Bab 10
Sepulang mengajar di TK, aku mampir terlebih dahulu ke sebuah warung bakso bersama temanku Tania.
Tania memesan bakso beranak, sementara aku bakso urat biasa tanpa sayuran, hanya mie putihnya saja.
Kami duduk sambil menunggu pesanan datang, aku meluruskan kaki, karena warung bakso ini ada dua pilihan tempat duduk. Lesehan atau dengan kursi, aku memilih yang duduk lesehan.
“Sel, gue ada kenalan cowok, lu mau nggak gue kenalin. Ganteng, dia juga punya perusahaan, lebih kaya dari suami lu.”
“Normal kaga? Gue trauma sama cowok ganteng,” kataku disela tawa oleh Tania yang tahu betul bagaimana kehidupan rumah tanggaku.
“Kayanya sih normal, dia pernah punya cewek kok. Tapi Cuma sekali pacaran, lima tahun, trus orang tua si cewek nggak setuju karena katanya bukan keturunan Jawa gitu.”
“Yahelah, masa jodoh harus sama gitu, maksudnya sekampung apa gimana?”
“Yah namanya orang tua, Sel. Mungkin maunya yang harus kek gitu. Nggak ngerti juga lah gue.”
“Kenapa nggak buat lu aja, Tan.”
“Kalo gue jomblo sih gue gass, Sel. Cowok gue mau dikemanain.”
“Baru cowok, belum suami.”
Kami berdua tertawa lagi, sampai akhirnya dua mangkuk bakso pesanan kami pun dihidangkan beserta dua gelas es teh manis.
Tania sudah menjalin hubungan dengan kekasihnya selama dua tahun. Keduanya sama-sama sibuk bekerja, dan yang aku dengar juga pacarnya itu belum berkeinginan untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius.
Terkadang aku kasihan melihat Tania yang begitu besar effortnya ke sang pacar. Sampai pekerjaan saja dicarikan, karena setelah lulus kuliah kemarin keduanya sempat menganggur, dan Tania lebih dulu mendapatkan pekerjaan.
Akan tetapi, harapan Tania agar sang pacar segera melamarnya hanya sekadar angan saja. Setelah mendapat kerja, pacarnya justru ingin meniti karir terlebih dahulu.
“Bagas gimana, Sel?” tanyanya tiba-tiba membuatku tersedak.
Aku langsung mengambil minum, menyedotnya perlahan. “Nggak gimana-gimana,” jawabku.
Kalau ingat tadi di belakang sekolah, jantung ini kembali berdebar. Tatapan mata Bagas yang tajam, aroma tubuhnya yang wangi, dan lu ma tan bibirnya saat men ci um ku. Masih sangat jelas terasa di bibir ini. Aku tidak pernah merasakan itu sebelumnya, bahkan oleh suamiku sendiri.
“Suami lu gimana?”
“Ya nggak gimana-gimana juga.”
“Ah nggak seru, kenapa sih, Sel. Lu nggak jadian aja gitu sama Bagas. Udahlah lupain suami lu itu, kita jalan ke puncak, nginep, double date, yuk!”
Deg. Apa yang dibilang Tania pernah juga diminta oleh Bagas.
“Mau ngapain nginep?” tanyaku penuh dengan tanda tanya.
“Ya nggak ngapa-ngapain, kalau berempat kan enak, lu tidur sama gue, Bagas sama Bima deh.”
Iya juga sih, Bagas sama Bima pacarnya Tania tidurnya, nggak mungkin juga tidur sama aku. Bisa khilaf nanti.
“Tan, gue mau cerita, tapi please jangan sampe bocor ya, apalagi ke keluarga gue,” kataku sambil menatap wajah wanita yang seumuran denganku ini.
“Emang selama ini lu cerita ke gue, ada yang bocor, Sel? Nggak kan? Kita sahabatan bukan baru sebulan dua bulan, dari awal kuliah. Kenapa? Lu udah nggak kuat sama suami lu? Lu mau pisah? Gue ada kok kenalan pengacara.”
“Bukan, bukan itu. Ini lebih konyol dari sebuah perceraian.”
“Apa?”
Kali ini wajah Tania tampak kebingungan, kedua alisnya bertaut.
“Mas Ardi, nyuruh Bagas buat nikah siri sama gue, biar gue bisa hamil, trus nanti anaknya diakui sama dia.”
“Uhuk, gila, itu sih suami lu udah beneran gila, Sel. Kalau dia emang nggak suka sama lu, udah lepasin lu aja, ngapain sampe, buset, gue kalau jadi Bagas, nggak mau gue. Enak aja, anak gue masa diaku dia.”
Aku terdiam, aku juga nggak mau. Kalau memang aku harus menikah sama Bagas, kupastikan hubunganku denganas Ardi harus selesai dulu. Tapi, gimana caranya?
“Jangan mau, Sel. Lu tuh selama ini udah ngalah sama tuh manusia sakit Ardi. Jangan sampai harga diri lu lagi yang harus dikorbankan. Bagas kan punya keluarga, kalau kalian nikah siri tanpa keluarganya Bagas, nggak bisa bayangin kalau keluarga Bagas sampai tahu niat kalian itu. Apa sih, Sel? Harta lagi? Gue jadi kesel sama bokap lu, Sel. Jual anak tau nggak sih kalau kaya gitu.”
“Eum.”
Aku hanya mengangguk saja, jadi Tania yang ikutan geram. Sementara aku, sudah seperti manusia bodoh yang memang mungkin keberadaanku di sini hanya untuk dimanfaafkan banyak orang.
Aku bahkan lupa bagaimana harus meraih bahagiaku sendiri? Kegiatan sehari-hari kuhabiskan di kolam renang, mengajar dari satu sekolah ke sekolah lain.
Kali ini aku tidak mengajar untuk sekolah tingkat pertama juga tingkat atas. Hanya sampai sekolah dasar saja, karena aku lelah.
Renang adalah hobiku sejak kecil, menjadi pelatih atau guru renang juga sebenarnya bukan keinginanku. Awalnya karena menunggu panggilan pekerjaan, aku iseng main ke kolam renang, bertemu dengan salah satu orang tua yang sedang menunggu anaknya berenang.
Dia tanya aku apa bisa berenang? Karena dia sedang mencari pelatih renang untuk anaknya yang mana waktunya bisa disesuaikan antara latihan juga aktifitas di sekolah.
Dari situ ketika Papa memintaku mengajar di sekolah, ya aku hanya mau menjadi guru olah raga saja, renang, senam dan semacamnya. Bukan guru yang mengajar di bidang akademik lainnya.
“Eh bentar, Tan.”
Aku melihat ponsel milikku yang ada di atas meja berdering, sebuah panggilan dari Bagas.
“Ya, halo.”
“Sayang di mana?”
“Kenapa? Saya lagi makan siang sama teman saya.”
“Cewek apa cowok?”
“Cewek, Tania namanya. Kenapa?”
“Bu, Pak Monster nelpon saya, nyuruh jemput Ibu. Ibu di mana?”
“Memang kenapa?”
“Mamanya Pak Monster masuk rumah sakit nggak sadarkan diri.”
“Apa?”
“Ceritanya panjang, ayolah, Bu. Sharelokasi ya.”
“Iya, tapi emang kamu udah pulang sekolah?”
“Gampanglah, aku izin jam terakhir, langsung otw nih.”
“Gas, tunggu! Kamu udah makan?”
“Belum, Sayang.”
“Yaudah nanti makan dulu aja ya baru ke rumah sakit.”
“Iya, Sayangku.”
Aku hanya tersenyum mendengar Bagas berkali memanggilku dengan sebutan sayang. Entah rasanya seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di atas kepala.
Apa iya aku mulai jatuh cinta padanya?
Dia Muridku.
Salahkah jika aku mencintainya?
“Siapa yang nelpon, Sel? Suami lu?” tanya Tania melihatku meletakkan ponsel di atas meja lagi.
“Bagas, dia mau jemput gue, katanya mama mertua gue masuk RS.”
“Kok bisa?”
“Iya, terakhir Mas Ardi nelpon katanya Mama mergokin dia lagi mandi bareng sama si Romi.”
“Uhuk.” Bakso dari mulut Tania seketika mencelat keluar.
Kulihat Tania buru-buru minum. “Buset dah, pengen ketawa takut dosa gue. Bisa kena serangan jantung mendadak meninggoy tuh mertua lu, Sel.”
“Biarin aja deh, mungkin ini udah jalan Tuhan buat ngebuka aib suami gue. Karena kalau gue yang bilang ke Mama juga, nggak akan percaya kan, yang ada nanti dikira gue tukang fitnah, atau mau ngejelekin keluarga mereka.”
“Ya bener juga, Sel. Namanya bangkai, mau disimpan serapih, serapat apapun itu, pasti baunya bakalan kecium. Tapi, gue bersyukur sih, Sel. Abis ini pasti lu bakalan disuruh pisah sama mertua lu, dan lu bisa bahagia lepas dari cowok nggak bener itu.”
“Ya, semoga aja.”
Bukan itu masalahnya, tapi kalau aku pisah sama Mas Ardi, bagaimana dengan surat wasiat dan hutang Papa?
Tiba-tiba pesan WhatsApp dari Mas Ardi masuk.
[ Sel, aku sudah bilang sama Mama, aku sudah minta maaf juga sama Mama. Mama minta kita pisah, aku nggak mau. Pokoknya kalau Mama minta kita pisah, kamu jangan mau ya. Aku nggak mau diusir dari rumah dan jadi gembel Cuma gara-gara Romi.]
***
Info ngantemi Ardi 😏
Bagas sweet yaaa gess 😚😚
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top