Tiba-tiba kotak kayu cokelat gelap itu bergetar. Nat terpental hingga sepuluh meter ke belakang, seperti didorong oleh medan magnet dengan hentakan dahsyat. Lalu dari celah tutupnya, keluar cahaya yang begitu cemerlang. Beberapa detik, tutupnya terbuka dan cahaya itu menjadi semakin terang menyilaukan, sampai Nat pun terpaksaksa menutup matanya dengan siku. Ia berusaha mengintip sebisanya, penasaran dengan cahaya prisma itu.
Cahaya yang masih menyala itu, ternyata warnanya bertransisi dengan sangat halus dan pelan. Nat hampir tidak menyadari perubahan itu. Namun, makin lama makin jelas, hingga akhirnya yang tadinya putih, kini telah terbagi menjadi lima warna. Biru air laut, cokelat, biru pudar, merah api, dan bening bagai air—transparan. Cahaya itu tak ubahnya pelangi yang menyorot langit.
Di saat gadis genius itu masih terbelalak, cahaya itu pecah bagai (transisi pecah di power poin). Pecahan itu berkumpul di depan kotak dan berubah menjadi sebuah buku berwarna emas pedar.
Mulut Nat membulat sempurna, kepalanya termanggut-manggut, ia ingat betul buku itu pernah dilihatnya di masa lalu—saat sposefik menghancurkan bumi.
“Ternyata memang tidak salah lagi, aku tidak pernah ragu. Kaulah orangnya. Ambillah buku itu,” seru Miss Je.
Nat pun bangkit dan berjalan perlahan menuju buku itu, lalu mengambilnya. Ia kembali menatap ke atas.
“Tunggu apa lagi? Segera buka!”
Ia pun membuka lembar pertama dan seketika mengernyit. “Apa ini?” Ia terkejud karena lembaran pertama itu tidak ada tulisannya. Hanya ada gambar air dengan gaya ukiran klasik. Tanpa sempat ia menghindar, lembaran buku itu menyedotnya. Nat masuk ke dalam buku itu. Ia merasakan seperti meluncur dengan kecepatan angin sampai tubuhnya terlihat seperti sinar laser namun berwarna warni. Dalam sekejap, ia langsung tersungkur dengan memasang kuda-kuda di sebuah ruang luas yang di segala arahnya hanya ada air terjun. Tidak ada makhluk apa-apa, tidak ada siapa-siapa.
Nat memutar pandangannya ke segala arah. Menunggu kejutan apa lagi yang akan ditemukan. Namun hening, tidak ada apa-apa dalam waktu yang cukup lama. Ia seperti dibiarkan hidup menikmati pertunjukan air terjun yang jauh di sekelilingnya ... sampai ia mendengar sebuah suara yang besar menggelegar. Persis seperti suara yang didengarnya dalam ilusi pertama beberapa hari lalu.
“SELAMAT DATANG, NONA. SEBENTAR LAGI KAU AKAN MEMULAI MISI INTI. TETAPI, SEBELUMNYA ADA HAL YANG PERLU KAU TAHU.”
Suara itu menjeda, membuat Nat tidak sabar.
Di kaki langit langsung muncul tayangan saat sebuah bangunan besar mulai dibangun. Nat terhenyak karena melihat rangka bangunan itu seperti bangunan sekolahnya. Bersamaan dengan tayangan itu, suara tadi menjelaskan beriringan, seperti cuplikan film. “PERTAMA TENTANG SEKOLAHMU. KAMI BERSYUKUR, SEKOLAHMU DIBANGUN TIDAK JAUH DARI TEMPAT SPOSEFIK TERKURUNG. DAN DI SINILAH KAMI MENEMUKAN MANUSIA SUPER ITU. YAITU KAU.
Lalu tayangan berganti untuk memperlihatkan pertarungan sengit Sposefik dengan lima pendekar pengendali elemen. Monster itu menghancurkan mereka sampai menjadi abu, lalu beterbangan di udara. Tayangan ini hanya beberapa menit saja, hanya memperlihatkan bagaimana cara monster itu mengalahkan para pendekar. “TAYANGAN INI SUDAH PERNAH KAUSAKSIKAN LANGSUNG, BUKAN?”
Nat mengangguk. Ia pun sudah paham sekilas cara Sposefik bertarung dan membunuh. Setidaknya itu bisa menjadi sedikit persiapan sebelum menghadapinya. Satu lagi fakta mencengangkan, di adegan itu diperlihatkan bahwa monster tersebut mampu menyedot seluruh elemen natural yang ada di bumi untuk memperkuat dirinya. Sangat mengerikan.
“ITU SAJA DULU YANG PERLU KAU KETAHUI, LAIN WAKTU KAU AKAN LANGSUNG MEMPELAJARI ILMU PENGENDALIAN SALAH SATU ELEMEN NATURAL YANG AKAN MENJADI KEKUATANMU.”
“Baiklah,” ucap Nat mengangguk, sadar jika dirinya tak bisa berlama-lama dalam ilusi ini. Kekuatan yang terkuras harus diperhitungkan. Lalu ia dikembalikan dengan cara yang sama seperti saat dibawa ke sana.
Saat sudah kembali ke kamar, kotak itu sudah tidak ada lagi. Sedikit membingungkan baginya. Namun tidak dijadikan masalah, tidak ada waktu untuk terlalu banyak bertanya lagi. Yang penting bukunya masih ada, ia sedang memegangnya. Lantas disimpan kembali di tas.
Hanya saja, belum kembalinya Magg dari kamar mandi membuatnya sedikit bingung. Tetapi gadis pintar itu langsung termanggut setelahnya. Miss Je pasti menghentikan aliran waktu. Ia tersenyum tipis. Magg kembali beberapa menit kemudian.
Selanjutnya Nat hanya perlu mencari waktu sepi sebanyak mungkin untuk kembali membuka buku itu. Dan ia berhasil mencuri waktunya di malam hari—saat Magg sudah tertidur.
Setelah membuka lembaran pertama tadi terbuka, ia langsung disedot otomatis dan digiring menuju dunia di dalam buku seperti tadi siang.
“SELAMAT DATANG KEMBALI.” Hanya itu saja kalimat basa-basi. Selanjutnya Nat langsung diajarkan ilmu pengendalian fisik dengan video ilustrasi di kaki langit beriring intruksi oleh suara itu. Dalam hati, Nat sempat ingin memprotes. Tetapi sebagai orang yang selalu berpikiran terbuka, ia yakin pasti ini juga bagian penting.
Ilmu pengendalian fisik hampir tidak jauh berbeda dengan senam pada umumnya yang terdiri dari pemanasan, inti, dan pendinginan. Orientasi fisik terdiri dari senam jantung. Kata suara itu, jika jantung sehat maka organ lain pun akan lebih mudah disehatkan. Ilmu pengendalian fisik itu berhasil dikuasainya di hari itu juga. Ia siap menghadapi esok untuk menyambut sisa 97 hari lagi.
Keesokan hari, Nat memanfaatkan jam istirahat sekolah untuk kembali masuk ke dalam buku. Ia diajarkan ilmu pengendalian psikis. Sayangnya, ini sedikit lebih berat, karena ia harus bisa menyeimbangkan antara pikiran dengan perasaan sesempurna mungkin. Jika tidak mencapai kesempurnaan, jangan harap tenaga dalam dari tubuhnya berfungsi untuk mengendalikan air. Gadis itu kembali berlatih di malam hari, barulah ia berhasil.
96 hari tersisa, besok barulah ia benar-benar diajarkan pengendalian air.
***
“KAU TAK AKAN BISA MENGENDALIKAN ELEMEN AIR JIKA SEBELUMNYA KAU GAGAL MENGENDALIKAN FISIK DAN PSIKISMU DENGAN SEMPURNA.”
Nat telah sempurna dalam kemampuan fisik dan psikisnya. Jadi, dia siap menghadapi apapun, tak ada lagi rasa cemas atau tidak terima dengan kenyataan. Ia membiarkan takdirnya mengalir begitu saja bagai air. Maka, tidak ada lagi yang ia pertanyakan, melainkan hanya siap berjuang dengan semangat optimal.
Beberapa saat lengang. Karena ia tak menanyakan apa-apa demi menjaga stabilitas emosi—bertanya dapat memicu penasaran, dan rasa penasaran bisa mengundang emosional lainnya.
“TUNGGU APA LAGI? AIR-AIR TERJUN ITU MENUNGGUMU.”
Nat agak terkejut karena tidak ditunjukkan apa-apa lagi, tapi rasa terkejutnya segera mengenyah. Ia segera melakukan apa yang ditunjukkan oleh instingnya sendiri.
Ia mulai melihat kedua tangan, lalu menggerakkan jemari-jemarinya. Tanpa sadar, sebuah bola air terlempar di wajah dan mengejutkannya. Ia langsung terbersin-bersin, hidungnya kemasukan air.
“Bagaimana cara melakukannya?” Nat mencoba bertanya.
“TIDAK ADA YANG TAHU SELAIN DIRIMU. LAKUKAN DENGAN INSTING, CIPTAKAN JURUSMU SENDIRI.”
Nat mengangguk dan mencoba lagi. Beberapa kali mencobanya, ia pun berhasil. Air-air bisa bergerak ke mana saja, bagaimana saja, sesuai kehendaknya. Tak terpaku pada gerakan tangannya. Bahkan dalam terdesak, ia bisa membuat air membeku atau mencair lagi hanya dengan kedipan mata.
Hari ini cukup memuaskan, ia sudah berhasil mengendalikan air. Saat mandi pun ia bisa membuat air dari bak terbang dengan sendirinya untuk membasuh wajah.
Tersisa 95 hari mulai besok. Ia belum mendapatkan tanda-tanda bahwa misi halaman pertama selesai.
Besoknya, di waktu—jam—yang tidak berbeda dengan hari-hari sebelumnya, ia kembali masuk ke dalam buku itu.
“KAU HARUS BERMEDITASI DULU, SEPULUH KALI LEBIH LAMA DARI BIASANYA.”
Nat termangu sesaat, mengingat-ingat bahwa durasi ia bermeditasi tidak menentu. Kadang beberapa menit selesai, kadang sampai satu jam.
“TIDAK PERLU MENGHITUNG. KAU AKAN MERASAKAN SENDIRI SEBERAPA CUKUPNYA.”
Ia memejamkan mata. Otaknya langsung bekerja mencari modus—durasi yang paling sering muncul—hingga akhirnya matanya terbuka. Dua jam bermeditasi, keringat mengucur di seluruh tubuhnya dan ia merasa cukup. Lalu menunggu arahan selanjutnya.
“SILAKAN BERUBAH WUJUD.”
Perintah kali ini membuat Nat terperanjat, tetapi ia sudah memasang prinsip “tidak ada yang kebetulan di dunia ini, jadi tidak perlu heran”. Ia segera mencoba apa saja dengan modal fisik, mental dan wawasan mempuni untuk membuat dirinya bisa berubah wujud.
“YAKINLAH BAHWA DIRIMU ADALAH MANIFESTASI ELEMEN AIR YANG SEMPURNA. SELARASKAN SEGALA YANG ADA PADA JIWA DAN RAGAMU.”
Nat mengetatkan konsentrasi. Beberapa menit, ia merasakan tubuhnya lebih dingin. Semakin dingin. Denyut nadi pun terasa lebih lembut. Waktu terasa seperti berhenti, tetapi tidak berhenti. Ia kehilangan kebutuhan untuk bernapas. Tubuhnya seperti ingin meleleh namun bukan karena panas, lalu perlahan mencair. Ia telah berubah wujud menjadi air.
“SELAMAT, KAU TELAH BERHASIL MENGUASAI KEKUATANMU SEUTUHNYA. LATIHAN DI DALAM RUANG INI SUDAH CUKUP. SELANJUTNYA KAU HANYA PERLU MENGUJI KEKUATANMU DI LUAR SANA.”
Nat lalu kembali ke asalnya—kelas. Malam nanti, barulah ia akan bermain-main lagi dengan kekuatannya.
***
Malam telah tiba. Magg keasikan dengan ponsel pintarnya. Sedangkan Nat, ia tersenyum melihat temannya. Sejatinya bukan karena kelakuan si teman, ia hanya sedang membayangkan hal-hal konyol yang ingin ia lakukan.
Nat masih memperhatikan Magg yang mulai senyum-senyum. Itu pasti sedang berbalas pesan dengan seseorang lewat whatsapp. Sudah pasti air liurnya tersimpan di dalam mulut. Hanya dengan tersenyum, ia berhasil membuat air liur temannya menyembur di layar ponsel.
Magg terperanjat, lalu menatap ponselnya aneh. Saat melirik ke arah Nat—malu kalau ketahuan meludahi ponsel, Nat dengan sigap mengalihkan pandangan, berpura-pura tidak tahu apa-apa. Lalu ia nerusaha menahan tertawanya tanpa sepengetahuan Magg.
Permainan kecil berhasil, Nat penasaran untuk mencoba permainan besar. Keinginannya baru terpenuhi saat teman polosnya tertidur.
Ia bergegas keluar dari kamar menuju balkon lantai dua. Berdiri di sana menghadap ke pusat kota. Melepas pandangannya dengan penuh kesima ke langit hitam bertabur bintang gemintang. Rambut panjangnya ikut melambai tertiup angin. Ia merentangkan tangan sambil memejam. Lalu berputar-putar, seketika rintik hujan berjatuhan di seluruh penjuru Saskatoon berkat ulahnya.
Permainan baru dimulai. Nat lantas melompat ke bawah dengan gaya diagonal—kepala ke arah tanah. Kemungkinan besar tengkoraknya pecah saat membentur (lantai). Namun, itu tidak terjadi karena saat jaraknya dengan lantai tinggal 30 sentimeter, bantalan air yang datang entah dari mana merapatkan diri dan berkumpul menyambar tubuh Nat.
“Yuhuuu!!”
Teriakan girang Nat membuat anak-anak asrama sontak berlarian untuk mengintip ke luar—sumber suara, tetapi mereka tidak menemukan apa karena Nat sudah melesat secepat kilat ke atap dengan bantalan air.
Anak-anak dan petugas asrama masih memeriksa di area balkon tadi. Nat kemudian membuat air laut dan sungai-sungat menjadi hujan yang begitu lebat di kompleks sekolahnya. Semua anak asrama kembali masuk ke kamar mereka.
Siswi kelas 2 itu berselebrasi merayakan kepuasannya dengan bersalto girang. Lalu berubah menjadi air sebagai penutupnya. Wujud air itu mengendap perlahan mengaliri dinding-dinding, lantas berubah menjadi manusia kembali saat sampai di kamarnya.
Hari ini berakhir memuaskan. Bahkan sekarang Nat sudah tidak sabar ingin menemukan empat pendekar lainnya. Siapakah mereka? Nat akan berjuang mencarinya dalam sisa waktu 94 hari lagi. Mulai esok hari.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top