Part. 29 | 40DWW 🪄
Malam ini Neza merasa cukup tenang. Karena dirinya tidak usah repot-repot dengan manusia bodoh tadi. Setelah membunuh orang itu, Neza menjalani kegiatan seperti biasa hingga jam sekolah selesai.
Neza pulang ke rumah Cho untuk memastikan Cho tidak bangun. Sejak malam Cho luka-luka itu, Neza memberikan ramuan sihir agar Cho tertidur selama dua hari ke depan. Sebelum itu Neza meminta izin pada Cho untuk menyingkirkan orang yang memukulnya. Agar Neza lemah karena energinya berkurang.
Neza meletakkan sebelah kakinya di atas kaki lain. Memutar gelas tinggi itu, menghirup wangi wine dan mengesap pelan. Tiba-tiba Neza memikirkan perasaannya pada Cho, entah mengapa saat melihat Cho sakit. Dirinya menjadi marah, namun bukan karena melindungi demi perjanjian. Tapi, karena hal lain.
Dirinya tahu kalau saat itu, ia pernah merasa tertarik dengan perlakuan Cho padanya. Tapi, Neza harus buang jauh-jauh perasaan itu. "Da, apa kalo gue marah karena Cho disakiti itu tandanya gue beneran tertarik sama dia?" tanya Neza tiba-tiba hampir membuat Arda tersedak.
"Lo kenapa nanya gitu? Tumben," balas Arda. Kemudian melanjutkan memotong stik dan mengunyah pelan. "Nez, lo nggak akan bisa kabur dari perasaan lo sendiri."
Neza menautkan kedua alisnya, lalu meletakkan gelas wine di depannya. "Dari banyak laki-laki yang gue liat, yang muda sampe tua. Gue nggak pernah ada rasa setertarik ini."
"Gue rasa tugas kali ini bakal berat banget buat lo, Nez."
"Waktu itu gue cium dia rasanya beda banget."
Saat itu juga Arda tersedak karena ucapan Neza yang tiba-tiba itu. Lo bilang apa, Nez?!"
"Gue cium dia, kenapa?"
Arda meletakkan alat makannya dan memperhatikan sahabatnya itu. "Lo gila, Nez."
"Maksud lo, gue bodoh?"
Arda menggeleng cepat. "Dia masih sekolah, Nez. Lo nggak ngajak tidur, kan? Kasian masa keperjakaannya ilang sama nenek sihir." Arda tertawa geli.
"Sialan! Gue baru seratus tahun. Lo tuh udah dua ratus," balas Neza tidak mau kalah. "Kayanya waktu gue mabuk, deh."
"Apanya?"
"Gue ngajak tidur bareng."
"What?! Neza gue nggak habis pikir sama lo. Mendingan lo cari pacar, deh."
Neza mendecak kesal, kemudian meneguk wine perlahan. "Nggak, gue lagi nggak pengen cari laki-laki."
"Gue udah tau, kalo lo bakal tertarik sama Jeri. Soalnya sikap lo ke dia tuh, beda banget. Bukan kaya ke sepupu atau ade, tapi ke pacar," ujar Arda tepat saat selesai makan. "Lagian kalo suka emang kenapa? Bagus dong, si Jeri lebih gampang dikendaliin."
"Tanpa gue suka sama dia juga bisa gue kendaliin." Neza meletakkan gelas wine di meja dan memegang kalungnya yang belum berubah warna sama sekali.
"Gimana? Belum ada kemajuan, Nez?"
Neza bangkit berdiri, lalu mengambil gelas wine tadi. Gadis itu menuju jendela besar yang menunjukkan pemandangan malam dari atas. "Sejauh ini belum, tapi bakal gue usahain. Ini semua demi Ayah."
Arda menghampiri Neza dan terduduk di sofa dekat jendela. "Jangan banyak minum. Lo belum pulih sepenuhnya. Soal Ayah lo ...."
Neza menoleh pada Arda menunggu lanjutannya. "Kenapa Ayah gue?"
"Kondisinya masih sama, belum ada kemajuan. Bahkan tadi kata Bu Ina, dokter bilang buat lepas alat dan ikhlasin aja," lanjut Arda takut-takut dengan reaksi Neza. Entah, mungkin dokter ini akan jadi mangsa Neza selanjutnya. "Tapi, Nez-"
Neza mendecak kesal. Dokter mana yang bisa mengatakan hal sebodoh itu. Bukankah itu terkesan seperti menunggu pasien meninggal. "Siapa dokternya?"
"Nez, gue nggak mau lo dihukum sama Mami lo. Kalo sampe dokter itu mati yang rugi elo. Tenang, Ayah lo aman, kok."
Neza menghela napas kasar. "Gue mau Ayah cepet sadar, Da. Tapi, Mami selalu halangin itu. Bentar lagi Ayah ulang tahun."
"Kalo lo udah siap, gue temenin ke sana. Siapin diri lo dulu, jangan sampe lepas kendali."
Neza mengangguk paham. Kemudian kembali ia teringat Cho di rumah. Jika dipikir-pikir selama ini Cho sangat baik padanya. Bahkan terlalu baik. Cho sangat berbeda dengan lelaki yang Neza kenal selama ini. Yang hanya memikirkan napsu sesaat.
"Arda, gue balik." Neza meletakkan gelas wine dan mengambil jaketnya.
"Cepet banget, Nez."
"Sapi sendiri di rumah."
Arda tersenyum tipis sambil menatap Neza yang beranjak pergi. "Sebeku apapun hati lo, bakal cair juga sama cowo yang tepat. Semoga bakal jadi awal yang baik, Nez."
***
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Neza melaju kencang dengan motor sport berwarna hitam miliknya itu. Tiba-tiba Neza merasakan sesuatu yang perih. Ia tahu pasti terjadi sesuatu pada Cho.
Saat sampai buru-buru Neza membuka helmnya dan berlari ke dalam. Seperti biasa rumah terasa sepi dan hanya suara detik jam dinding besar. Gadis itu naik tangga menuju kamar Cho. Neza mengetuk perlahan.
Cho membuka pintu perlahan. Namun, tidak dibuka lebar. "Prin, dari mana?"
"Kenapa pintunya nggak dibuka? Lo lebam lagi, kan? Sama Putra?" tanya Neza membuat Cho membeku.
Cho pun memberanikan diri untuk membuka lebar pintunya. "Ceritanya panjang, Prin. Besok Cho ceritain."
Baru saja Cho akan menutup pintu. Neza langsung menyelinap masuk dan tertidur di atas ranjang milik Cho. "Ngapain diem? Sini, gue mau denger cerita lo."
Entah, apa yang Cho rasakan sekarang. Satu sisi Cho senang karena Neza khawatir padanya. Tapi, satu sisi Cho tidak enak karena selalu merepotkannya.
Cho menutup kembali pintunya dan terduduk di kursi sebelah ranjang. "Maaf, Cho ngerepotin Prin terus."
Neza mengubah posisi menjadi tengkurap. "Maaf terus. Gue nggak terima. Lo juga belum cerita apa-apa."
Melihat baju Neza yang sangat longgar hingga hampir terlihat sesuatu yang tidak boleh dilihat. Cho mengambil batal dan melemparkan pada Neza.
"Kenapa?"
"Prin, bajunya longgar. Tutup pake itu."
Neza tersenyum tipis, kemudian mengambil batal itu untuk menutupi bagian dadanya. "Jadi, lo perhatiin gue dari tadi?"
"Bu-bukan gitu, Prin. Cho nggak sengaja lihat. Maaf, Cho nggak sopan."
Neza terkekeh geli melihat wajah Cho yang mendadak merona karena malu. Kemudian gadis itu bangun dan bangkit berdiri, terduduk di sisi ranjang depan Cho.
"Kenapa malu? Lo sopan banget. Lo cowo paling sopan yang gue temui. Kalo cowo lain mungkin beda cerita."
"Makasih, Prin. Udah malam, Prin ke kamar aja," ujar Cho. Ia tidak ingin dekat dengan Neza dulu, sungguh Cho sedang salah tingkah sekarang. Bahkan pipinya merah.
Neza menarik pipi Cho mendekatinya. Melihat bekas tamparan yang memerah. Sekarang, bahkan Putra menjadi halangan. Tidak bisakah pria tua itu mati lebih dulu. Sungguh membuat Neza kesal.
"Selain ini ada memar atau luka lain?" tanya Neza melembut. Neza sungguh ingin marah tapi dia tidak ingin membuat Cho takut. "Coba angkat baju lo."
"Hah?" Cho terkejut sontak memundurkan kursi itu. Namun, Neza menahan kursi itu. "Prin, Cho beneran nggak apa-apa."
"Nggak, sebelum gue liat."
"Cho, nggak mungkin buka baju depan, Prin."
"Emang kenapa? Kita sepupu, kan?"
"Cho, tau. Tapi, Prin kan cewe."
Tidak ingin berlama-lama Neza langsung menarik ke atas baju Cho. Ada beberapa memar di bagian pinggangnya. "Lo kenapa suka bohong, sapi?"
"Ma-"
"Maaf, lagi gue bakar kamar lo."
Cho mengerjap kemudian menundukkan kepalanya. "Prin, Cho ngerepotin Prin terus."
"Kenapa Putra pukul lo begini?"
"Tadi Cho tanya sesuatu yang buat Ayah marah. Terus Ayah tampar sama pukulin Cho."
Neza menghela napas sejenak. Cho tidak berani menatap matanya sama sekali. Entah, rasanya Neza merasa bersalah. Gadis itu pun menarik kursi mendekatinya.
"Jangan takut. Gue nggak bakal makan lo hidup-hidup, sapi."
Cho mengangkat sedikit kepalanya. "Cho, tahu."
"Tutup mata lo." Tanpa basa-basi Cho langsung menutup matanya dan membiarkan Neza menyembuhkan luka dan memarnya dengan sihirnya.
Sejujurnya sampai sekarang Cho masih tidak paham, kenapa dia harus tutup mata saat Neza membantu mengobati luka atau memar di tubuhnya. Tapi, Cho mengurungkan niatnya untuk bertanya.
"Buka mata lo. Gimana masih ada yang sakit?" tanya Neza sembari melihat tangan dan wajah Cho.
Cho menggeleng kecil. "Udah, nggak terlalu."
"Bagus, sekarang lo tidur, deh."
"Prin, mau ke mana?" tanya Cho saat Neza hendak bangkit berdiri. "Prin mau pergi lagi?"
"Gue mau tidur. Lo mau gue tidur di sini?"
"Kata bunda nggak boleh," balas Cho polos membuat Neza mendadak gemas.
Neza malah kembali duduk dan menarik kursi itu mendekatinya. Hingga Cho harus memundurkan tubuhnya agar tidak berdekatan dengan Neza. Jantung Cho benar-benar berdebar sekarang, berbeda dengan Neza yang terlihat senang melihat Cho merah merona.
"Kenapa? Kenapa nggak boleh? Kita kan sepupu."
Cho memalingkan wajahnya ke arah lain. Cho benar-benar tidak bisa terlalu dekat dengan Neza. "Nggak so-sopan aja. Kata Bunda."
Samar-samar terdengar Neza terkekeh kecil. Kemudian gadis itu mengusap gemas puncak kepala Cho. Sontak Cho menoleh padanya. "Lo kaya anak kecil. Tapi, nggak apa-apa, gue tertarik."
"Hm? Maksudnya Prin?"
"Nggak ada maksud. Cuma tertarik emang nggak boleh?"
"Y-ya, bukannya gitu, Prin, tapi-"
"Sekarang lo tidur." Neza bangkit berdiri, kemudian menarik tangan Cho untuk berbaring di ranjang.
"Prin," panggil Cho saat Neza menarik selimut untuknya. "Cho, mau susu sebentar."
"Susu?"
"Iya, itu ada di atas meja."
"Oh, astaga. Nggak mungkin juga lo minta susu lain kan. Lo terlalu polos."
Cho hanya tersenyum tipis, tidak mengerti dengan perkataan sepupunya itu. Neza pun memberikan gelas susu itu. "Kalo udah langsung tidur."
"Selamat tidur, Princess."
***
Rion yang baru saja berbaring di ranjang. Tiba-tiba dikagetkan dengan suara ketukan pintu yang begitu kencang. Ia sudah tahu siapa yang melakukan itu. Rion tidak peduli dan pura-pura menutup matanya.
Namun, ketukan dan teriakan itu malah membuat Rion kesal. Rion mendengus kesal dengan terpaksa bangkit berdiri dan melangkah membuka pintu kamarnya.
Plak.
Detik itu juga Rion ditampar oleh Ayahnya. Terasa panas sekaligus perih di pipi sebelah kirinya. "Ayah ke sini cuma mau tampar aku doang?" tanya Rion seraya menyentuh bekas tamparan itu.
"Dasar anak tidak tahu terima kasih!" hentak Yuda-Ayah Rion. "Kenapa kamu bodoh?!"
"Yah, udah. Besok kita omongin lagi," ujar seorang laki-laki yang lebih tua tiga tahun dari Rion mencoba menenangkan Ayahnya. Ia adalah kakak tiri Rion bernama Leo. "Kasian Rion juga baru pulang."
Rion yang melihat wajah kakak hanya tersenyum miring. Benar-benar miris hidup, di saat Rion mati-matian mencari perhatian Yuda, malah Leo kakak tirinya yang selalu berada di pihak Ayahnya.
Rion mendecak kesal. "Lo itu beruntung banget ya. Gue jadi iri sama lo," ucap Rion pada Leo. "Lo yang bukan siapa-siapa dapet semuanya, gue yang kandung malah kaya sampah. Lucu."
Leo mendadak terdiam sejenak dengan perkataan adik tirinya itu.
Plak.
Lagi-lagi Rion mendapat tamparan lebih keras dari sebelumnya oleh Ayahnya.
"Ayah, udah, Yah!" Leo menarik tangan Ayahnya agar sedikit menjauh dari Rion.
"Apa yang kamu bicarakan? Kamu nggak sopan pada kakak kamu! Memang apa yang bisa buat Ayah bangga dari kamu?!"
"Apapun aku lakuin biar diakuin Ayah dari kecil. Tapi, Ayah masih sama kaya dulu. Ayah pikir aku mau jadi anak Ayah!" teriak Rion dengan netra yang sudah berkaca-kaca. "Semenjak Mama meninggal dan Ayah nikah lagi, Ayah makin nggak anggap aku ada."
"Apa yang kamu bicarakan?!" balas Yuda dengan suara tinggi. Leo menahan tangan Ayahnya itu. "Ayah tidak peduli. Sekarang ayah tanya kenapa Sally bilang kamu batalkan tunangan itu?! Kamu pikir, gampang cari investor seperti Ayah Sally? Hah?! Kamu ini selalu menyusahkan Ayah!"
Rion melangkah mendekati Ayahnya, memancing Yuda agar kembali menampar wajahnya. "Nggak peduli?" sejenak Rion tertawa miris. Sungguh menyedihkan menjadi dirinya. Ditinggal seorang Ibu dan sekarang Ayahnya tidak menganggap dirinya. "Aku juga nggak peduli sama Ayah. Aku nggak mau tunangan sama Sally, karena dia cewe nggak bener."
Baru saja Yuda melayangkan tamparan, Leo langsung melangkah cepat menghalangi Rion.
"Ayah, udah Yah!" bentak Leo membuat Yuda sedikit terkejut. "Besok kita cari jalan keluarnya, Yah."
Rion mendorong tubuh Leo ke samping. "Gue nggak butuh bantuan lo. Lo nggak pantes disebut kakak. Bagi gue selama-lamanya lo cuma orang asing yang numpang di sini."
"Jaga kata-kata itu, Rion!" bentak Yuda.
"Ayah nggak pernah ngerti apa yang aku rasain. Lebih baik aku pergi sama Ibu! Dari dulu aku ikutin kata Ayah! Bahkan Ayah nikah lagi, aku tetap ikuti Ayah. Tapi, apa aku harus hidup selamanya sesuai keinginan ayah! Lebih baik aku mati!" sentak Rion dengan pelupuk mata yang sudah penuh dengan air mata. Saat itu juga Rion mengambil kunci motor dan jaketnya.
Rion menabrak bahu Leo dan melewati mereka begitu saja.
"Rion! Ke mana kamu?!" Yuda menoleh pada Rion yang semakin jauh dan menuruni anak tangga.
"Ayah, Rion butuh sendiri dulu. Kita tunggu besok aja, Yah. Aku bakal cari Rion."
Tbc.
Komen, vote dan share cerita ini yaa (人 •͈ᴗ•͈)
See you next part (。•̀ᴗ-)✧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top