10 - 94 Hari Lagi
“SAATNYA KAU MENCARI EMPAT PENDEKAR YANG AKAN MELENGKAPI TIMMU,” ucap suara itu setelah Nat terdampar ke sebuah padang pasir yang menghampar sejauh mata memandang. Ini adalah ruang dari lembaran kedua buku itu, bergambarkan tanah kering dengan warna dan ukiran klasik.
“KAU HARUS MENCARI SATU PER SATU, MULAI DARI SI PENGENDALI TANAH. JANGAN SAMPAI SALAH PILIH. KAMI AKAN BERIKAN KRITERIA UNTUK SI CALON PENGENDALI TANAH TERSEBUT. DIA MEMILIKI SIFAT STABIL, BERPENDIRIAN KUAT, KAKU, BERPRINSIP KERAS,BERMENTAL KOKOH, BERPEMBAWAANTENANG DAN MENENANGKAN,LOYAL,FLEKSIBEL,OTAK ENCER,CALON PEMIMPIN YANG TERBAIK,BAIK DALAM MENGATUR EMOSI,BODOH AMAT DENGAN MASALAH ORANG LAIN,CINTA DAMAI.”
Terdiam sejenak untuk mencerna kriteria yang disebutkan, sekejap berlalu ia pun mengangguk tanda menyanggupi. Nat langsung terlempar ke terowongan ilusi warna warni. Ia meluncur secepat kilat untuk kemudian terduduk kembali di sebuah bangku perpustakaan. Ia segera menutup bukunya dan seketika waktu kembali berjalan normal—waktu akan berhenti saat ada manusia masuk ke dalam buku itu.
Nat mulai memperhatikan sekitar. “Ah,” keluhnya saat menyadari ada sesuatu yang terlupakan. Ia kembali melirik ke sana ke mari. Setelah memastikan tidak ada yang memperhatikannya, ia langsung berubah menjadi air, menyebar menjadi uap yang tak mudah dilihat di udara. Ia merayap cepat menuju tempat penitipan tas, lalu kembali menjadi manusia dan menukar buku tebal itu dengan buku catatan kecil.
Di tempat itu juga menggunakan alas seadanya, ia membuat daftar kriteria. Mencatat semua sifat dari calon pengendali tanah. Ia berpikir sejenak sambil mengetuk bibirnya. Lalu ia termanggut-manggut sendiri, mulai menemukan berbagai ide. Segeralah ia mencatatnya di buku kecil. Lalu ia kembali ke meja baca. Mulai memantau semua orang untuk mencoba mengujinya.
Saat seorang siswi sedang berjalan menuju rak, Nat mengetuk jemari di meja. Saat itu juga, tanpa sadar siswi itu menginjak kubangan air kecil di depannya hingga ia terpeleset.
Nat sontak menutup mulut, agak ngeri membayangkan jika sampai siswi itu cedera. Ia segera berlari untuk membantu gadis itu berdiri. Jangan sampai terjadi apa-apa dengannya.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Nat mengulurkan tangan. “Ada yang sakit?”
Gadis itu menerima. “Ti-ti-dak mengapa. T-tidak ada yang sakit. Aku hanya t-terkejut saja dengan a—” Ia terkejut saat melihat bekas airnya telah hilang di lantai marmer itu. “Bagaimana mungkin airnya bisa hilang?”
Nat tahu ke mana airnya. Tentu saja ia tak akan memberitahunya karena dialah pelakunya. “Tidak usah kau pikirkan itu. Biar aku bantu kau bangun.”
“Terima k-kasih,” ucap gadis itu setelah kembali berdiri.
Nat mengangguk dan membalas senyum.
Gadis gagap itu kembali mengulurkan tangan dan disambut oleh Nat. “Aku Amber. Amber Qiana. Namamu s-siapa?”
“Natasha Bedingfield. Panggil saja Nat.” Ia tersenyum ramah.
Pertemuan keduanya hanya sebatas perkenalan yang mungkin tidak penting. Setelah itu mereka kembali pada kesibukan masing-masing. Amber melanjutkan mencari buku. Sedangkan Nat kembali dengan misinya. Ia menyukai orang yang ramah seperti Amber untuk dijadikan tim, tetapi Amber jauh dari kriteria itu; tidak stabil, sangat mudah terjatuh.
Nat terus mencari dengan cara itu di perpustakaan ini. Berkali-kali gagal dengan cara tersebut, ia mencoba berbagai cara lainnya. Satu per satu orang diuji tanpa sepengetahuan mereka. Ia bahkan menyusuri ke berbagai tempat seperti gedung olah raga, kantin, semua kelas dan lainnya. Namun, hari itu tampaknya memang bukan hari keberuntungan Nat. Ia akan kembali melanjutkan misinya esok hari.
Waktu tersisa 93 hari lagi. Malam harinya ia kembali menulis daftar cara pengujian baru. Gadis itu memang tidak pernah kehabisan ide. Namun, besoknya juga belum berhasil. Waktu tersisa berkurang lagi 92 hari. Sedangkan tugasnya masih banyak. 92 bukan angka yang cukup banyak untuk waktu dalam menuntaskan misinya, mengingat mencari satu anggota saja, kriterianya tidak boleh meleset seperti yang disebutkan dalam buku.
***
Hari ini Nat kembali memulai dengan semangat. “Tunggulah, Sposefik. Kami akan datang dengan kekuatan sepadan.”
Seperti hari-hari sebelumnya, ia sudah menyiapkan rencana. Berpengalaman dari dua hari itu, hari ini geraknya lebih cepat. Terkadang ia juga sempat melakukan tindakan fleksibel seperti menonton bola di lapangan sekolah sambil mengadu domba para penonton. Ia membuat dua siswa yang duduk berdekatan di sisi lapangan untuk terlihat seperti saling meludah. Padahal, air liur dikeluarkan oleh Nat dari mulut mereka. Keduanya langsung berseteru sampai akhirnya saling menyingkir satu sama lain. Itu artinya, dua orang itu bukan timnya.
Sampai pulang sekolah, Nat belum juga berhasil. Tetapi ia belum menyerah, setelah ganti baju, ia mencoba mengunjungi berbagai ruang ekstra kurikuler. Stabil, berpendirian kuat, kaku, berprinsip keras,bermental kokoh, berpembawaantenang dan menenangkan,loyal,fleksibel,otak encer,calon pemimpin yang terbaik,baik dalam mengatur emosi,bodoh amat dengan masalah orang lain,dan cinta damai. Keempat belas sifat itu berputar-putar di kepalanya. Tiap kali melihat orang, ia selalu saja mengangguk dan menggeleng karena ada beberapa sifat itu yang ditemukan, lalu sifat-sifat lain tidak ada.
Keringat di pelipis berkali-kali dihapusnya. Sampai sore hari pukul lima, ia belum juga menemukannya. Nat melangkah dengan lesu, melewati ruang-ruang yang ada di lantai dua gedung itu. Seseorang keluar begitu saja dari ruangan itu saat Nat melewati pintunya dan membuat ...
BUKKK!
Nat tergeletak setelah menabraknya. Ia langsung cemas saat menoleh ke atas, di hidung pemuda itu keluar darah. “Maafkan aku.”
Laki-laki berperawakan asia itu berdiri mematung sambil menghapus darah di hidungnya akibat benturan dengan kepala Nat. Wajahnya memerah, mungkin kesal dengan kejadian ini. Namun, sejenak kemudian membungkuk dan mengambil susuanan kertas miliknya yang berserakan.
Nat berusaha bangkit dengan raut masih tergemap. Ada sesuatu yang terbesit di hati saat menatap wajah kaku laki-laki itu, tetapi ia tidak mengerti maksudnya apa. Mungkin karena sedang cemas dan merasa bersalah. Perlahan darah kembali mengintip di lubang hidung—ingin keluar, namun Nat berhasil membuatnya hilang seketika.
“Aku benar-benar tidak sengaja. Apa yang bisa kulakukan untuk membayar kesalahanku?”
Pria itu masih merapikan susunan kertasnya. “Tidak perlu.” Lantas ia pergi begitu saja, meninggalkan Nat yang masih merasa bersalah.
Nat tertunduk lesu sambil berjalan ke arah berlawanan. Masuk ke lift, keluar ke lobi, lalu pulang menuju asrama. Langit semakin memerah, suara kendaraan terdengar ribut di area parkiran. Anak-anak ekstra kurikuler satu per satu hilang. Ia menutup hari ini dengan rasa kecewa.
Ia terus berjalan, beberapa langkah lagi akan memasuki gerbang asrama. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti. Matanya seketika melotot, entah apa yang dilihatnya. Mulutnya menganga. Ia mengingat sesuatu.
Sebelum terlambat, ia segera menjelma dalam bentuk uap air untuk melesat bersama angin. Ia melihat dari atas, di mana posisi laki-laki itu sekarang? Dan, laki-laki itu ternyata sedang keluar dari gerbang. Tampaknya menuju halte.
Nat mendarat tepat di belakangnya setelah memastikan tak ada mata yang melihat ke sana. “Tunggu!”
Pemuda itu berhenti, perlahan menoleh ke samping tanpa berkata-kata.
“Kita belum ... berkenalan. Aku Natasha Bedingfield. Sebut saja Nat,” ucap Nat patah-patah. Jujur saja, ia sedikit gugup.
“Van.”
“Bolehkah aku meminta kontakmu?”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top