5 - Sposefik
Ambil napas dulu ya. Sediakan tisu.
🔥🔥🔥
Nat membuka matanya perlahan. Atap kamar memperlihatkan wujudnya yang normal. Ia pun menyadari ada Maggie yang masih tertidur di sisi ranjangnya. Nat berusaha bangun dengan tubuhnya yang terasa berat. Kondisinya masih lemah. Tetapi ia tetap berusaha membangunkan temannya.
“Kau sudah siuman?” ucap Mag sambil mengucek matanya. Nat mengangguk sambil tersenyum tipis.
“Boleh aku memelukmu, Mag?” Matanya sudah berkaca-kaca saat menanyakan itu.
Sekejap Mag termangu, tapi setelah itu ia langsung tersenyum, mengangguk mantap dan membuka lengannya. “Tentu saja boleh, Nat.” Bahkan ia yang duluan merengkuh tubuh Nat.
Nat memejam hingga air mata menetes di balik pundak sahabatnya. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka, hanya saling merasakan hangatnya pelukan. Mungkin pelukan itu menyiratkan pesan untuk mereka, bahwa keduanya telah saling mengisi selama ini, juga saling membutuhkan untuk masa-masa yang akan datang.
“Terima kasih, Mag.” Ucapan itu sejatinya bermakna “Nat takut kehilangan sahabat terbaiknya” karena setelah itu ia semakin terisak. Hanya Tuhan yang tahu bahwa peran Mag telah melebihi keluarga saat ia berada di sini—Kota Saskatoon. Peristiwa kemarin sejak Mag bersusah payah menggotongnya dari perpustakaan menuju kamar asrama, hingga merawat dan menjaganya semalaman sudah cukup menjadi satu dari sekian bukti kasih di antara mereka.
“Sama-sama, Nat,” jawab Mag beriring dengan pelukan yang melonggar. “Sudah, kau jangan menangis. Aku tak akan kemana-mana.” Itu bukan ucapan basa-basi, Mag memperhatikan tatapan Nat yang seperti takut kehilangan.
Nat yang wajahnya masih pucat mengangguk kecil sambil menyeka sudut matanya. Entah apa sebabnya, sejak bangun dari tidur, ia tak bisa menepis rasa cemasnya. Perasaan takut yang datangnya tiba-tiba.
“Wajahmu pucat sekali, Nat. Kau istirahat saja, ya. Jangan ke mana-mana. Soal izinmu seperti yang kubilang kemarin, biar aku yang urus.” Mag tersenyum, bermaksud menenangkan. Nat mengangguk dengan sudut bibir yang melengkung.
Mag segera keluar membawa handuk dan keranjang sabunnya. Begitu ruangan menjadi lengang, dinding kamar yang berhadapan dengan ranjangnya tiba-tiba memunculkan kembali lubang sobekan. Lubang itu membesar perlahan hingga sebesar pintu.
Miss Je masuk begitu saja dengan senyum teduhnya. Nat tidak kaget, ekspresinya hanya sedikit bertanya-tanya.
Miss Je langsung membelai rambut Nat saat tiba di sisi ranjangnya. “Kau tak usah khawatir, Sayang. Aku tidak akan mengajakmu bertualang dalam keadaan lemah seperti ini. Kau juga tak perlu masuk kelas hari ini. Izinmu sudah kuurus.”
Nat mendongak. “Benarkah? Berarti aku harus kasih tahu Ma—” Ia berhenti berkata karena Miss Je meletakkan telunjuk di bibirnya sambil menggeleng.
“Jangan bilang apa-apa pada temanmu itu. Juga jangan bercerita pada siapapun tentang kejadian yang kau alami. Cukup kita saja yang tahu. Oke?”
Nat hendak bertanya “tapi kenapa”, tapi penjelasan Miss Je berikutnya justru sudah menjawab pertanyaannya. “Kau tentu ingin semuanya baik-baik saja, kau juga tidak ingin terjadi apa-apa dengan temanmu itu, bukan? Makanya biarkan dia tenang tanpa mengetahui soal ini.”
Pintu kamar terbuka karena Mag masuk. Ia telah selesai mandi dan saatnya bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Ia tidak dapat melihat sosok Miss Je yang sedang duduk di sisi ranjang Nat.
Miss Je berseri-seri setelah Mag pergi. “Aku akan menepati janjiku.” Tentu saja Nat sedikit terkejut jika yang dimaksud oleh Miss Je adalah mengajaknya bertualang kembali. Bukankah tadi baru saja Miss Je berkata, bahwa ia tak akan mengajak Nat ke mana-mana dalam keadaan lemah seperti ini?
Tanpa basa-basi, juga tidak ada penjelasan apapun lagi, Miss Je langsung meletakkan tangan di dada Nat. Gadis muda itu dapat melihat dengan kentara betapa terangnya cahaya yang berpijar dari kedua bola mata Miss Je. Cahaya itu berwarna putih kebiruan dengan intensitas lembut.
Rasa hangat seperti berpindah secara konduksi dari telapak tangan Miss Je, lalu menjalar perlahan ke seluruh tubuh Nat. Dalam beberapa detik, wajah Nat yang tadinya pusat pasi, kini telah merona kembali seperti sediakala. Miss Je lantas melepaskan tangannya.
Nat yang menyadari perubahan di dalam dirinya, spontan saja menggerak-gerakkan tubuh dengan sembarang gerakan. Menguji seberapa baik kondisi tubuhnya.
Miss Je tersenyum melihat tingkahnya. “Kau sudah sembuh, Sayaang.”
Nat masih sibuk memegang pipinya, juga bagian-bagian lainnya. “Bagaimana bisa, Miss?”
“Apa kemarin kau lupa, saat kau terjebak dalam kegelapan?” Miss Je tersenyum miring. “Pasti kau mendengarkanku yang sedang berbicara via telpon.”
Nat mulai mengingat-ingat, tak butuh waktu lama untuk bersorak. Ia tahu itu. “Eh, iya. Jadi kau bisa tahu ke mana jiwaku pergi?”
“Hanya pendengaranmu yang pergi.”
Nat menggaruk-garuk kepalanya dengan mulut yang membulat sempurna. Lantas termanggut-manggut kecil. “Jadi yang kau lakukan tadi, kau berusaha menyeimbangkan elemen natural dalam tubuhku?”
Miss Je mengedikkan bahu dengan wajah yang dimiringkan. “Ayo,” ujarnya sambil berdiri tanpa menunggu Nat berhenti menggaruk kepalanya.
“Tapi aku belum mandi, Miiis!”
Miss Je tidak peduli dengan protes, ia langsung keluar dari kamar itu melalui lubang sobekan. Membuat Nat merasa terpaksa untuk pergi dengan pakaian seadanya. Ia sadar, betapa tidak nyamannya keluar dari asrama dengan hanya mengenakan kaos atasan hitam tanpa lengan yang tipis dan rok mini sekolah yang belum berganti sejak kemarin dan bertelanjang kaki. Lekuk tubuhnya begitu terekspos. Ia takut jika nanti banyak lelaki yang menatapnya dengan penuh nafsu.
“Kau tak usah khawatir. Tidak akan ada yang melihat kita.”
Maka Nat pun beranjak keluar dari kamarnya. Belum sempat menghela napas, ia kembali dikejutkan dengan wujud alam sekitar. Lubang sobekan itu sejatinya pembatas dimensi. Bisa dikatakan, Miss Je dan Nat telah berubah menjadi jin—dalam hal keberadaannya.
Lubang sobekan yang memperlihatkan ruangan kamar mengecil dengan sendirinya hingga benar-benar tertutup setelah Miss Je mencipratkan jemarinya ke sana.
“Pegang tanganku.” Miss Je dan Nat kini berpegangan tangan. “Pejamkan mata.”
Ketika Nat memejam, ia menemukan dirinya sedang berada di dunia nyata. Hanya saja, waktunya yang berbeda. Ini adalah zaman prasejarah, tidah dapat diprediksi berapa ratus ribu tahun sebelum masehi.
Memang tidak terlihat dinosaurus atau makhluk mitologi seperti yang sering Nat baca dalam buku sejarah, tetapi peradaban di sini sangat jauh berbeda dengan yang telah ia lihat seumur hidupnya. Manusia-manusia sedang berburu, memotong makanan dengan pecahan batu atau sobekan bambu, menggosok batu putih hingga mengeluarkan api, juga beragam hal alamiah lainnya. Pakaian mereka seperti kulit domba yang ditenun. Bangunan-bangunan hanya terdiri dari empat tembok persegi dengan dua pintu, terbuat dari bebatuan.
Gadis muda itu semakin tercengang saat Miss Je membawanya lebih dekat. Ia dipertontonkan manusia-manusia berukuran raksasa. Nat memperkirakan tingginya sekitar 18 meter. Mereka berdua mengintip aktivitas manusia zaman ini dari balik pohon. Miss Je terkikik geli melihat ekspresi Nat yang ketakutan. Apa Miss Je menganggapnya lelucon?
Miss Je dan Nat terguling seketika. Sebuah getaran dahsyat terjadi saat mereka sedang mengamati sekitar. Nat semakin ketakutan, tetapi Miss Je malah biasa saja, bahkan masih sempat-sempatnya menertawakan Nat.
“Apa yang terjadi?!”
“Tenang. Inilah saatnya.” Miss Je merangkul tubuh Nat yang semakin ketakutan. “Kita tunggu saja, makhluk itu semakin dekat dengan kita.”
“Maksudmu apa?”
“Sposefik sudah mulai meluluhlantakkan bumi sejak dua hari yang lalu di titik lain. Sebentar lagi dia akan muncul di sini untuk menghancurkan tempat ini dan sekitarnya.”
Nat lebih tercengang dari sebelumnya. “Kau serius?”
Miss Je mengangguk santai.
“Sposefik itu apa?” tanya Nat lagi yang begitu jarang berkedip.
“Nama dia diambil dari bahasa Yunani. Yaitu Pseftikos Theos. Berarti Tuhan Palsu. Dia adalah atheis garis keras. Bukan hanya atheis yang tidak percaya Tuhan seperti yang sering kau temui di Selandia Baru atau di Saskatoon. Tetapi dia atheis garis keras di antara para atheis, atheis garis keras di antara atheis garis keras itu, garis keras dari itu lagi dan seterusnya sampai tak terhingga.
“Jika kau pernah menemui temanmu yang atheis tidak percaya akan adanya Tuhan, maka Sposefik bukan hanya tak percaya. Dia malah membenci orang yang percaya Tuhan, membenci siapapun yang menyembah Tuhan. Dia merasa, dia-lah yang pantas disembah. Dia akan membenci siapapun yang tidak mau menyembahnya. Lalu dia akan menghancurkannya.
“Kau tahu bahwa seisi alam semesta ini bersujud kepada Sang Pencipta?” Miss Je menatap kosong ke kaki langit dalam kondisi tempat berteduhnya yang semakin berguncang.
Nat yang berada dalam dekapan Miss Je semakin tertegun, bola matanya kian berbinar. “Aku pernah menemukan kalimat yang berbunyi, ‘Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, akan tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.’ Aku menemukan kalimat itu dalam sebuah kitab suci suatu agama.” Netranya mulai berkaca-kaca. Ia begitu sigap menyekanya sebelum ada bulir yang tumpah. “Aku lupa itu agama apa. Yang pasti ketika aku mencari pandangan sains tentang fakta-fakta yang sering disebutkan dalam kitab suci itu, belum ada yang tidak terbukti.”
“Nah. Semua yang menyembahnya itu ingin segera ia hancurkan. Tidak peduli seberapa kecilnya makhluk itu.” Miss Je mempererat rengkuhannya karena menyadari mulai ada embusan angin kencang, lalu mencipratkan jemarinya ke sekitar hingga tercipta gelembung pelindung.
Seper sekian detik setelah itu, pohon tempat mereka berteduh tumbang dengan hentakan maha dahsyat hingga membentur gelembung pelindung. Benturan pohon itu seperti menendang. Seketika, mereka terlempar jauh hingga ratusan kilo meter. Miss Je tersenyum teduh dalam tatapan Nat yang semakin ketakutan.
“Tenanglah, Sayang. Kau aman bersamaku,” Miss Je berucap lirih. Kini mereka mengapung pada ketinggian dua ratus meter di udara, menyaksikan huru-hara di permukaan. Manusia, binatang, bebatuan, batang pohon, puing-puing bangunan kuno dan segala yang menancap di daratan menjadi hancur, terlempar dan saling menghantam. Darah menumpah di mana-mana, tubuh-tubuh terpotong dimutilasi oleh isi bumi lainnya yang juga di ambang musnah.
Selain gempa bumi yang begitu dahsyat, gelombang air laut ikut andil menghempas daratan. Petaka berlanjut dan semakin mencekam dengan munculnya semburan api hingga ketinggian seperti hendak membakar langit. Sposefik muncul dari balik api itu. Monster itu bergerak cepat bagai lesatan peluru sniper. Letusan-letusan tanah mengikuti laju terbangnya.
Bukan lagi tak berkedip, Nat bahkan tidak sadar dirinya menahan napas menyaksikan peristiwa ini.
🔥🔥🔥
Aku tahu apa yang akan terjadi. Eh, ya iyalah ya 🤭 Apa kamu sudah menebaknya? 😂
Oke. Voment dibuka.
Kasih semangat jika ingin cerita ini berlanjut dan tamat. 🤭
Ingatkan typo juga ya.
See you 😉
Colek Kost dan juragannya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top