Part. 26 | 40DWW 🪄

Satu hari seperti hari sebelumnya. Cho berangkat bersama supir tanpa ada Neza. Rasanya hari berputar lebih lama, kalau tidak ada Neza. Walaupun sepupunya itu sering mengomelinya, Cho tidak masalah. Daripada Neza harus jatuh sakit karena kebodohannya.
Cho yang baru sampai kelas dari toilet, tiba-tiba seseorang dari luar kelasnya melempar gelas plastik berisi sisanya es jeruk. Hingga membuat seragamnya kotor.

Cho menoleh pada siswa itu yang tertawa terbahak-bahak bersama temannya. “Kenapa?!"

“Buang sampah yang di tempatnya,” ujar Cho kemudian membuang gelas tadi ke tempat sampah. “Kamu kelas berapa?”

Laki-laki menghampiri Cho dengan tangan dimasukin dalam saku celananya. “Gue MIPA 3 kelas 11. Ada masalah lo sama gue?”

Cho menggeleng kecil. “Nggak. Seharusnya buang sampah yang bener.”

Laki-laki itu mendorong tubuh Cho kasar. “Lo mau apa, hah?! Ck, lo Cuma berani kalo ada Neza. Kalo dia nggak ada lo balik cupu lagi. Lo itu beneran cowo bukan? Berlindung kok sama cewe. Dasar tolol!” setelah itu ia beranjak pergi.

Cho yang sebelumnya ingin cepat kembali ke kelas. Terpaksa harus ke toilet untuk membersihkan tumpahan jus di bajunya. Dari semua pembullyan yang Cho rasakan selama satu tahun ini memang sangat menyakitkan.

Rasanya perkataan tadi begitu membuat hari nyeri. Semua itu benar, Neza datang dan melindunginya padahal seharusnya dia bukan sepupunya. Cho membersihkan bajunya, tiba-tiba Rion datang.

“Lo dibully lagi?” tanya Rion seraya mencuci tangan di sebelah Cho. “Siapa yang bully lo?”

Cho menggeleng kecil. “Nggak Kak. Dia nggak sengaja buang.”

Rion memutar mematikan kran air. “Cho, baik boleh, tolol jangan. Lo bisa bedain bully nggak?”

“Kaya waktu itu Kak Rion ke Cho?”

“Ya, itu dulu. Sori, deh.”

“Cho percaya semua orang itu baik. Orang jahat itu sebenarnya orang baik juga.”

“Kebodohan lo ini buat sepupu lo kesel. Kemarin lo bilang, lo lagi belajar bela diri, kan? Karna gue baik, nanti gue ajarin,” ujar Rion lantas keluar toilet.

***

Sepanjang hari ini Cho tidak bertemu Lena sama sekali. Bahkan, chat dan teleponnya tidak direspons sama sekali. Cho juga mencoba pergi ke kelas Lena, namun Lena tidak ada dan teman sekelasnya mengatakan, jika Lena sedang di perpustakaan.

Cho yang tengah merapikan buku memasukkan dalam tas. Tiba-tiba ponsel pintarnya bergetar, pesan singkat masuk. Lelaki itu meraih ponselnya itu.

“Moo ada di rooftop?” Buru-buru Cho berlari meninggalkan ranselnya menuju rooftop.

Seorang laki-laki dengan tas ransel bergantung di sebelah bahunya menoleh pada kelas Cho. Langkahnya terhenti melihat satu tas di atas meja dalam keadaan masih terbuka.

“Si Cho belum pulang?” Rion memasuki kelas itu dan memastikan benar tas milik sepupu Neza itu. “Anjir, tuh orang kemana lagi!” Lelaki itu berlari keluar mencari Cho membawa tas milik Cho itu.

Rion tipe laki-laki yang sangat jarang membantu orang kecuali orang yang disayangi atau hormati. Tiba-tiba harus berurusan dengan Cho adik kelasnya yang dulu dia bully. Hanya Neza yang membuat Rion melakukan hal seperti ini. Soalnya gadis muda yang menarik hatinya itu mengetahui semua rahasianya.

Dengan napas tersengal-sengal, Rion membuka pintu rooftop dengan sangat keras. “Woi, Cho!”

Cho yang tengah berlutut dengan wajah babak belur di depan laki-laki bernama Dika itu menoleh pada Rion. “Kak Rion?”

Dika bangkit berdiri, melangkah menghampiri Rion dengan senyuman miring. “Gue sempet kaget pas tau lo sekarang temenan sama si cupu ini. Tapi, gue nggak heran, sih. Secara kebegoan lo itu mendadak muncul gara-gara tuh cewe, kan?”

Rion menjatuhkan tas miliknya juga punya Cho. “Lo itu ada masalah apa sama gue?! Hah! Kalo punya masalah sama gue, lawan gue. Bukan cewe gue.”

“Cewe gue? Ck, Rion si playboy? Mulut cewe mana aja lo comot, sekarang lo mau jadi cowo baik-baik? Lo lawak?” sahut Dika terkekeh geli.

Rion tersungging maju satu langkah mendekati Dika. “Urusan sama lo apa? ... Lo pikir setelah gue keluar, lo cocok jadi bos, hah?! Ingat, semua rahasia lo gue tau. Nggak usah sok kelas disini!”

Dika menarik kerah baju Rion dengan tatapan dendam. “Lo ninggalin kita karna cewe kaya Neza? Lo bego atau gimana?”

“Iya, gue bego! Seharusnya gue nggak terima lo dulu. Lo yang ambil cewe Leo, kan? Lo yang hancurin. Gue keluar karna gue nggak mau gabung sama geng bully.” Rion menyingkirkan tangan Dika dari kerah bajunya.

Lantas Rion menghampiri Cho membuka ikatan tali di tangannya. “Makasih Kak Rion,” ujar Cho senyum tipis pada Rion. “Kak Rion, dipukul juga?”

“Lo liat muka lo sendiri. Lo bonyok.” Rion manarik tangan Cho, melewati Dika yang memperhatikan keduanya. “Gue nggak bakal baik kali ini.”

Cho dan Rion memakai tas ransel mereka masing-masing. Mereka menuruni anak tangga. Tiba-tiba Cho merasakan sesuatu ada yang hilang.

“Kak Rion, moo hilang.”

“Moo siapa lagi anjir?”

“Sapi, moo.”

“Lo pelihara sapi?”

Cho menggeleng kecil. “Moo, boneka sapi, Cho. Tadi diambil sama Kakak itu.”

“Hah? Boneka mana?”

“Kak Rion, tolong ya Kak. Boneka sapi warna putih, Kak.”

Buru-buru Rion naik anak tangga kembali ke rooftop. Rion mengambil boneka sapi yang tidak jauh dari pintu. Sungguh Rion malu, masalahnya tadi ia sudah keren melawan Dika. Malas melihat muka Dika membuatnya emosi. Rion kembali keluar rooftop itu.

Jika dipikir-pikir kembali menjadi Cho sangat berat. Benar perkataan Neza, dirinya dan Cho tidak jauh beda. Sama-sama memiliki seorang Ayah yang selalu berekspektasi tinggi, sampai-sampai kita tersiksa. Bedanya Rion tidak mempedulikan itu, namun Cho sangat peduli dengan perkataan Ayahnya.

Rion berdiri sembari melipat tangan depan dada memperhatikan Cho yang tengah memesan plester di ujung bibirnya. “Lo kayanya seneng banget bikin orang emosi. Coba lo pikir, buat apa Dika telpon lo tiba-tiba suruh ke rooftop?”

Cho menggeleng cepat. “Cho pikir dia mau ngomong sesuatu. Bukannya dia yang waktu itu berantem sama Princess?”

“Ya, gue tau. Lo itu terlalu pikir positif. Lo nggak inget dia juga bully lo?”

“Inget, temen Kak Rion juga, kan?”

“Gue lagi nanya. Lo nanya balik mulu. Iya temen gue.”

“Maaf, Kak Rion.”

“Lo bikin gue emosi plus panik. Lo serius nggak apa-apa?”

“Nggak, Kak. Agak sakit dikit aja, nanti juga sembuh.”

Rion menyibak rambutnya frustrasi. Sungguh dirinya takut, jika Neza mengetahui hal ini. Bisa-bisanya Neza akan menolaknya terang-terangan.

“Lo lagi belajar bela diri, kan? Mulai besok gue bakal ajarin lo. Lo tau kelas kosong yang jadi gudang lantai 3? Nanti pas istirahat kedua sama pulang, lo latihan disitu.”

“Ternyata aslinya Kak Rion baik.”

“Gue lakuin ini biar lo nggak mati.”

“Kak Rion nggak bakal bilang ke Princess, kan?”

“Itu tergantung. Tapi gue juga nggak mau mati gara-gara kebodohan lo.”

***

Sudah lima belas menit setelah Wyla menyuguhkan berbagai makanan. Mereka berdua masih terus diam, tidak ada yang berniat membuka percakapan apapun. Hingga Neza membanting keras sendok dan garpu di atas piring hingga terdengar dentingan begitu keras.

Neza terduduk menyandarkan punggungnya, netranya menatap tajam Wyla dengan melipat tangan di depan dada. “Jadi, apalagi sekarang, Mi? Mami masih kurang siksa anak sendiri? Apa yang Mami pasang ditubuh aku?”

Wyla melirik sekilas, meletakkan sendok dan garpu. Kemudian melap sedikit mulutnya dengan kain di sana. “Mana mungkin seorang Ibu tega menyiksa anaknya sendiri? Kurangi pikiran negatif pada Ibumu sendiri, sayang.”

Decakan lolos dari mulut Neza. “Mana mungkin? Dari semua yang Mami lakuin, apa bisa aku berpikir positif?”

“Kamu itu hanya menilai tanpa tau apa alasan dibalik itu. Coba pikirkan apa yang buat kamu sehebat ini? Apa Mami pernah mengambil energi mu atau berniat bunuh kamu?”

Neza tertawa remeh. “Mami lupa? Waktu itu Mami hampir bunuh aku? Kenapa nggak dilanjutin aja sekarang?”

“Jangan hal bodoh seperti manusia. Saat itu Mami tidak sengaja, gimana keadaan kamu?”

“Kenapa aku rasa hal aneh? Kenapa rasanya seluruh energi aku terhisap sesuatu? Apa yang Mami sembunyikan?”

Wyla meraih gelas kaca berisi wine. Lalu meneguk perlahan. “Mana mungkin Mami melakukan itu. Jelaskan yang benar.”

“Tanda ini apa? Buat apa?” Neza menarik bajunya memperlihatkan tanda di dadanya yang hanya bisa dilihat penyihir saja. “Kenapa rasanya tanda ini ada sesuatu?”

“Itu tanda buat Mami bisa tau keberadaan kamu dimanapun. Sekarang jelas?”

“Buat apa susah-susah? Apapun yang Mami lakukan, itu nggak akan bisa mengendalikan apapun dalam diriku.” Setelah mengatakan hal itu Neza, beranjak pergi meninggalkan Wyla yang dengan tenang meminum wine-nya.

“Apa yang tidak bisa Mami kendalikan? Bahkan hidupmu ada ditangan Mami, sayang. Terlebih manusia bodoh yang sekarat itu.”





Tbc.

See you next part yaa (⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧
Komen dan votenya jangan lupa (⁠人⁠ ⁠•͈⁠ᴗ⁠•͈⁠)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top