Part. 5 | 40DWW 🪄
"Angel, tolong izinin saya ketemu anak saya," teriak Winda. "Angel, kamu nggak berhak menghalangi saya dan anak saya. Tolong buka."
Sudah hampir satu jam wanita paruh itu terus berteriak di balik pagar besi yang menjulang tinggi. Tingginya dua kali dari tubuhnya. Sesekali Winda memohon pada satpam di situ, untuk memberikan izin padanya. Namun, satpam itu terus menolak.
"Pak, saya minta tolong buat minta izin lagi ke Angel. Saya mohon, Pak."
"Maaf, Bu. Saya nggak bisa, karna itu perintah."
"Saya mohon, Pak."
Pria paruh baya dengan seragam hitam-hitam itu, mendapatkan panggilan telepon. Dari Angel, yang berumur tidak jauh dari Winda. Melihat raut wajah satpam itu, sangat terlihat jika ia tengah dimarahi habis-habisan. Lihat saja, dia sampai menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Baik, Bu. Saya mengerti," pungkas Pak Satpam itu dan setelah panggilan itu terputus sepihak. Ia langsung beralih ke Winda. "Bu, lebih baik tidak usah datang ke sini lagi. Nyonya akan terus mengusir Anda."
Winda menggeleng cepat. "Nggak, Pak. Saya mau ketemu anak saya. Cho itu anak saya, Pak," tutur Winda dengan air mata yang sudah berlinang. "Dia anak kandung saya, Pak."
"Saya tahu, Bu. Tapi, Nyonya nggak akan izinin buka."
"Pak, tolong."
"Ibu! Saya sudah bilang tidak boleh. Lebih baik Ibu pergi sekarang!" bentak satpam itu mulai kesal. Sungguh dia tidak ingin marah, tapi Angel mengancamnya. Tidak ada mendapatkan uang gaji bulan ini.
"Pak, t-tolong telpon Angela lagi. S-saya mau ngomong sama dia," mohon Winda seraya memegang tangan satpam itu.
Pak satpam itu lantas menarik tangan Winda kasar. Menyeretnya menjauh dari pintu pagar rumah itu.
"Cho, maafin Bunda, sayang. Ini semua salah Bunda. Kenapa kamu yang harus berkorban begini?" tutur Winda pelan seraya melangkah pelan di pinggir jalan. "Seharusnya Bunda nggak izin pergi dengan Ayah kamu yang nggak berguna itu. Maafin, Bunda, sayang."
Ini bukan kali pertama Winda berteriak di depan pagar rumah besar milik Putra dan Angel. Sudah hampir setiap hari, semenjak dua tahun lalu. Setelah Cho anak satu-satunya ikut tinggal bersama Ayahnya. Angel adalah alasan hancurnya pernikahan dirinya bersama Putra yang kandas lima tahun lalu.
Putra memaksa Winda untuk memberikan Cho padanya. Sejujurnya Winda curiga karena Putra memang kurang menyukai Cho karena ia kurang cerdas. Selain itu alasan lainnya adalah Putra pikir jika Cho bukan anaknya. Tapi, anak mantan kekasih Winda yang sudah meninggal karena kecelakaan mobil.
Setelah melakukan tes, Putra baru mempercayai perkataan Winda. Winda curiga, Jika Angel tidak bisa memiliki anak karena Putra sangat memaksa Cho untuk tinggal bersamanya. Beberapa bulan Cho tinggal bersama Putra dan Angel, semua masih berjalan normal. Hingga suara saat ia menelpon Cho dan mendengar seseorang yang tengah memukul Cho.
Semenjak itu Winda semakin curiga dengan Putra, ia pun memaksa datang ke rumah Putra. Ternyata semua yang ia dengar saat itu benar, Cho mengalami kekerasan di sana. Sebagai seorang Ibu ia sangat sedih, Winda meminta Putra untuk mengembalikan anaknya. Namun, pria yang masih berstatus suaminya itu tidak mengizinkan sama sekali.
Winda berusaha menghubungi Cho, namun mereka tidak memberikan ponsel sama sekali. Hingga saat ini ia tidak tahu bagaimana keadaan Cho seperti apa. Winda hanya bisa melihat diam-diam Cho dari jauh saat anaknya itu ke sekolah. Winda sering mengirimkan bekal dan surat pada Cho melalui Lena ataupun Rei.
Namun, hal itu cepat diketahui Putra. Suaminya mengancam akan menyakiti Cho, jika Winda masih berhubungan dengan Cho. Semenjak itu Winda hanya menangis di depan gerbang rumah Putra. Winda tidak bisa melakukan apapun sekarang. Ia tahu, perkataan Putra waktu itu hanya kebohongan.
Sembari melipat kedua tangannya depan dada menahan udara dingin malam ini. Winda melangkah pelan, dengan air mata yang tidak kunjung berhenti mengalir. Wanita kepala empat ini, berjalan menyusuri pinggiran toko. Tempat tinggalnya yang cukup jauh dari kota, membuatnya harus berjalan begitu jauh.
Saat berbelok, sorot matanya berhenti melihat rumah kayu berwarna hitam. Tepat dekat gerbang rumah, terlihat papan kayu tertulis restoran harapan. Entah, dorongan dari mana, Winda merasa ada sesuatu yang menariknya. Akhirnya ia melangkah mendekati gerbang itu. Membuka perlahan.
Setelah itu ia membuka pintu itu pelan. Terlihat meja kayu memanjang dengan lilin yang menyala. Sorot matanya menyusuri seluruh ruangan itu. Winda tengah sibuk melihat-lihat. Tiba-tiba terkejut saat seseorang menepuk pundaknya pelan.
"Silakan duduk," ujar wanita paruh baya mengenakan gaun hitam dengan warna bibir merah menyala. "Nggak perlu takut."
Winda pun mengangguk kecil. Kemudian tertuduk di kursi yang letaknya tepat di hadapannya ujung meja.
"Apa yang membawa kamu ke sini, Winda?"
Tiba-tiba Winda tersentak. Bagaimana wanita ini bisa tahu namanya. Padahal ia tidak pernah bertemu dengannya.
"Tanpa kamu kasi tau, aku tau hanya dengan melihat matamu," lanjut Wyla.
"B-benarkah? Tempat apa ini?" tanya Winda seraya melihat sekeliling.
"Kelihatannya tempat apa?"
"Ini benar restoran?"
"Benar. Ini adalah restoran harapan. Apapun harapan kamu akan terwujud semuanya di sini. Apa harapan kamu?" tutur Wyla seraya melangkah memutari Winda. "Kamu pasti punya banyak harapan bukan?"
Sontak Winda mengangguk cepat. "Ya, aku punya harapan."
"Apa kau mau aku kabulkan?"
"B-bisa?"
"Tidak ada, yang tidak bisa, Winda."
Pikiran Winda terus berputar. Harapan, satu kata yang menjadi pegangan hidupnya sekarang. Harapannya adalah Cho anak semata wayangnya yang menjadi tujuan hidupnya. Namun, dihancurkan oleh suaminya yang sangat ia benci.
"Tidak usah kamu sebutkan harapan itu. Jika tidak mau," tutur Wyla. "Jadi apa kamu tertarik?"
"Boleh, aku coba."
"Baiklah."
Wyla dengan gaun hitam yang menyeret lantai. Menuju dapur, ia mulai membuka buku resep yang kertasnya sudah usang. Setelah dibaca dan menemukan resep yang cocok. Wanita itu langsung mengambil beberapa bahan dan wadah yang digunakan nantinya.
Wyla mulai memanggang daging berukuran sedang. Ia mengambil salah satu botol yang di dalamnya terlihat ada cahaya warna hitam. Kemudian dituangkannya sedikit demi sedikit ke atas daging. Sembari menunggu ia membuat saus.
Tidak lupa dibalik daging itu agar matang dengan sempurna. Setelah dirasa cukup matang, wanita itu mengangkat daging itu. Kemudian diletakkan di atas piring bulat yang berukuran cukup besar. Tidak lupa dengan saus, dituangkan di atas daging.
Wyla membawa makanan itu senyuman tipis. Meletakkan piring itu tepat dihadapan Winda.
"Silakan, makan."
Sorot matanya tidak berhenti melihat daging di depannya yang sangat menggugah selera.
"T-terima kasih."
Winda mulai mengambil pisau kecil dengan tangan kiri dan tangan kanan untuk garpu.
"Saat kau mengunyah potongan pertama. Sebutkan harapan kamu dalam hati."
Pelan-pelan Winda mengunyah potongan kecil. Matanya langsung membulat kala daging itu masuk ke dalam perut. Ini sungguh sangat enak, makanan pertama yang sampai berlinang air mata karena terlalu enak. Perlahan Winda menutup mata, seraya mengucapkan harapannya.
"Saya harap Putra dan Angel mati. Saya harap Cho hidup bahagia selamanya."
Wanita itu kembali membuka mata, lalu dengan cepat Winda memotong daging itu lagi berulang hingga hanya tersisa saus yang bahkan hingga dijilati.
Wyla yang melihat hal itu hanya tersenyum tipis. Ia terduduk di ujung meja itu berhadapan dengan Winda. Jujur, Wyla saat senang saat pelanggan memakan masakannya dengan sangat lahap. Tapi, bagian yang menyenangkan ada setelah ini.
"Bagaimana dengan masakan saya?"
"Sangat enak, entah dari daging atau sausnya. Benar-benar sangat luar biasa."
"Saya sangat tersanjung. Terima kasih."
"Jadi, berapa yang akan saya bayar?"
Wyla bangkit berdiri. Bunyi hentakan high heels-nya memenuhi seisi ruangan ini. Wanita itu mulai mengeluarkan pisau kecil dari saku gaunnya.
"Saya sudah punya terlalu banyak uang."
"Saya bayar pakai apa?"
"Nyawamu."
"A-apa? Nyawa saya?"
"Permintaan kamu sangat besar dan bayarannya juga besar."
"T-tapi—"
"Saya tahu semuanya Winda. Anak kamu pasti tersiksa tinggal bersama Ayah dan Ibu tirinya, bukan?"
"Tapi, kenapa nyawa? Saya akan berikan apapun. Tapi, jangan nyawa. Kasian Cho."
"Saya hanya minta nyawa kamu. Apa kamu lebih memilih nyawamu daripada anakmu. Mungkin aja besok atau lusa dia akan mati."
Winda terdiam sejenak. Sungguh ini pilihan yang sangat sulit bagaimana bisa ia meninggalkan anaknya sendiri.
"Tapi apa kamu bisa jamin anak saya akan bahagia selamanya?"
"Ya, saya ini penyihir. Apapun bisa saya lakukan. Saya tidak pernah ingkar janji, walaupun dengan manusia bodoh sekali pun."
"K-kamu penyihir?"
"Keliatannya bagaimana?"
"B-baiklah saya mau."
Wyla mengulurkan tangannya di depan wajah Winda. Tiba-tiba keluar kertas coklat yang adalah perjanjian mereka.
"Ini perjanjiannya. Karena permintaan ini cukup besar, kamu akan mati di hari ke empat puluh. Sekaligus dua orang yang kau sebutkan tadi."
"Itu artinya—"
Wyla langsung mengarahkan pisau kecil ke jempol Winda. Membuat wanita itu meringis. Ia langsung mengarahkan pada kertas perjanjian itu.
"Ini adalah perjanjian kita. Kalau sampai di hari ke empat puluh, kamu mencoba menghindar. Maka kamu akan langsung aku bunuh depan anakmu. Kamu mengerti?"
"Ya, aku mengerti. T-tapi apa saya tidak bisa melindungi anak saya dari sekarang? Dia mengalami kekerasan di sekolah dan di rumah."
"Soal itu, saya akan mengirim penjaga untuk anakmu sampai hari ke empat puluh."
Tbc.
Dipersilahkan untuk vote dan komen ya. Terima kasih. ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top