chapter 0; prologue
[Edited]
Tak ada yang tahu bagaimana Tuhan mengatur alur hidupmu. Dan tak ada yang tahu kalau suatu hari nanti Tuhan akan berkata, "Saatnya kamu pulang."
HOURS
Malam itu, angin berembus kencang. Petir menyambar ke sana kemari. Membawa hawa tak mengenakkan yang begitu mencekam. Apakah kalian akan berpikir jika ada kendaraan yang melintas di saat cuaca sedang buruk seperti sekarang yang kalian rasakan?
Apakah kalian pernah berpikir akan mengemudi di saat cuaca sedang tidak bersahabat? Tidakkah kalian takut jika terjadi sesuatu yang buruk, yang akan menimpa kalian ke depannya dengan melakukan hal nekat itu?
Lain dengan seorang pemuda yang tengah fokus menyetir mobilnya yang tengah melaju kencang, menembus angin yang berembus berlawanan dengan mobilnya sekarang. Tak peduli apa pun yang ada di depan ataupun belakangnya, namun tak mungkin juga kan jika ada belokan ia akan terus melaju dengan lurus?
Tidaklah, dasar bodoh.
Kalaupun dia terus melaju dengan lurus, dia akan mati karena tabrakan.
Oke, cukup.
Di depan mobilnya sekarang—sekitar tiga meter lagi—ada tikungan tajam. Pemuda itupun mulai memfokuskan dirinya hanya kepada stir dan jalanan di depan. Derasnya hujan sedikit mengganggu penglihatannya.
Tikungan tajam berada satu meter lagi di depannya. Hujan, angin yang berembus menggoyang-goyangkan pepohonan yang ada di sisi jalanan, serta petir yang menyambar-nyambar membuat suasana semakin mencekam.
Sekali lagi petir menyambar. Satu pohon tumbang. Jatuh tepat di tengah jalanan. Membuat pemuda itu mau tak mau banting stir dan membelokkan mobilnya ke arah kiri—yang mana di sana adalah jurang curam nan gelap—demi menghindari satu pohon yang tumbang akibat sambaran petir barusan.
Akibatnya, mobil yang dikemudikan oleh pemuda itu masuk ke dalam jurang, terguling-guling menghantam pepohonan yang dilewatinya sebelum benar-benar berhenti di dasar jurang dengan posisi mobil terbalik.
Pemuda yang ada di dalam mobil itu mencoba membuka matanya. Meskipun sulit, ia akan terus berusaha. Ia merasakan ada sesuatu yang hangat, mengalir di pelipisnya. Perih.
Sedikit demi sedikit matanya mampu terbuka. Meskipun pemandangannya agak sedikit blur. Pemuda itupun mulai mencoba menggerakkan tangannya untuk berpegangan pada ujung atas jendela mobilnya.
Sulit, mungkin itu kata yang pas untuk mendeskripsikan keadaannya sekarang. Namun, apa pun yang terjadi, ia harus kuat. Ia harus bisa keluar dari sini. Tapi di sisi lain, ia ingin menyerah. Tidak! Tidak akan pernah ada kata menyerah di kamusnya. Ya! Ia harus kuat, biar bagaimanapun itu. Ia harus keluar dan selamat.
Dengan posisi tubuh tengkurap, ia pun berhasil menyeret setengah tubuhnya keluar dari dalam mobilnya. Tangannya berhasil menyentuh rerumputan basah bercampur tanah di bawahnya. Air hujan jatuh dan membasahi dirinya. Membuat darah yang ada di kening dan tangannya seketika luntur, menyisahkan rasa perih yang tak terperi sakitnya.
Kepalanya mendadak pening luar biasa, pandangan yang tadinya blur, malah semakin blur. Ia berhenti mencengkeram rerumputan. Tangannya mendadak lemah dan kehilangan tenaganya untuk menumpu berat tubuhnya.
Akhirnya, ia jatuh tersungkup di atas rerumputan yang basah, sehingga membuat pipi kanannya yang menempel di tanah basah dan kotor. Ia seketika merasakan kalau tubuhnya perlahan terangkat.
Matanya perlahan-lahan menjadi sayu. Ia tidak menginginkan usahanya untuk selamat gagal begitu saja kala ia menutup mata. Ia tidak ingin dirinya mati sia-sia di sini. Ia juga tidak ingin dirinya mati di saat mengenakan seragam putih abu-abu yang lima belas jam lalu menjadikannya siswa SMA. Tidak, bukan itu. Ia tidak ingin pergi dengan membawa sebuah kebohongan.
Ya, sebuah kebohongan yang sangat-sangat ia sesali.
Yeah, lima belas jam yang lalu adalah hari pertamanya masuk sekolah di Sekolah Menengah Atas di kota Jakarta. Karena kesalahannya dulu di sekolahnya, ia dikeluarkan dari sekolahnya yang lama.
Orang tuanya sangat sabar dengan kelakuan anaknya yang seringkali pergi ke bar untuk bersenang-senang dan juga kelakuan anaknya yang seringkali pulang malam. Jadi, bersusah payah orang tuanya mencarikannya sekolah.
Dan ketika sudah diterima di sekolah yang lebih baik, hasilnya apa?
Ia malah tidak pergi ke sana dan memilih minum-minum di bar bersama dengan teman-temannya. Sekarang, ia menyesal.
Menjadi orang kaya dan dengan semena-mena menghamburkan uang untuk kesenangan semata, bukanlah hal yang bagus.
Kilatan-kilatan dari petir yang menyambar cakrawala serta hujan yang turun malam ini menjadi saksi bisu bagaimana ia menutup mata.
Apakah ini adalah akhir dari hidupnya sebagai remaja 17 tahun?
48 Hours ©2019.
BERSAMBUNG...
ditulis: draft tahun 2019
dipublikasikan: hari ini, selasa, 25 februari 2025, pukul 00.59 AM.
tahu nggak? cerita ini ditulis sekitar 5 tahun yang lalu waktu aku masi sma😭omg nggak terlupakan hari itu first time nulis; hari hujan lebat, banjir sampe ngungsi. well, ternyata udah berlalu 5 tahun aja😭🤧ini cerita pertama aku btw yang berhasil tamat. cuman nggak dipublish aja di mana-mana karena ceritanya menye abis!
oke, segitu dulu. aku berencana bikin archive cerita ini dengan cara dipublish. enjoy your day!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top