14 - Babi yang Mati Kelaparan Di Kebun Ubi
Mereka berempat menemukan Amber Qiana dalam keadaan tidak sadar. Berdasarkan informasi dari rumah sakit itu, ia koma setelah kecelakaan—tabrakan mobil—25 hari yang lalu.
“Kita harus sabar menunggu,” ujar Van saat mereka kembali ke markas.
Yang lain tidak merasa punya ide untuk membantah keputusan ketua. Tetapi sekali lagi, Van bukan sembarang memutuskan, terbukti penantian mereka tidak sia-sia. Seminggu kemudian, Amber Qiana siuman. Beberapa hari berikutnya, ia sudah diperbolehkan pulang. Dan keempat pendekar belia itu langsung menemui gadis itu saat hari pertamanya masuk kelas.
Nat sudah menunggu di pintu kelas 10 F saat jam pulang sekolah. Begitu melihat, Amber tampak seperti berpikir. Apakah mereka pernah bertemu sebelumnya? Ia lantas berjalan pelan menuju pintu, siswa lain berlalu lalang melewatinya.
“Hai, Amber.” Nat melambai saat jarak mereka tinggal empat meter.
Amber masih tampak bingung. Namun tidak menghentikan langkahnya.
“Apakah kau masih mengenaliku?” Nat melempar senyum ramah.
“Tunggu.” Amber mengangkat telunjuk lalu memegang kepala. “Kau ...? Di perpustakaan?” Ia masih berpikir.
Nat mengangguk cepat. “Iya. Aku Nat. Natasha Bedingfield. Kita bertemu saat kau terpeleset di perpustakaan.”
Amber masih berpikir, lalu mulutnya tiba-tiba terbuka. “Oh iya. A-a-aku baru ingat. Maaf, a-aku sedang kesulitan untuk mengingat. B-b-bagaimana kabarmu?”
“Tidak mengapa, Amber. Kabarku baik.”
Setelah berbasa-basi singkat, barulah Nat mengajak Amber ke markas untuk diperkenalkan dengan Van, Andres dan Ali. Di sore itu juga mereka memberitahu Amber tentang misi. Gadis gagap itu adalah pendengar paling baik. Meski begitu sulit memahami penjelasan, ia selalu mengangguk. Lalu bertanya jika tidak paham.
Ia terus mendengarkan sampai Nat memperlihatkan buku dan halaman bergambar gelembung dengan garis-garis dasar tanpa warna.
Sandungan kembali menghadang langkah mereka. Saat dibawa masuk ke dalam buku, Amber langsung tergeletak pingsan setelah menatap kekosongan di segala arah, langit biru membentang sejauh mata memandang. Mungkin dia tidak sanggup memahami pemandangan aneh itu. Dan itu berarti, kondisinya belum memungkinkan. Dia masih sangat lemah. Mereka segera melarikannya ke rumah sakit untuk dirawat.
Gadis itu baru keluar dari rumah sakit beberapa hari kemudian. Van memutuskan agar halaman baru buku tidak dibuka dulu selama beberapa hari sampai mereka memastikan performa kesehatan Amber pulih seratus persen. Mereka mengujinya dengan mengajak berbagai macam olah raga seperti bermain tenis, juga olah raga otak seperti bermain catur. Sebagai indikasi tingkat kepulihan, mereka melihat dari performa olah raga yang ditunjukkan Amber.
Halaman baru buku ajaib itu barulah dibuka lagi dua minggu berikutnya, mereka sudah melihat performa gadis gagap itu yang meyakinkan. Van segera memutuskan untuk membawanya berlatih. Gadis itu mulai berlatih mengendali fisik. Walaupun memakan waktu tiga hari, akhirnya ia berhasil juga.
Duka kembali menimpa mereka setelahnya, Amber tumbang lagi ketika berlatih pengendalian psikis. Ia kembali koma dan dirawat beberapa hari.
Saat ia sadar dan staminanya kembali sempurna, empat kawannya lebih berhati-hati. Mereka menerapkan pelatihan yang lebih ringan pada Amber, juga lebih banyak jeda.
Melatih siswi kelas 10 F itu memakan waktu paling banya di antara yang lain. Sisa waktu tinggal lima hari lagi. Namun, Amber tidak menunjukkan perkembangan yang berarti. Ia belum juga bisa menguasai pengendalian psikisnya dengan sempurna.
Mereka mulai pasrah. Mulai melihat bayang-bayang dunia hancur oleh monster purba itu. Orang tua, teman-teman dan sahabatnya, anak-anak yang baru terlahir ke dunia, semua akan musnah secara bersamaan.
Keempat pendekar duduk tersungkur di sekeliling Amber yang masih bermeditasi, wajah mereka muram kehilangan harapan. Satu temannya masih tertatih meraih perisainya. Tidak ada kekuatan dia, maka tidak ada perlawanan untuk Sposefik. Mereka tidak bisa melawan monster itu langsung di masa, alam atau dimensi ini, harus memindahkannya ke bagian lain. Dan hanya Amber yang bisa melakukan itu.
Apa yang mereka takutkan akan menjadi nyata jika Amber tidak sembuh dan mampu menguasai elemennya. Namun, tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menyerah saja. mungkin sudah waktunya kehidupan berakhir. Kecuali, takdir yang menolong mereka.
Amber masih gagal menguasai ilmunya hingga waktu yang tersisa tinggal dua hari. Teman-temannya sudah bersiap-siap untuk menghadapi akhir kehidupan. Nat menelpon vidio keluarga di Selandia Baru untuk meminta maaf serta mengucapkan rasa sayangnya. Juga berpuas-puas memeluk sahabatnya, Magg.
“Ada apa denganmu, Nat?” Magg merasa aneh dengan teman yang sedang memeluknya. Pundaknya pun terasa basah.
“Aku sayang sekali padamu, Magg. Aku belum pernah memiliki sahabat sebaik dirimu.” Nat menyeka matanya, berusaha menghapus air yang tak mau berhenti mengalir. “Aku ingin memelukmu lebih lama. Boleh kan?”
Magg sedikit mengernyit tak mengerti, tetapi selanjutnya ia hanya tersenyum. “Boleh. Ini tidak buruk.”
Magg sungguh tidak tahu dengan apa yang sebenarnya terjadi. Bagi dia, mungkin benar sahabatnya itu semakin mencintainya.
Anggota lain juga tidak jauh berbeda. Sulit menemukan alasan untuk tetap optimis. Van yang tidak pernah menelpon orang tua di Vietnam, hari ini di menelepon vidio keluarga besarnya di sana berjam-jam. Walaupun pembawaannya tetap kelihatan kaku, tetapi hanya ia sendiri yang tahu jika dirinya sedang menutup akhir hidupnya dengan indah. Atau mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya.
Begitu juga dengan Ali. Ia memang sering menghubungi keluarga. Namun pada hari ini ia sulit menunjukkan keceriaan seperti biasanya. Keluarga langsung tahu kalau ia sedang bersedih.
“Apa yang menimpamu, Nak?” tanya orang tua di seberang sana, jenggotnya putih dan kepala memakai sorban. Keluarga lain yang mengintip di samping kakeknya juga saling tatap.
Ali segera memalsukan senyum. “Aku baik-baik saja, Kakek. Tidak terjadi apa-apa. Kalian tidak perlu cemas.”
“Wajahmu terlihat berbeda hari ini,” celetuk seorang gadis yang kelihatan sedikit lebih tua dari Ali di belakang, ia memakai kerudung hitam.
“Berbeda bagaimana, Kak?” Ali berpura-pura tidak mengerti.
Lalu, berbeda lagi dengan Andres. Biasanya pemuda itu selalu meminta uang tambahan tiap kali menelpon ibunya. Tetapi tidak untuk saat ini, dia cuma bilang rindu dan meminta maaf. Keluarganya menatapnya aneh.
Hanya Amber yang masih memiliki lebih banyak harapan.
Sebuah buku berwarna emas pudar tergeletak di tepi sungai Saskatchwein. Lembarannya terbuka pada halaman bergambar ukiran gelembung tanpa warna. Amber sedang bermeditasi di dalamnya. Ia berpacu dengan waktu dan tenaga. Kulit wajahnya pucat pasi, pelipis basah oleh keringat, darah segar pun menumpah dari dua lobang hidungnya.
“Nat ... Van ... Andres ... Ali ... bantu aku. Kalian tidak boleh menyerah.” Tiba-tiba keempat anak muda yang sedang berada di tempat berbeda, mereka mendengar panggilan dari Amber.
Nat berdecak, itu tandanya Amber sudah ... tanpa menunggu lagi, ia segera menghubungi yang lain. Lalu, mereka segera mencari Amber.
“Kita akan berpencar. Siapapun yang lebih dahulu menemukannya, segera kabari yang lain.”
Menemukan Amber, ternyata lebih sulit dari yang mereka kira. Terbang ke sana ke mari dengan wujud masing-masing—uap air, debu, udara dan api, tetap saja mereka tak menemukan keberadaan gadis gagap itu. Mereka mencoba menunggu dipanggil kembali olehnya, tetapi juga tidak ada. Mencoba menghubungi dengan menelepon, juga tidak dijawab.
Sampai esok hari, empat sekawan terus mencari temannya ke seluruh penjuru kota ini. Hanya satu tempat yang belum dikunjungi, sungai Saskatchwein. Mereka segera menyusuri sepanjang sungai itu selama beberapa menit, hingga Andres melihat sebuah buku tergeletak di pinggir sungai. Ia langsung menelepon yang lain, lalu menyemburkan api besar ke langit agar Nat, Van dan Ali lebih cepat menemukan keberadaannya.
Saat api besar itu menyembur, para warga yang tak sengaja melihat ke arah sana bergidik ngeri. Bahkan beberapa orang hampir sempat mengambil gambarnya, untung saja api besar itu hilang dalam sekejap.
Namun, peristiwa sekejap itu tetap saja memicu kehebohan. Berbagai media berlomba-lomba mengabarkan berita kemunculan api yang tak diketahui dari mana itu.
“Pemirsa. Sebuah ledakan api yang sangat besar, muncul di langit Kota Saskatoon. Belum ada yang tahu dari mana sumber api kilat itu. Namun tim investigasi mulai menyelidiki peristiwa aneh ini.” Seorang petua yang sedang asyik menonton televisi tiba-tiba dikagetkan dengan berita itu.
Sebagian besar warga sedang beramai-ramai mengerumuni tepi Sungai Saskatchwein, karena diketahui kobaran api itu muncul di area ini. Empat sekawan itu telah pergi melarikan buku itu tanpa meninggalkan jejak.
Sekarang, Nat dan kawan-kawan sudah tiba di markas. Mereka kembali berubah wujud menjadi manusia.
“Kau ini ceroboh sekali, Jalang!” Ali langsung menyemburkan kekesalan. Andres tidak terpancing, sudah paham dengan sifat labil teman setimnya itu. Ia hanya tersenyum miring.
“Waktu kita sempit, Ali! Jangan berdebat lagi.”
“AAARGH!!!” Wajah Ali memerah, rahang menegang, tangannya mengepal kuat.
Lalu Nat menatap Andres. “Kau, lain kali jangan ceroboh lagi. tidak boleh ada yang tahu tentang kita, kekuatan, dan misi kita.”
Andres hanya menanggapi dengan menaikkan alisnya. Nat selalu mabuk dengan tatapannya.
“Segera buka bukunya kembali,” titah Van menyita perhatian yang lain.
Nat langsung membuka buku. Lalu mereka semua menyatukan telapak tangan, buku menyedotnya begitu saja hingga mereka tiba di sebuah tempat tak berpijakan, di segala arah—bahkan di bawah kaki pun—hanya terlihat langit biru tanpa awan di sejauh mata memandang. Ya, ini halaman buku tempat berlatihnya pengendalian ruang.
Semuanya terkesiap saat melihat beberapa jauh dari mereka ada seseorang tergeletak pingsan. Itulah Amber Qiana.
“Amber!” seru Nat yang langsung berlari mendekati, yang lain pun mengikuti.
“Bagaimana ini? Waktu kita yang tersisa hanya hari ini.” Ali berkata cemas.
“Kalian sudah berbicara dengan saudara-saudara di kampung halaman?” ucap Andres menaikkan alisnya.
“Maksudmu bicara untuk yang terakhir kalinya?” sahut Ali melotot.
Andres mengedikkan bahu.
“Kita harus segera bawa Amber ke rumah sakit,” ucap Nat yang masih memeluk kepala Amber.
“Dan besok dia akan mati juga bersama kita, saat Sposefik bangkit.” Ali tersenyum kecut.
Andres yang duduk bersandar di bangku kuliah, terkekeh lalu menepuk bahu Ali. “Betul sekali, Kawan. Akhirnya kita sepemikiran.”
Ali justru menggeleng kesal melihat Andres.
“Kalian ini melupakan sesuatu.”
Semuanya terdiam saat mendengar perkataan Van.
“Maksudmu?” tanya Nat.
Van bangkit dari bangkunya. Lalu berdiri, berjalan pelan di depan yang lain. “Kalian seperti babi yang mati kelaparan di kebun ubi.”
TUFFF!!!
Semuanya terkejut dengan suara meja yang dipukul Ali. Sepertinya dia tidak menyukai kalimat yang diucapkan Van.
“Sebagai ketua, harusnya bicaramu bisa lebih bagus.”
Nat yang duduk menampung sandaran dari Amber, langsung memegang kepala. Ia tidak habis pikir dengan satu temannya yang sangat mudah terpancing amarah itu. Andres malah tersenyum miring sambil menggeleng, sedangkan Van tidak menggubris sama sekali.
“Beberapa kali Amber jatuh, kita selalu membawanya ke rumah sakit. Padahal ... ” Van sengaja menjeda bicara. Langkah kakinya ikut menjeda.
Semua menunggu tidak sabar.
“Padahal apa?” Ali paling tidak sabar.
“Kita sediri punya obatnya.” Van lantas mengangkat tangan kanan, lalu menangkap segumpal tanah yang terlempar entah dari mana. Teman-temannya masih belum paham.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top