Bab 4

Bagas menjemputku di ujung jalanan komplek, nggak mungkin dia masuk sampai depan rumah. Nanti Mama curiga karena aku bilangnya pergi sendiri ke pasar malamnya.

Lokasinya sih nggak jauh, ada di belakang komplek perumahan yang kutinggali. Jadi, ada lapangan besar gitu, pembatas antara perumahan dan perkampungan warga.

Aku melihat motor milik Bagas dari kejauhan, bocah itu masih duduk di atas motornya dengan jaket warna merah. Tak lama dia menoleh, dan tersenyum ke arahku.

“Lama ya?” tanyaku.

“Berapa lama pun akan kutunggu, demi Bu Selly,” ujarnya terkekeh.

“Udah izin papah belum kalau mau keluar malam?”

“Udah, Bu. Tenang aja, papah aku kan baik, heheh.”

Aku tersenyum lagi, yaaah melihat dan mendengar tawa Bagas yang renyah. Sedikit mengurangi perasaanku yang saat ini mulai jenuh dengan kehidupan rumah tanggaku yang nggak tahu mau dibawa ke mana arahnya.

“Ayo, Bu,” ajak Bagas, dan aku langsung naik ke boncengan.

“Ibu udah makan belum?”

“Baru dikit sih tadi, nggak nafsu. Pengen yang seger-seger, nanti beli es teler yuk!” ajakku.

“Boleh, emang Ibu ke pasar malam mau beli apa?”

“Mama nitip lopis sama serabi.”

“Owh, trus Bu Selly nggak kepengen beli makanan apa gitu, kaya Korean food, takoyaki, corndog.”

“Emangnya saya anak kecil, nggaklah. Pengen minum yang seger aja.”

“Ibu capek banget ya?”

“Eum, rasanya pengen mengakhiri semuanya, tapi saya ingat orang tua saya.”

“Yang sabar ya, Bu. Ibu tenang aja, aku bakalan bantu Ibu semampu aku.”

“Makasih ya, tapi kamu jangan lupa sama kewajiban kamu sebagai pelajar. Harus lulus dengan nilai bagus, kuliah, trus kerja, biar bisa ngebanggain kedua orang tua. Jangan kaya saya ya.”

Aku dan Bagas terdiam, mungkin ucapanku bukan yang pertama kali dia dengar. Tapi, aku merasa harus selalu mengingatkannya untuk semangat menuntut ilmu.

Karena aku? Ya aku yang lulus SMA langsung dijodohkan oleh Papa dengan Mas Ardi yang katanya anak pengusaha kaya, tak lain adalah sahabat Papa. Akupun kuliah sambil menikah, dan sekarang sudah lulus, walaupun nggak nyambung sama pekerjaanku.

Kupikir hanya perjodohan biasa, ternyata ada rencana Papa di baliknya. Sayangnya, Papa nggak mencari tahu dulu pria yang akan dijodohkan denganku itu seperti apa.

Semua bagai nasi yang sudah jadi bubur, aku dan Mas Ardi pun terpaksa mengelabui keluarga dengan berpura-pura mesra dan bahagia di hadapan mereka.

Muak, jujur aku muak!

Sampi akhirnya kami tiba di parkiran pasar malam, aku turun dari motor dan Bagas pun memarkir kendaraannya.

Tangan Bagas meraih tanganku, menggandengnya seperti seorang ayah yang takut anaknya hilang.

Usiaku dengan Bagas pun hanya terpaut lima tahun, Bagas delapan belas, sementara aku dua puluh tiga tahun. Sedangkan Mas Ardi tiga puluh lima tahun.

“Tuh, Bu, yang jual lopis. Aku mau beli corndog dulu ya, Bu. Buat Zahra.” Genggaman tangannya terlepas, Bagas melangkah menuju ke tukang corndog setelah mengantarku di depan penjual lopis.

“Bu, lopisnya lima ya, serabinya empat.” Aku menunjuk dua jenis kue pesanan Mama.

Ibu penjual langsung membungkus pesananku, dan aku pun membayar. Setelah itu, aku menghampiri Bagas yang masih berdiri mengantri.

“Eh, udah, Bu?”

“Udah.”

“Tungguin ya, Bu. Sebentar lagi,” ujarnya.

Aku mengangguk sambil melihat sekitar, tak hanya makanan saja yang banyak dijual di sini. Melainkan ada baju-baju juga, baju orang dewasa, anak-anak, perabotan rumah tangga, mainan, sayuran dan juga buah pun ada.

Kalau Mama lebih suka belanja di mamang sayur yang tiap hari lewat depan rumah. Soalnya dia kalau mau masak senangnya ya dadakan aja gitu, jadi nggak pernah namanya nyetok belanjaan buat sebulan kaya orang-orang.

Aku sih manut aja apa yang dimasak mertuaku, kalau disuruh ikutan masak ya baru aku bantu-bantu.

“Udah nih, Bu. Yuk!” Bagas kembali menggandeng tanganku, kubiarkan saja sampai kami kembali ke parkiran.

“Mau beli es teler di mana, Bu?”

“Di tukang mie ayam dekat gapura, tau kan?”

“Oh, tau dong.”

Kami kembali naik ke atas motor dan melaju di perjalanan malam. Karena jaraknya juga dekat, aku dan Bagas turun dan memesan dua es teler.

Namun, tiba-tiba ponselku kembali bergetar. Sebuah pesan WhatsApp masuk dari teman sekolahku dulu. Liana namanya, ngapain dia wa tiba-tiba?

[ Halo, Sel, gimana kabarnya? ]

Aku mengernyit, tumben, teman yang bertahun-tahun tidak pernah bertemu dan bertegur sapa walaupun punya kontaknya. Eh tiba-tiba nongol nanyain kabar.

[ Iya, Lia, baik kok. Ada apa ya, tumben? ]

[ Sel, di sekolahan lu ada loker nggak? Apa kek, ngajar atau apa gitu. Gue butuh banget kerjaan nih. Suami gue udah kena abis kontrak. Kebetulan kan ijazah gue sarjana pendidikan. Bisa kali ngelamar di sekolahan bokap lu. ]

Dih, apaan nih?

Kemarin nikah nggak ngundang, giliran susah baru inget kalau aku temannya.

[ Maaf, Liana, nggak ada.] Balasku cepat.

[ Sombong banget lu, Sel, sekarang. Mentang-mentang suami lu kaya, ganteng, bokap lu punya sekolahan, tapi nggak mau bantuin orang susah.]

Aku bengong membaca chatnya, apaan sih? Minimal basa basi kek, udah minta kerjaan, butuh, tapi nggak ada attitude nya. Ngaku sarjana, tapi otaknya nggak dipake.

Huft.

Aku tak membalas, biarin deh, bukan urusanku juga. Kalau ngomong baik-baik kan mungkin aku bisa tanya Mas Ardi, kali aja di kantor dia ada lowongan. Kalau begitu kata-katanya, jadi malas mau bantu. Pantaslah kalau nggak dapat kerja, dia aja begitu.

“Bu,” panggil Bagas tiba-tiba.

Aku yang masih fokus dengan handphone seketika menoleh. Tak lama pesananku datang dan tersaji di meja.

“Kenapa?”

“Eum, Pak Monster.”

“Mas Ardi?”

“Iya.”

“Kenapa sama suami saya?”

“Pak Monster meminta saya buat nikahin Ibu secara diam-diam.”

“Ngaco, nggak mungkin lah saya punya dua suami.”

“Eum, Pak Monster mau nalak Ibu, kita nikah siri, trus nanti kalau Ibu hamil anak saya, Ibu bilang sama mertua ibu itu anaknya Pak Monster.”

“Ha? Gila kalian!” umpatku tak percaya.

“Terima aja ya, Bu? Saya tahu selama ini Ibu tersiksa kan? Nggak dapat kepuasan bathin, mau sampai kapan, Bu?”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top