1 - 00 00 00
Untuk mengantisipasi kebingungan.
Bab ini bercerita dengan PoV 3, tapi enggak maha tahu. Cerita mewakili pemikiran satu orang saja.
Happy reading.
🔥🔥🔥
Gadis bersampul blazer hitam dengan garis emas di kedua lengan dan saku, masih belum beranjak dari bangku di sudut perpustakaan.
Sebuah buku tebal—sepertinya seribu halaman lebih—dibiarkan menganggur begitu saja di atas meja. Iris biru dalam sklera putih di balik kacamata, tatapan itu malah tertuju ke arah ponsel.
Wajah putih porselen plus rona merah jambu, tampangnya terus berganti sejak tadi. Kadang terkesima, eh, tiba-tiba bibir tipisnya membentuk garis lengkung.
Sebentar menganga, sebentar mendengkus, sebentar mengusap rambut cokelatnya, sesaat berikutnya malah menggeleng.
Sejak kakinya melewati pintu kelas, sampai sekarang telunjuk kanannya masih sibuk menggesek layar ponsel.
Di antara beberapa buku dari berbagai toko daring, seharusnya sudah ada yang ia masukkan ke keranjang beli.
Namun mau bagaimana lagi, isi dompet dan saldo tabungan, untuk bertahan hidup di akhir semester saja masih memprihatinkan.
Baiklah, ia memasukkan ponselnya ke saku blazer.
Gadis berusia enam belas tahun lebih itu mendengkus. Lantas ia kembali membuka lembaran buku yang isinya membosankan.
Buku-buku fiksi, ensiklopedia, esai, sains populer, hampir seperempat dari seluruh buku yang ada di perpustakaan besar itu sudah dibacanya, bahkan ada yang berkali-kali.
Saat ia baru membaca satu dua kalimat, sesuatu terjadi. Beberapa siswa lain yang juga sedang ada di ruang itu, tiba-tiba bergegas keluar.
"Ada apa!?"
Tak ada yang sempat menjawab pertanyaannya. Semuanya sibuk berlari, terburu-buru, seperti ingin melihat sesuatu kejadian langka yang jika mereka terlambat, maka akan hilang.
"He!" gadis dengan tinggi badan 175 sentimeter itu berseru sekali lagi. Namun, tetap tidak ada yang peduli. Semua orang berlarian ke luar sampai ruangan itu menjadi kosong.
Alih-alih ingin mengikuti mereka, langkahnya malah tersekat. Ia terkesiap saat menyadari tubuhnya yang tak bisa digerakkan. Pandangan matanya yang mengarah ke pintu, berhenti di situ saja tanpa ia kehendaki.
Dari titik itu pula, transisi dimulai. Semua yang terlihat, menjadi seperti larut. Plafon, lampu, dinding, rak, meja, buku-buku, jendela kaca, semua seperti terpecah dengan kecepatan lambat, larut menjadi serpihan.
Semakin kecil, perlahan, sampai beberapa saat ... semuanya hilang. Gadis itu kini berada di ruang hampa, pijakan pun tak ada.
Tubuhnya telah bebas dari sekat. Saat ia memutar pandangan, di segala arah hanya tampak hitam. Nilai warna yang ditangkap oleh matanya, persis 00 00 00.
Hitam legam, bukan sekadar gelap. Bahkan tubuhnya sendiri tak terlihat lagi.
Ia mencoba bergerak. Memanjat? Bisa. Loncat? Bisa. Meluncur ke bawah atau menjatuhkan diri? Sangat bisa.
Terakhir, ia memasang kuda-kuda, lalu meloncat setinggi mungkin—ingin terbang ke awan. Sungguh, beberapa menit tubuhnya terasa benar-benar seperti sedang terbang, walaupun sama sekali tidak terasa ada angin yang menabraknya.
Ia telah sampai pada jarak yang dia inginkan, tetapi apa yang ia lihat sama sekali tak berbeda dengan sebelumnya. Hanya hitam.
Semua pijakan akan terasa sebagaimana keinginannya. Ia mencoba berlari-lari ke segala arah, tetap tidak sampai ke mana-mana.
"Di mana aku?" Pertanyaannya tertuju kepada ... entah siapa. Yang pasti, ia merasa terjebak dalam ilusi.
Kini ia mencoba membaca situasi. Apa yang terjadi?
"Hem ...." Gadis dengan tinggi badan 175 sentimeter itu mengangguk-angguk.
Lengannya berlipat di bawah dada. Rasa paniknya telah reda meski denyut nadinya belum normal sempurna.
Ini tidak terlalu asing bagi siswi kelas unggulan itu. Meskipun yang ia baca hanya fiksi, ia akan mempelajari kausalitasnya.
Apa lagi jika yang ia baca adalah buku sains, maka kenyataan ini pun termasuk hal yang mungkin.
"Baiklah." Aku akan mencoba kembali ke tempat semula.
Sepertinya ia memahami sesuatu. Sejak tadi, gravitasi yang terasa, tetap vertikal seperti biasanya. Ini akan mempermudah untuk mencari posisi semula.
Tanpa menunggu lagi, ia langsung menceburkan diri ke bawah. Berharap terjatuh kembali ke bumi.
Tubuhnya tergeletak pada pijakan yang diinginkannya. Sedikit meringis, ia berusaha bangkit berdiri. Menunggu beberapa saat untuk memulihkan tenaganya, lalu mengulangi gerakan awal—seingatnya.
Alisnya seketika menaut setelah semuanya dilakukan. Tiba-tiba ia mendengar cebar-cebur di sekitar, anak muda seusianya berseru macam-macam.
Bahkan, suara-suara itu terdengar begitu dekat, persis seperti terjadi di tempatnya berdiri. Hanya saja, ia tidak dapat melihatnya. Masih dalam kekosongan. Hitam. Gelap.
"Aku di mana!"
Sayang, seruannya tak sampai ke mana pun. Tetapi ia tidak lantas frustrasi. Hanya belum menemukan jalan keluarnya.
Siswi yang terkenal cerdas di kelasnya ini mulai menebak-nebak keberadaan diri. Apakah aku berada di kolam renang sekolah, tapi mataku tiba-tiba buta? Oh, tidak!
Ia spontan mencopot kacamatanya. Namun nihil, tak berefek apa-apa.
Kacamata kembali bertengger di atas batang hidung bersudut sempurna itu.
Tidak ada kata terjebak sejati untuk seorang gadis cerdik sepertinya. Walaupun seandainya, ini benar-benar ilusi.
Trial and error, salah satu metode sederhana, bukan formulasi. Namun, justru sangat ampuh dalam mempelajari sesuatu.
Dalam kasus ini, ia sudah mengantongi sebuah asumsi—bisa jadi, tempat ini memang kolam renang sekolahnya.
Selanjutnya, aku harus mencari lokasi perpustakaan. Ya, dia berpikir pintu ilusi akan berakhir di lokasi awal—tempat ilusi mengurungnya.
"Eh, tunggu dulu." Gadis itu tidak jadi melangkah, terbesit sesuatu. Aku memang tidak buta.
Ya, ia berspekulasi—kalau memang hanya karena buta, kenapa cipratan air yang seolah sangat dekat tidak menyentuhnya sama sekali?
Kenapa ia tidak tercebur ke dalam air? Dan kenapa tidak ada satu orang pun yang peduli dengannya, padahal ia berdiri persis di kolam renang itu? Mungkinkah pengunjung kolam secuek itu?
Lagi, suatu hal mendadak terbesit di pikirannya. Niatnya untuk mencari solusi menjadi batal. Oh ya! Kenapa aku tidak memanfaatkan ini?
Ia menyipitkan mata, lalu menggigit lembut bibirnya. Kapan lagi berfantasi seperti ini, sambil mendengar langsung anak laki-laki meloncat dan berenang di dalam air. "Hem ... pasti di antara mereka ada yang bertubuh kekar."
Permainan matanya semakin liar. Ia membayangkan sedang menatap laki-laki bertubuh kekar beradu pandang dengannya sambil melipat lengan ke belakang leher.
"Sini, biar aku saja yang mencukur bulu ketiakmu." Lalu ia berlagak tersipu, seolah laki-laki itu mencubit genit di dagunya.
Ah, sial! Cepat sekali ia bosan, karena gairahnya tak bangkit sama sekali. Apa yang baru dilakukan tidak jauh berbeda dengan khayalan-khayalan kesehariannya.
Tak lebih menyenangkan dari fiksi-fiksi dewasa yang biasa ia baca secara diam-diam—karena tak mau ada yang meniru kebiasaan buruknya.
"Andres, kau kenal gadis cantik itu?" Suara itu terdengar sekitar beberapa meter dari posisi gadis itu berdiri.
Andres? Gadis itu mengangguk-ngangguk. Nama yang bagus. Andai aku bisa melihatnya.
"Yang mana?" Sahutan terdengar tidak jauh dari yang sebelumnya bertanya.
Gadis berpaspor Selandia Baru ini mulai tertarik untuk menyimak percakapan dua laki-laki muda tersebut.
"Gadis berkacamata yang paling sering muncul di perpustakaan."
Apa!? Apa yang dia maksud itu ... Aku? Ia menggeleng. Ah, tidak! Bisa saja bukan aku. Bukankah banyak, siswi berkacamata yang sering datang ke perpustakaan?
"Kau sengaja mempermainkanku?" Suara itu terdengar penuh penekanan. "Ada banyak gadis berkacamata di perpustakaan."
Siswi kelas sepuluh unggulan itu menghela napas. Sepertinya memang bukan aku yang dimaksud. Bodoh amat, lebih baik aku segera pergi.
Dia benar-benar hendak beranjak.
"Aku tidak bermain-main, kawan. Baiklah, aku sebut saja namanya."
"Siapa?"
Suara mereka terdengar semakin kecil.
"Natasha Bedi ... ah, aku lupa lengkapnya." Meskipun terdengar sudah sangat kecil, suara itu mampu menghentikan langkah sang gadis yang sudah berjalan belasan meter.
Apa!? Jadi, mereka benar-benar sedang membicarakanku!? Penasaran, Natasha balik kiri. Kembali untuk menguping percakapan mereka.
Namun hening, suara percakapan dua lelaki itu malah terjeda.
Mungkin si Andres sedang berpikir.
"Apakah si Natasha itu gadis yang seksi?"
Terdengar siulan. "Bukan main, kawan. Oh, Tuhan ... aku meneguk ludah saat melihatnya. Celana dalamku sesak. Aku bahkan ingin ejakulasi secepatnya."
Suara jitakan kepala terdengar setelah itu.
"He!? Apa salah jidatku!? Kau sangat gemar menamparnya." Suara itu seperti mengeluh.
Andres terbahak. "Karena pemiliknya tidak menjaga sikap, bodoh! Lain kali, jaga sikapmu di depan wanita." Ia mendengkus. "Lagi pula, seksi yang kumaksud bukan tubuhnya saja, itu terlalu biasa. Tapi juga ...."
Natasya sontak mengernyit mendengar kalimat terputus. Tapi apa?
"Oh itu? Bukankah sudah kubilang, bahwa dia gadis berkacamata yang paling sering muncul di perpustakaan?"
"Berarti kemungkinan besar, dia gadis kutu buku. Begitu maksudmu, Julio?"
Teman si Andres yang bernama Julio tidak terdengar menjawab, mungkin hanya mengangguk atau menggeleng.
"Oke! Kalau begitu, kau harus dapatkan dia," kata Andres.
"Apa! Kau menyerahkannya untukku!?" sahut Julio.
Suara jitakan kembali terdengar.
"Sakit, tahu!" Julio mengeluh.
Suara air terdengar, seperti ada yang sedang keluar dari kolam.
"Kau harus dapatkan dia untukku, bodoh!" Suara Andres terdengar menjauh dari sebelumnya.
"He! Mau kemana!?"
"Kau lihat, jam berapa sekarang?"
"Ah, sial!" Julio mengeluh. "Baiklah."
Lalu suara air terdengar lagi, Julio beranjak dari kolam renang.
Tidak ada lagi percakapan mereka setelah itu. Natasha menyimpulkan bahwa dua laki-laki itu sudah pergi ke kelas mereka.
Sayangnya, ia sendiri tidak tahu cara keluar dari jebakan ilusi ini. Bagaimana mau masuk kelas?
Ia terus meraba-raba, mengingat arah dengan sebaik mungkin. Sesekali berjalan cepat dan berlari.
Beruntung, tak ada yang tertabrak. Dan ... kenyataan ini membuatnya berdecak.
Fakta yang terjadi sangat mudah disimpulkan. Bahwa, yang berfungsi saat ini hanyalah indra pendengaran saja, ditambah sedikit kemampuan penciptaan pijakan.
Praktisnya, pendengaran Natasha sedang menyasar ke mana-mana.
Setelah jauh melangkah dari kolam renang tadi, ia belum mendengar suara yang dapat memberinya petunjuk.
Natasha mendengkus. Sudah sampai di mana aku?
Berjalan dalam kegelapan sangat banyak menguras tenaganya. Ia lantas merebahkan diri.
"TUHAN! KEMBALIKAN PENGLIHATANKU!" Setetes air matanya mengucur dari sudut luar.
"Aku rindu dengan dunia," lirihnya.
Beberapa saat mengeluh, suara tapak sepatu membuatnya mendongak.
"Itu siapa? Tolong aku!" Lantas ia menepuk dahi, sadar bahwa tidak akan ada yang bisa mendengarnya.
Suara tapak kaki yang baru saja ia dengar, berhenti tak jauh dari posisinya. "Iya, sayang ...."
Natasha mengenal suara itu. Dia seorang wanita dewasa, staff baru sekolah. Bukan guru, dan ia belum tahu namanya.
Apa dia menyahutku? Natasha mengernyit.
Sebenarnya dia berbicara dengan siapa? Telinganya dipasangkan dengan baik.
"Apa?" Jeda beberapa saat. "Oh, begitu rupanya? Kalau begitu, bisa jadi ada salah satu elemen yang tidak seimbang di dalam tubuhmu."
Natasha mengangguk sekali, mengerti dengan apa yang dilakukan wanita itu. Oh ... dia sedang menelepon rupanya.
Kembali hening sebentar, sepertinya wanita itu sedang mendengar lawan bicaranya.
"Caranya, kamu hanya perlu menyeimbangkan kembali emosimu. Emosi juga berkaitan dengan keseimbangan unsur elemen dalam tubuh kita. Jelasnya, emosi itu salah satu manifestasi dari elemen api."
Lantas suara telapak kaki wanita itu mulai menjauh, semakin jauh sampai tak terdengar lagi. Natasha menebaknya menuju parkiran. Ya, benar, suara mobil hidup terdengar sesaat kemudian.
Bagaimana bisa dia pergi seenaknya saat jam kerja belum berakhir? Lebih lagi, dia masih baru. Natasha mengembuskan napas perlahan.
Meskipun kurang suka dengan wanita itu, anak gadis ini langsung tersenyum. Setidaknya, ia baru saja mendapatkan sesuatu.
Bertahun-tahun sekolah, belajar, banyak membaca, ternyata tidak sia-sia. Di saat terjebak seperti ini, ada saja solusi pemecahannya. Percakapan wanita tadi via telepon membuatnya teringat akan suatu hal.
🔥🔥🔥
Bijimana? 🤓 Kamu kurang puas?🤔 Silakan berkomentar. 💬 Aku pasti akan membalas. 🤳 ⬅
See you on the next chapter 😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top