#3 - Takut
Tring.. Tring..!! dering handphoneku mengagetkanku yang saat ini sedang menonton drama korea di laptopku. Ya hari ini adalah hari Minggu, hari liburku dari jadwal KP. Dan hari ini tepat seminggu aku telah melaksanakan KP. Aku sedang berleha-leha di dalam kamarku ketika notifikasi chat masuk di handphoneku. Aku meraihnya dengan malas. Kubuka chat yang terpampang di layar handphoneku dengan asal. Aku membaca teks dari chat itu. Aku sedikit mengerutkan kening. Kemudian aku mengalihkan pandanganku ke arah sang pengirim chat, dan aku langsung membelalakkan mataku. Oh My God!, ini mimpi bukan ya? Sepertinya ini mimpi. Sapu mana sapu? Aku tersadar, untuk apa aku mencari sapu? Ah, itu karena aku terlalu gugup. Aku lalu mencubit pelan lenganku untuk menyadarkan diriku sendiri sekaligus mengembalikan fokusku. Dan memang terasa sakit, berarti aku tidak bermimpi. Kuraih kembali handphoneku yang sebelumnya sempat kulemparkan ke kasurku karena terburu-buru mencari sapu yang sebenarnya tidak terlalu penting itu. Kubuka kembali chat yang masuk di handphoneku lalu kubaca perlahan dan sangat hati-hati.
From: 08xxxxx
Selamat Pagi, Airin. Ada yang mau saya tanyakan, terkait dengan proyek yang sedang saya garap. Apakah kamu mau bergabung? Mungkin bagus jika hal itu bisa membantu KPmu sebagai bentuk laporan kegiatan yang telah kamu lakukan disini nantinya. Konfirmasi secepatnya ya, saya tunggu.
Dari Iwan Ananta
Satu menit, dua menit.. aku memperhatikan dengan saksama pengirim chat itu. Iwan? Mas Iwankah? Sepertinya iya. Aku memencet foto profil dari si pengirim. Dan detik selanjutnya membuat aku berjingkrak-jingkrak karena terlalu senang. Yes! Aku dapat kontak Mas Iwan tanpa kucari hahahaha, tawaku keras.
***
Tiba-tiba handphoneku kembali berdering, aku melihat layar handphoneku dan hampir saja jantungku melompat lagi. Astaga, Mas Iwan video call aku. Perlu secepat itukah?. Aku menoleh ke arah kaca di kamarku. Aku merapikan rambutku yang kusut dan menyisirnya singkat. Aku lalu menepuk-nepuk wajahku dengan sedikit bedak bayi dan merapikannya. Setelah kurasa cukup, aku lalu menjawab panggilan video dari Mas Iwan.
"Halo Rin?" sapa Mas Iwan dari seberang telepon.
"Iya, Mas," jawabku.
"Oh, lagi di rumah ya? Jadi gimana yang aku tanya tadi?" tanya Mas Iwan.
"Mm, sepertinya saya mau Mas. Nanti saya coba konsultasikan ke Pak Riko lagi selaku pembimbing saya, apakah diizinkan atau tidak," jawabku lagi.
"Ya sudah, saya tunggu kabar selanjutnya ya!" kata Mas Iwan lalu berpamitan untuk menutup telepon. Aku baru saja hendak memutuskan sambungan telepon, namun Mas Iwan langsung menyela lagi.
"Eh Rin, bentar. Kamu malam ini kosong gak?" tanya Mas Iwan pelan.
"Kosong apanya ya mas?" tanyaku polos. Ini benar, aku memang gagal paham dengan maksud dari Mas Iwan, bukan berpura-pura bodoh atau tidak tahu.
"Hehehe, jadwalmu. Hmm maksudku malam ini kamu sibuk gak?" ulang Mas Iwan. Kali ini dengan nada suara seperti menahan tawa, mungkin karena pertanyaanku sebelumnya yang terkesan seperti orang bodoh, biarlah.
"Gak ada kesibukan sih, mungkin hanya nonton drama aja," jawabku jujur.
"Mau nonton bareng gak?" tanya Mas Iwan lagi.
"Hah? Nonton bareng? Emang mas suka nonton drama?" tanyaku bingung.
"Bukan drama. Maksudku nonton di luar, di bioskop," jelas Mas Iwan seperti frustasi.
"Oh nonton di bioskop? Bisa, bisa. Mau kok!" jawabku antusias.
"Oke deh, nanti aku kasih tau jamnya ya!" kata Mas Iwan.
"Iya Mas," jawabku sambil senyum-senyum.
Mas Iwan lalu menutup teleponnya, dan aku langsung melemparkan tubuhku ke kasur sambil terus tersenyum. Bahagia. Ya aku sangat bahagia sekarang, Mas Iwan mengajakku menonton film berdua. Eh, bukankah Mas Iwan tidak menyebutkan bahwa hanya berdua? Entahlah, semoga saja memang hanya berdua sehingga mungkin jadi setelah ini hubungan kami makin dekat. Kita lihat saja nanti, batinku.
***
Aku baru saja selesai mengenakan make up di wajahku ketika handphoneku bergetar. Aku lalu meraihnya dan kulihat itu adalah chat dari Mas Iwan yang menandakan bahwa ia sedang menungguku di depan kosku. Aku segera keluar dan menemuinya, ia lalu menyodorkan helm kepadaku yang langsung kusambut dan memakainya. Setelah itu kami segera berangkat menuju bioskop tersebut.
Aku menjejakkan kaki ketika sampai di parkiran basement suatu mall, tempat bioskop tujuan kami berada. Kulihat Mas Iwan baru saja selesai merapikan motornya. Kami segera masuk ke dalam mall dan langsung menuju ke bioskop tujuan, sebelumnya tak lupa Mas Iwan membeli tiket terlebih dahulu. Kami lalu memasuki bioskop, karena jadwal tayangnya akan segera dimulai. Ketika sampai di tempat duduk kami, aku seperti melihat seseorang yang kukenal tengah berdiri di dekat tempat duduk kami. Tatapan itu, ya tatapan dingin dan sinis itu. Dan tampang songong itu. Benar saja, siapa lagi jika bukan dia. Dia, si Andra menyebalkan. Sepertinya keberuntunganku sudah berakhir malam ini, ya tepat pukul 19.00 waktu setempat. Sepertinya aku harus mencatatnya di memoku agar berjaga-jaga suatu saat di jam ini untuk berdiam diri saja di rumah, daripada harus bertemu makhluk menyebalkan bin ajaib ini.
"Ngapain lo liati gue begitu?! Sambil mangap lagi!" tegur Andra keras.
"Hah?!.. eh.. anu kok, saya.." Aku bingung harus menjawab apa, untung saja Mas Iwan langsung memotong pembicaraan kami.
"Eh, Ndra! Tukaran tempat duduk gih! Lu di pojok sini aja, ntar biar Arini di tengah," sela Mas Iwan.
Andra lalu mengerutkan keningnya, seperti berfikir keras. Entah apa yang difikirkannya, padahal Mas Iwan hanya mengajaknya bertukar tempat duduk. Sepertinya ada yang salah, bertukar tempat duduk? Berarti jika aku ditengah, maka di sebelahku kananku Mas Iwan dan disebelah kiriku Andra? Ogah gue, aku tersadar dan langsung meluncurkan kalimat protes kepada Mas Iwan.
"Ogah!" jawabku yang ternyata dibarengi oleh Andra. Aku lalu menoleh ke arahnya. Gue lebih ogah di sebelah lu! Batinku.
"Gue gak mau Wan! Lu aja yang di tengah. Gue ogah duduk bersebelahan dengan bocah sinting ini!" tegas Andra.
Merasa tak ada jawaban, aku menoleh ke arah Mas Iwan dan kulihat ia sudah dengan santainya duduk di yang dimaksudnya tadi. Lalu kudengar Andra seperti mendengus kesal, kemudian duduk di kursi pojok sebelah kiri. Aku hanya melongo melihat tingkah dua pria di depanku ini. Aku bingung, apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus duduk di tengah? Sepertinya iya, tanpa banyak alasan lagi aku langsung duduk di kursi tengah itu sebab beberapa pasang mata sudah menatap ke arahku dengan tatapan tak enak. Mungkin karena aku menghalangi pandangan mereka, sementara sebentar lagi film akan diputarkan.
***
Kenapa di sini bisa ada Andra? Apakah dia memata-matai kami? Ataukah hanya kebetulan? Belum lama aku berfikir kulihat ada rombongan staf kantor masuk ke bioskop ini. Oh ternyata ini acara nonton bareng sekantor. Hah, sial! Aku memang bodoh. Terlalu berharap bahwa Mas Iwan hanya mengajakku, tapi nyatanya malah sekantor yang diajak. Bodoh! Bodoh! Bodoh! Aku memukul-mukul pelan kepalaku. Tak sengaja kulihat Mas Iwan menatapku sambil tersenyum. Dia lalu berbisik.
"Kenapa? Kecewa ya ternyata nontonnya bareng orang kantor?" tanya Mas Iwan sambil terkikik dengan nada menggoda.
Kenapa dia bisa tahu? Sejelas itukah? Kurasakan wajahku memanas, aku berani bertaruh wajahku pasti sangat merah. Untung saja saat ini cahaya yang ada sangat minim, jadi Mas Iwan tidak melihat wajahku yang memerah.
"Hehehe gak juga kok," sahutku berbohong.
"Ntar deh, setelah proyek kita selesai baru nonton berdua saja," ujar Mas Iwan sambil tersenyum. Manis sekali, aku yakin perempuan lainpun akan langsung mengiyakan ajakan Mas Iwan ini karena terpana dengan senyumnya.
"Ini beneran atau bercandaan?" tanyaku meyakinkan.
"Beneran dong!" jawab Mas Iwan sambil terkekeh.
Aku hanya tersenyum menanggapi jawaban Mas Iwan. Aku bingung apa yang harus kulakukan. Di satu sisi aku senang, namun di sisi lain ada sedikit rasa kosong yang entah karena apa. Aku menoleh ke sebelah kiriku dan tak sengaja aku melihat Andra yang tengah menatapku dengan tatapan kosong. Apa ini? Apa ia seorang psikopat yang sedang menatap mangsanya sembari berfikir tentang cara pembunuhan apa yang akan ia pakai untuk melakukan aksinya kali ini? Deg! Jantungku berdegup tak karuan, membuatku bergidik membayangkannya. Aku menolehkan kepalaku lagi ke arahnya untuk memastikan pemandangan tadi dan kali ini bukan tatapan kosong yang kudapatkan melainkan tatapan aneh dan bingung darinya. Dan beberapa detik kemudian meluncur kalimat absurdnya.
"Ngapain lu bergidik gitu? Mau pipis ya lu?" tanya Andra bingung.
"Hah? Ng.. nggak Mas. Tadi saya kaget aja kenapa Mas natap kosong gitu ke arah saya," jawabku ragu.
"Gue? Natap lu? Mimpi kali lu!" jawab Andra sambil terkekeh, namun bagiku kekehannya semakin menyebalkan.
"Huh, bener kok tadi. Saya nggak salah liat!" kali ini aku menjawabnya dengan yakin karena saking jengkelnya aku kepadanya.
"Terserah lu deh, makin nggak waras ntar gue kalau ngobrol mulu sama lu," jawab Andra memutus obrolan.
Aku tidak menyadari bahwa sedari tadi Mas Iwan juga menyimak percakapan kami. Dan sepertinya Mas Iwan menangkap sesuatu dari itu. Ia hanya manggut-manggut dengan kening sedikit berkerut, dan ia tampak sedikit ragu-ragu dengan apa yang tengah difikirkannya. Sementara aku tidak tahu apa yang tengah difikirkannya, yang pasti sepertinya setelah ini akan ada sesuatu yang harus ia pastikan sendiri. Sebelum rasa yang ia miliki berkembang lebih lanjut dan menyisakan hati yang terluka nantinya.
***
"Ndra, lu antar si Airin balik ya! Soalnya gue ada urusan bentar jemput adik gue di bandara," tutur Mas Iwan.
"Loh bro, kan yang jemput dia elu! Kenapa gue yang disuruh balikin?" jawab Andra protes.
"Udah, kali ini lu nggak bisa ngebantah. Lu harus tolongin gue bro. Lu mau liat telinga gue copot gara-gara diomelin adik gue?" ujar Mas Iwan sedikit frustasi.
"Kamu pulang diantar sama Andra ya Rin!" kata Mas Iwan, tanpa bertanya. Barangkali wujud dari antisipasinya agar aku tidak ikut-ikutan membantahnya.
"Eh nggak usah Mas, ntar saya minta jemput teman saya aja," jawabku tak enak jika harus mengiyakan tawaran Mas Iwan, karena sepertinya Andra keberatan untuk mengantarku.
"Lu gue antar aja! Nggak usah minta teman lu buat jemput," sela Andra singkat, lalu berjalan menuju ke tempat parkiran motor.
Aku menoleh ke arah Mas Iwan, dan disambut dengan anggukannya. Yang menandakan bahwa ia menyuruhku untuk mengikuti Andra dan segera pulang ke rumah. Aku melangkah dengan tak enak hati takut menyusahkan orang lain. Namun segera kutepiskan rasa itu, toh tadi Andra sudah mengiyakan, jadi ya sudahlah. Aku lalu menemui Andra di parkiran motor. Tak berapa lama kami melaju di atas motor menembus semburat keemasan cahaya bulan yang indah, dengan ditemani harumnya aroma setelah hujan. Sungguh membangkitkan kenangan-kenangan yang membuatku hanyut kedalamnya. Saat ini yang aku rasakan hanya nyaman dan aman, ya rasa yang sama ketika 10 tahun lalu bersama dengan Fathur, mengelilingi komplek dengan sepedanya. Berkeliling sampai senja menjelang, hujan atau panas. Aku rindu masa-masa itu.
Tapi, tunggu! Kenapa aku bisa senyaman ini dengan Andra yang menyebalkan ini? Apakah ia ada hubungannya dengan Fathur? Aku harus mencoba menanyakannya, tapi aku terlalu takut untuk menanyakannya. Aku takut faktanya terlalu menyakitkan untuk kuketahui. Aku takut nantinya semua tidak baik-baik saja seperti yang kubayangkan. Aku terlalu takut.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top