13 - Pendekar Pengendali Ruang
Waktu tersisa 62 hari, terhitung sejak pagi tadi. Sekarang-sore-di ruang ini, Ali akan dibawa masuk ke halaman buku. Berbeda dengan yang lain, ia kelihatan lebih bersemangat saat ditawarkan misi itu.
Ali hanya sedikit memancungkan mulut melihat halaman buku bergambarkan api. Juga tidak terkejut separah yang lain ketika dibawa masuk ke dalam buku, mungkin karena dia tipikal manusia yang pandai mengenali sesuatu. Sekarang dia berlagak seolah sudah tahu kalau api-api berkobar membakar langit itu tidak akan membakarnya. Ia tidak bergidik sama sekali.
Intruksi dari suara beriring tayangan di kaki langit diikutinya dengan semangat dan penuh ambisi. Tetapi, sayangnya Ali juga tidak sempurna. Ia juga manusia yang datang untuk disempurnakan, dipoles lagi untuk lebih layak digunakan. Durasi pelatihan Ali bahkan jauh lebih lama dari pada Andres.
Nat yang memegang buku harus berulang-ulang membukanya tiap hari. Tetapi anak muda yang setingkat dengannya itu selalu saja membuat ulah, baik di dalam maupun luar buku.
Seperti suatu ketika, saat Van memintanya untuk lebih santai, tidak terlalu bersemangat.
"Kau harus lebih santai, biar tidak gagal-gagal terus dan membuang banyak waktu."
Mendengar itu, wajah Ali memerah padam dengan rahang menegang. Tangannya mengepal. "Aku tahu kau senior, dua tingkat di atasku. Tetapi bukan berarti kau bisa menghinaku seenaknya begitu." Ia langsung menyerang dengan mendaratkan tinjunya di hidung Van. Tangannya memar, jemarinya remuk. Butuh dua hari untuk memulihkan. Lalu dia mengeluh dan ingin keluar dari tim. Nat lah yang mati-matian membujuknya kembali dengan berbagai cara.
Lalu, di waktu yang lain. Ketika Andres dilihatnya seperti melecehkan Nat. Saat itu Andre sedang menatap Nat dari bawah ke atas dengan begitu intens. Gadis itu yang sedang sibuk berbincang tentang catatannya dengan Van tidak menyadari. Ali terus memperhatikan kelakuan Andres. Ketika Andres bersiul tanpa suara, saat itulah Ali bangun dari duduknya dan memutar leher baju Andres.
"He! Kenapa kau ini?" Andres terkejut melihat Ali yang muncul di depan wajahnya dengan emosi yang diperlihatkan.
Ali memajukan dagunya. "Kau yang harusnya mengatakan kau kenapa. Harusnya kau bisa lebih menghargai perempuan."
Otomatis Andres mengernyit, tidak mengerti maksud perkataan Ali.
"He! Apa-apaan kalian ini?" Nat menghentikan kesibukannya dengan Van. "Ali! Jika marah-marah terus, kapan kau akan berhasil menguasai kekuatan? Kau harus belajar mengontrol emosimu!"
Ali melepas leher baju Andres dengan kasar. Andres segera merapikannya, ia berusaha memaklumi tindakan kasar juniornya.
"Kalau tidak ada yang membakar, aku tidak akan kepanasan. Kalian jangan hanya menyalahkanku saja. Aku hanya korban." Ali merasa tidak terima.
Namun, seberapa pun parahnya, sifat manusia masih bisa diubah. Tak ada gading yang tak retak. Begitulah kata pepatah. Meski lama, yang penting terbukti hasilnya. Di sini, Ali yang biasanya keras kepala dan cepat marah, akhirnya luluh juga. Alhasil, latihan berjalan lebih lancar hingga ia bisa menyalakan api kecil. Kesabaran Nat dan kawan-kawanlah yang menjadi kunci.
Berhasilnya Ali menguasai elemen naturalnya, membuat tim pendekar itu hampir sempurna. Keempat anak muda itu memanfaatkan sisa waktu untuk segera menemukan anggota kelima-pendekar pengendali ruang.
Sayang seribu sayang. Dengan anggota yang lebih banyak, tidak menjamin tujuan tercapai lebih cepat. Pendekar yang kelima tak kunjung ditemukan, setelah hampir sebulan mereka mencarinya. Rata kelas yang ada di Elite Private High School telah mereka uji satu per satu.
Tetapi mereka tidak menyerah. Mereka kembali memeriksa daftar hadir para siswa sekolah itu, hingga akhirnya menemukan sesuatu. Ya, ada salah satu siswi yang hampir sebulan tidak masuk kelas. Dan Nat, ia benar-benar terkejut saat membaca nama siswi yang tidak hadir tersebut. Karena ia mengenalnya.
"Amber Qiana?" seru Nat memelototi layar ponselnya, sama halnya dengan ketiga teman laki-lakinya.
"Ada apa memangnya?" Ali menatap Nat selidik. Van dan Andres juga. Mereka sedang berada di ruang sekretariat Van, tempat yang berada di lantai dua gedung sekolah ini telah resmi menjadi markas mereka. Van memegang tanggung jawab penuh atas ruangan ini.
"Coba kalian periksa, apakah nama ini cuma ada satu di sekolah kita?" Nat kembali menggesek layarnya, masih berputar-putar di portal sekolah untuk memeriksa daftar-daftar yang menyimpan nama Amber Qiana.
Beberapa saat hening dengan fokus ke ponsel masing-masing. Hingga akhirnya Nat bertanya lagi. "Bagaimana hasilnya?"
"Aku tidak menemukan apa-apa," sahut Ali dengan wajah serius.
"Aku ... juga tidak ada. Praktis nama itu hanya ada satu," ucap Andres menatap Nat dengan senyum miring-gaya khasnya-lalu menoleh ke Van yang duduk di sebelah kanannya. "Bagaiman denganmu, Ketua?"
Van masih fokus menggeser layar ponsel, tetapi sedetik kemudian langsung menatap yang lainnya sambil menggeleng. "Berarti, hanya ada satu pilihan. Amber Qiana, dialah orangnya."
"Kau yakin?" Nat memastikan setelah saling tatap dengan Andres dan Ali.
"Tidak ada pilihan lain. Harus dia." Van berkata serius. "Atau kalian mau mencari ke seluruh kota Saskatoon? Seluruh Kanada? Atau seluruh dunia?"
Semuanya menggeleng pelan.
Selepas dari perundingan sore itu, mereka langsung mencari keberadaan Amber Qiana yang tidak masuk sekolah hampir sebulan. Esok hari atas peunjukan Van, Ali dengan semangat berkobar menuju kelas 10 F-kelas Amber Qiana-untuk menanyakan alasan ketidakhadiran gadis itu yang hampir sebulan.
Namun sayang, Ali membawa wajah muramnya saat mereka berkumpul di markas pada sore hari.
"Kenapa Kau?" tanya Andres santai saat melihat wajah lesu Ali.
Siswa berkebangsaan Iran itu menggeleng, lalu menadah tangan. "Bagaimana mungkin kita menjadikan orang sakit yang sedang sekarat sebagai anggota tim kita?"
"Maksudmu, dia sakit?" Nat bertanya serius, matanya melotot. Setelah melihat Ali tertunduk lesu, ia menoleh ke Van untuk menunggu pendapatnya.
"Apapun yang terjadi, hanya itu harapan kita." Pria paling tua dalam kelompok itu selalu dengan air muka kakunya.
"Kau yakin?" Nat mengonfirmasi. Van mengangguk tanpa ragu.
"Kau tak usah cemas. Keadaan lemah saat ini bukan berarti dia bisa diremehkan." Andres meskipun sering kurang ajar dengan perempuan, ia cukup pandai berpikir positif. Mungkin itulah kelebihannya.
Besok sore, setelah keluar dari kelas, mereka langsung menuju rumah sakit tempat Amber Qiana dirawat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top