8 - Olimpiade Hidup Mati
“Silakan masuk!” Miss Je menyambut kedatangan tamunya dengan senyum. Nat mengangguk dan melangkah pelan. Ruang rapat ini sangat lengang. Tidak ada orang lain di sini. Miss Je duduk di salah satu kursi yang terpasang pada meja panjang berbentuk letter U.
“Tempatnya tidak tepat?” Miss Je bertanya mengejutkan Nat. “Ekspresimu heran seperti itu.”
“Eh? Tidak apa-apa, Miss.” Nat kikuk. “Tidak ada masalah dengan tempat ini. Tapi ada apa ya?” Ia baru tiba di dekat meja, menunggu dipersilakan duduk.
Namun bukannya mempersilakan duduk, staf cantik itu malah berdiri.
“Kau mau ke mana?” Nat kembali tak mengerti.
Miss Je hanya tersenyum simpul sambil berjalan mendekati Nat, lalu menggenggam tangannya. “Pejamkan mata!”
Nat baru paham. Sudah pasti kata-kata “olimpiade” yang gurunya bilang di kelas tadi, hanya untuk menutupi fakta tentang peristiwa yang akan terjadi 99 hari lagi, supaya tidak ada yang tahu dan bikin heboh. Ia langsung memejamkan mata seperti biasa. Mereka telah berada pada dimensi keenam saat membuka matanya.
Pemandangan mengerikan di sekitar sudah tak aneh lagi bagi Nat, walaupun bulu kuduknya tetap saja meremang dengan keberadaan para jin. Miss Je melepaskan tangan Nat dan bersedekap.
“Langsung saja. Kau pasti sudah tahu tujuan kita.” Miss Je melirik Nat dan dibalas anggukan oleh gadis itu. “Pertama, kau harus masuk ke perpustakaan sekolah. Carilah sebuah buku eksklusif. Di situlah kau akan menemukan petunjuk.”
“Hanya itu?” tanya Nat tak menyangka dan dijawab anggukan santai oleh Miss Je. “Kapan aku harus melakukannya?”
“Segera.”
Mulut gadis muda itu terbuka sesaat.
“Waktumu tidak banyak. Kau harus manfaatkannya dengan baik.”
Nat pun menggangguk. Lalu keduanya kembali berpegangan tangan, memejam dan kembali ke alamnya.
“Kalau begitu, aku permisi, Mis.” Nat menunduk lalu keluar dari ruang ini. Ia bergegas menuju perpustakaan.
***
Secepat mungkin, Natasha berlari-lari menelusuri tiap sudut perpustakaan. Di perpustakaan ini tak terhitung jumlah rak buku, mana dia tahu rak yang mana tempat buku eksklusif itu berada. Aksinya membuat siswa-siswa lain memperhatikan. Bisa jadi, mereka merasa aktifitas bacanya terganggu.
Gadis itu sudah memeriksa puluhan rak terbawah di berbagai area. Namun, selalu saja ia tak menemukan petunjuk apa-apa. Hanya ada buku-buku seperti biasa. Keringat mulai membasahi pelipisnya. Tak jarang ia mengumpati Miss Je yang tidak memberinya petunjuk langsung. Juga memaki nasib dirinya sendiri, kenapa harus dia yang menerimanya?
Nat tak juga menemukan petunjuk sampai ruangan besar perpustaan menjadi kosong dari para siswa. Ia sendiri sudah lelah. Napasnya tersengal.
“Kau bisa lanjut lagi besok.”
Nat terkejut, seketika ia menengadah karena suara itu berasal dari atas. Itu seperti suara yang dikenalinya. “Miss Je?”
“Iya. Tebakanmu benar.”
“Di mana kau? Muncullah!”
“Kau tidak perlu melihatku. Kau hanya perlu beristirahat dulu untuk menormalkan kembali emosi di dalam tubuhmu.”
“Miss!”
Nat masih menunggu sahutan. Tetapi sayang sekali, tidak ada lagi suara Miss Je setelah itu. Untungnya dia bukan tipe keras kepala, melainkan selalu berpikiran terbuka. Lagi pula, sudah seharusnya dia mendengar saran Miss Je barusan.
Ia memilih pulang.
***
Kamar itu lengang. Dua gadis muda sedang sibuk dengan dunianya masing-masing. Nat menangkup di ranjangnya sedang membaca buku. Sedangkan Magg selalu asyik dengan ponselnya. Itu merupakan aktivitas normal mereka seperti biasa di malam hari. Hanya satu yang berbeda dari Nat, ia tidak melakukan itu secara natural. Ia sedang bermeditasi, menormalkan emosi, menghilangkan stress dan energi negatif lainnya. Membaca adalah salah satu cara meditasi yang sekaligus menjadi hobi utama. Kebetulan, dia juga punya buku baru yang cukup bagus. Inilah buku fiksi yang dihadiahi Magg saat ulang tahunnya tempo hari.
Magg sesekali melirik sahabatnya yang begitu fokus membaca. Dia sangat senang, merasa pemberiannya betul-betul dihargai. Senyum kecil terukir begitu saja di wajahnya. Lalu ia kembali bermain ponsel. Dia meletakkan ponsel saat sudah bosan, lalu menunggu matanya terlelap. Berbeda dengan Nat, dia tanpa sadar tertidur saat sedang membaca.
Besok pagi, mereka masuk kelas seperti biasa. Nat juga masuk sampai jam istirahat, lalu barulah ia kembali melanjutkan pencarian yang tertunda kemarin.
***
Kali ini dia tidak terburu-buru, melakukan segalanya dengan natural saja. Bahkan berkat refleksi semalam, ia juga berhasil mengenyahkan rasa cemasnya menghadapi peristiwa 98 hari ke depan itu. Ia berpindah dengan santai dari rak ke rak yang belum dibuka kemarin. Kali ini aksinya tak mengundang perhatian, tidak mengganggu ketenangan kutu buku lainnya.
Formula yang diterapkan terbukti ampuh. Dengan keadaan jiwa yang seimbang, tindakan kita juga terasa lebih ringan. Ia telah membuka belasan lemari, tetapi tidak begitu terasa baginya, lelah pun tak seberapa. Juga telah memanjat empat tangga, untuk mencapai rak tingkat empat dengan ketinggian sekitar 10 meter. Di sinilah ia sekarang, berhenti di hadapan sebuah rak dan menemukan sebuah kotak kayu, terselip di bawah buku. Tidak salah lagi, itu petunjuknya.
Nat langsung mencoba membuka. Namun, kotak itu tak bisa langsung terbuka. Nat mencoba lagi, kali ini mengerahkan semua tenaganya. Kotak itu juga gagal terbuka. Tertutup sangat erat, seperti terkunci permanen. Ia lantas melihat ke bawah, menghitung situasi. Masih banyak sekali orang yang sedang membaca. Apakah bisa benda ini kubawa pulang sekarang?
“Letakkan dulu. Biarkan perpustakaan sepi. Setelah itu baru bawa pulang.” Miss Je kembali mengirim suaranya. Nat mengangguk dan turun ke bawah, berpura-pura membaca untuk sementara.
Beberapa saat menunggu, bel tanda jam istirahat berakhir pun berbunyi. Satu per satu siswa keluar. Begitu perpustakaan kosong, Nat bergegas kembali menaiki tangga untuk mengambil kotak itu. Ia memasukkannya ke dalam baju, lalu turun dan berjalan mengendap-endap agar para pekerja di perpustakaan tak melihat perutnya yang kembung.
***
Setelah melepas sweater, Nat menjatuhkan pantatnya di ranjang. Ia menghela napas panjang, membayangkan aksi dirinya tadi bagai seorang pencuri di siang hari. Belum pernah ia senekat itu selama hidupnya. Bagaimana tidak, setelah mengendap di perpustakaan, ia juga harus menyembunyikan kotak itu di selokan, tidak mungkin membawa benda itu masuk. Lalu berpura-pura santai saat masuk ke kelas. Ia baru bisa memasukkannya ke tas saat pulang sekolah, itu pun harus sembunyi-sembunyi. Sekarang kotak petunjuk itu masih aman di tas. Magg masih berbaring sambil bermain ponsel. Nat harus menunggu Magg keluar dari kamar untuk membuka kotak kayu itu.
“Kau tidak mandi?” tanya Nat menutup hidungnya, padahal tidak ada bau yang aneh. Ini hanya akal-akalan saja, mensiasati agar temannya keluar dari kamar dalam waktu yang lama.
Magg mengernyit, lalu mencium tubuhnya ke kiri dan kanan. “Tidak bau aneh!”
“Sepertinya kau harus membersihkan hidungmu juga sambil mandi!” Nat sudah berbalik badan membelakangi Mag, agar tidak terlihat kalau ia menahan tertawa.
Magg melirik punggung temannya dengan kening berkerut, lalu menggerak-gerakkan hidung untuk membuktikan perkataan Nat.
“Sudahlah, Magg! Cepatlah mandi! Atau, aku akan pergi meninggalkanmu sendiri.”
Magg menggeleng, mengambil handuk di sangkutan. Lalu keluar dari kamar, meninggalkan Nat yang langsung terpingkal-pingkal. Ia sangat puas telah berhasil menipu sahabatnya.
Tidak membuang waktu lagi, ia segera menuju meja belajar, di sanalah tasnya bertempat. Membuka tas, lalu ia membawa kotak itu ke ranjangnya.
Ia duduk sejenak untuk menenangkan diri, mengumpulkan tenaga. Barulah ia membukanya dan ... kecewa. Ia gagal. Ia sudah menduga.
“Kau lagi-lagi mengulang kesalahan. Sempurnakan sifat sejatimu.” Miss Je bersua lagi dengan suara, kali ini terdengar ketus.
“Baiklah, Miss.” Nat tahu apa yang harus ia lakukan. Ya, benar. Bermeditasi.
Gadis pecinta baca ini mengambil posisi duduk yang tenang. Matanya memejam. Bibirnya bergerak. Hangat dan rileks terasa di sekujur tubuh.
Ia membuka matanya saat merasa benar-benar tenang. Saat itu juga ia membuka kotak kayu itu lagi dan ...
Nat terkejut dan menganga, segalanya menjadi putih selain kotak kayu dan dirinya sendiri. Atap, dinding, lemari, matras, pintu, semua benda yang ada di kamar itu telah hilang. Ia dibawa ke dalam ilusi.
“Apa lagi ini?” Nat berharap mendapat jawaban dari Miss Je, atau siapapun yang bisa mendengarnya.
“Kau gadis kuat, makanya kau mendapatkan semua ini. Ilusi, melintasi dimensi, melipat waktu, penjelajahan ke luar alam semesta, itu semua diuji padamu untuk membuktikan kau gadis kuat. Jika tak kuat, kau sudah pasti mati dan kami tidak akan bisa menolongmu.”
Kata-kata Miss Je membuat Nat tergemap. Dan ada yang dirasa janggal oleh gadis itu. Kami?Kenapa dia menyebut ‘kami’? Apakah dia bersekongkol dengan orang lain untuk mengganggu hidupku? “Siapa kalian sebenarnya?!”
“Kami adalah senjata yang diturunkan Tuhan untuk menyelamatkan bumi, dan kau adalah tuannya. Kami tak bisa melakukan apa-apa tanpamu. Jadi, bantulah kami, Nona!”
Nat terdiam. Ia memang sudah tahu jika harus bertempur setelah seratus hari nanti, tapi berita terbaru dari Miss Je yang harusnya membuat bangga, malah menambah beban. Jika aku tuan, itu artinya aku yang memelihara mereka?
“Kau tidak usah khawatir. Kami tidak akan menyusahkan. Kau hanya perlu untuk mau menggunakan kami saja.”
“Apa yang harus kulakukan sekarang?”
“Membuka kotak itu.”
“Tetapi aku tidak tahu bagaimana caranya.” Nat berkata sambil tersenyum untuk menjaga emosinya agar tetap stabil, hal itu akan berpengaruh pada kekuatannya.
“Jawablah lima ribu pertanyaan yang akan kami berikan.”
Nat mengangguk.
“Pertama, siapa pencipta alam semesta?”
Bibirnya mengukirkan senyum, tidak menyangka pertanyaannya begitu mudah.
“Allah, yang juga disebut Tuhan Bapa dalam agamaku.”
Tanya jawab itu berlangsung selama dua jam. Nat berhasil menjawab semuanya dengan lancar. Pertanyaan-pertanyaan itu hanyalah tentang pengetahuan umum, sosial, sains dan teknologi. Kebetulan Nat memahami semuanya. Kendati demikian, tubuhnya tetap saja dibasahi oleh keringat, belum pernah seumur hidupnya diberondong sampai ribuan pertanyaan lisan sekaligus.
“Kau memang jenius,” puji Miss Je, wujudnya tetap tak diperlihatkan.
Nat hanya menanggapi dengan senyuman. Napasnya masih tersengal, detak jantungnya belum normal, ia masih menunggu apa yang akan terjadi. Matanya fokus ke kotak yang ada di pangkuannya.
Tiba-tiba kotak kayu cokelat gelap itu bergetar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top