Bab 2
“Nih susu kamu,” kataku seraya menyodorkan dua botol susu segar yang biasa dipesan Bagas.
“Makasih, Sayang.” Bagas menerima susu tersebut dengan senyuman.
Kami sudah tiba di warung bakso pinggir jalan, sambil menunggu pesanan datang aku menatap wajah di hadapanku.
“Gimana kondisi adik kamu?” tanyaku.
“Alhamdulillah udah mendingan, susu yang ibu kasih lumayan bisa membantu pertumbuhan adik saya.”
“Iyalah dari pada harus berobat kan, sayang uangnya.”
“Iya, Bu. Trus jadwal ngajar ibu di sekolah saya gimana? Lanjut?”
“Lanjut, tapi saya Cuma ngajar seminggu sekali aja di kelas X. Soalnya kelas XII ada guru baru.”
“Padahal teman-teman saya yang perempuan lebih senang diajar renang sama ibu loh.”
“Yaah, biasa lah, kamu kaya nggak tahu aja. Banyak yang nggak suka dengan keberadaan saya di sekolah kamu. Karena kedekatan kita juga mungkin.”
“Ya mau gimana, kalau mereka nggak suka, ya mereka bisa angkat kaki dari sekolahan kan. Toh yang gaji mereka siapa kalau bukan papanya Bu Selly.”
“Sudah, biarin saja. Saya ngajar juga iseng doang, bukan buat mata pencaharian. Mas Ardi sih minta saya buat resign, dia nyuruh saya buat jagain butik mamanya.”
“Trus, Bu Selly mau resign?”
“Belum tahu juga, karena cita-cita saya kan bukan jadi guru. Cuma Papa saya aja yang minta saya ada di sekolahan itu. Soalnya ada oknum guru yang ketahuan korupsi kemarin.”
“Iya, tapi pengalihan kita kayanya berhasil ya, Bu. Cuma saya takut nih, Bu.”
“Takut kenapa?”
“Takut, takut semakin nyaman sama Ibu. Gimana?”
Aku tertawa lepas, sampai tukang bakso yang mengantar dua mangkok pesanan kami bengong. Aku langsung menutup mulut, dan pesanan kami pun sudah siap tersaji di meja.
“Kok Ibu ketawa sih?”
Saya juga nyaman sama kamu, Gas. Tapi, mana mungkin aku bilang blak-blakan begini. Biar kedekatan kita ini berjalan seperti ini dulu ya.
“Makasih ya, Gas. Atas apa yang kamu lakuin selama ini ke saya.”
“Santai aja kali, Bu.”
“Habis ini kamu langsung pulang kan?”
“Ngantar Ibu dulu lah, masa bidadari jalan kaki,” ujarnya terkekeh.
Aku jadi tersipu, seandainya Mas Ardi bisa seromantis dan selucu Bagas. Ah, itu mana mungkin. Kita beda dunia, dunianya ya bukan duniaku.
“Besok Ibu berarti nggak ke sekolahan dong?”
“Siang, ngantar berkas yang tadi. Bu Lastri minta bantu mindahin nilai dimasukin ke flashdisk nya.”
“Bu Lastri kan orang kepercayaan Pak Hartanto, papanya Bu Selly.”
Aku mengangguk, Bu Lastri lah salah satu guru yang paling baik menurutku di sekolah selain Kepala Sekolah Bapak Yusuf Iskandar. Karena beliau yang paling lama mengajar di sana. Usianya juga sudah sepuh, makanya Bu Lastri memintaku membantu pekerjaannya.
“Saya kemarin ditembak cewek, Bu,” ucap Bagas membuatku yang sedang menyedot es teh manis pun tersedak.
Entah mengapa hati ini rasanya ko panas dengar Bagas ditembak cewek. Itu kan hak dia, toh aku juga punya suami, walaupun suamiku ...
“Trus kamu terima?” tanyaku penasaran.
“Enggak lah, Bu. Kan aku sayangnya Cuma sama Bu Selly.” Bagas menaikan kedua alisnya sambil mengeringkan sebelah mata.
“Jangan ganjen, colok nih pake sumpit.”
“Jangan galak-galak atuh, Bu.”
Tiba-tiba ponsel di atas meja bergetar, aku menoleh, sebuah panggilan suara dari ibu mertuaku.
“Ya halo, Mah.”
“Kamu di mana, Sel. Ko belum pulang?”
“Eum, masih makan siang.”
“Ini tukang urutnya sudah datang, loh. Buruan pulang ya. Mamah pengen cepet momong cucu.”
“Iya, Mah.”
Panggilan terputus, mau diurut seribu kalaupun, menantumu ini nggak akan pernah bisa hamil, Mah. Lah wong nggak pernah disentuh Mas Ardi.
Huft.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top