau kamu apa, Mas?”

“Aku mau kamu juga bahagia, Sel. Kaya aku juga, aku mikirin kamu, kamu harus bahagia. Aku tahu kebahagiaan kamu itu sama Bagas.”

Huft.

“Aku nggak akan menikah lagi sampai tujuanku tercapai,” ucapku.

“Itu sama saja kamu doain mamaku meninggal, Sel.”

“Ssst, nggak usah kenceng-kenceng, Mas. Udah sana temani Romi,” kataku mengalihkan pembicaraan.

Mas Ardi mendengkur kesal, lalu keluar kamar dengan menutup pintunya keras.

Aku membaringkan tubuh di atas kasur, seandainya saja perjanjian itu bisa dilanggar. Seandainya waktu bisa diputar kembali, aku lebih memilih untuk tidak dilahirkan ke dunia.

Ting. Ponselku berkedip, kulirik benda di sampingku, pesan whatssapp masuk dari Bagas.

[ Sayangku, sudah bobo?]

Manis banget sih dia nanyanya. [ Belum, Sayang,] balasku.

Apa aku juga harus berpura-pura jatuh cinta, demi kebahagiaan aku?

[ Duuuh, pasti nggak dikelonin sama mas suaminya. Sini aku yang puk puk aja. ]

Aku kembali tersenyum membaca balasan chatnya.

[ Puk puk apa? Puk puk kompos? ]

[ Hahaha, itu pupuk sayangku .... ]

[ Kamu tidur sana, besok kan sekolah. ]

[ Kelonin ....]

[ Jangan manja, udah gede.]

[ Biarin, aku kan manja Cuma sama kamu, Sayang. ]

[ Yaudah bobo. ]

[ Eum, besok Bu Selly ngajar di mana? ]

[ Di TK Tadika Kesra. ]

[ Jam berapa? ]

[ Jam sembilan. Kenapa? ]

[ Mau jemput, tapi masa aku harus bolos? ]

[ Ngapain? Udah sekolah yang bener, biar lulus.]

[ Maunya sih berduaan sama Bu Selly.]

[ Lulus dulu, katanya mau nikahin saya.]

[ Ha? Beneran, Ibu mau saya nikahin?]

Duh, salah nulis aku. Bales gimana nih?

Tau ah, nggak usah dibalas, tinggal tidur saja. Kumatikan data internet agar Bagas tidak kembali menghubungiku. Besok kalau ditanya tinggal bilang habis baterainya.

Klek.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka, kini kulihat Romi di tengah pintu, dan buru-buru masuk sambil menutup pintunya.

Aku duduk dan memandang curiga, mau apa di ka kamar? Ke mana Mas Ardi?

Langkahnya pelan menghampiriku.

“Sel, aku tidur sini ya sama Mas Ardi. Kamu tidur di kamar tamu,” ucapnya dengan suara lirih.

....
Di KBM app sudah tamat
yang mau beli ebooknya bisa ke play store yaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top