Part. 2 | 40DWW 🪄

"Ayah, u-udah, t-tangan Cho perih," rintih laki-laki dengan switer krem itu.

Bhak.

Bhak.

Bhak.

"Sebenarnya kamu ini belajar atau nggak?!" teriak pria paruh baya itu hingga memenuhi seisi kamar anaknya.

Cho terus saja merintih kesakitan, kala Putra memukul kedua tangan dengan menggunakan stick golf. Laki-laki itu hanya bisa menahan rasa sakit, netranya telah berkaca-kaca.

"Ngapain kamu nangis?! Kamu ini laki-laki atau perempuan, Cho?! Jangan jadi lemah!" hardik Putra dengan wajah yang terlihat memerah murka.

Cho menahan air mata, tubuhnya bergetar hebat. Sungguh rasanya nyeri ia harus menahan sesegukan seperti ini. Seraya berlutut di hadapan sang Ayah, Cho terus menunduk menyembunyikan tangisannya.

"A-ayah, tangan Cho lemes. S-sakit b-banget, Yah," tutur Cho pelan.

Namun, Putra akan berhenti memukul tangan Cho, jika dirasa cukup. Ia tidak peduli sama sekali, itu semua salah anak ini. Kenapa dia lahir dengan mengikuti otak Winda bukan dirinya. Merepotkan saja.

Setelah dua puluh kali, Putra merasa puas telah menyalurkan kekesalannya. Ia berhenti dan membuang tongkat itu sembarangan. Suaranya bantingan itu membuat Cho tersentak.

"Ayah, capek pukuli kamu. Seharusnya kamu itu nggak usah lahir ke dunia ini. Kamu nggak berguna, bodoh. Mirip Ibumu itu."

Cho masih terdiam, setia berlutut dihadapan sang Ayah yang selalu berteriak itu. Dalam dirinya Cho ingin mengatakan pada Ayah, jika Ibunya bukan orang bodoh. Ibunya adalah wanita hebat yang sudah melahirkan ke dunia ini. Ia sadar, jika dunia ini kejam. Tapi, ia tidak merasa sedih. Karena alasan Cho hidup adalah Ibu.

"Rasanya Ayah buang uang sia-sia buat kamu. Bukannya kamu makin pintar malah tambah bodoh begini. Kamu tau, Ayah berusaha mati-matian buat kamu masuk kelas MIPA 1. Tapi, kenapa kamu jadi turun pas naik kelas begini. Kamu ini bener-bener, bodoh atau apa, hah?!"

"M-maafin Cho, Yah. Cho, emang bodoh bener kata Ayah. Tapi, Cho udah berusaha sekeras mungkin-"

Plak.

Satu tamparan keras menghantam pipi laki-laki itu. Hingga membuatnya terjatuh ke samping.

"Sekeras mungkin? Kalo kamu udah berusaha, seharusnya rangking satu. Tapi, apa ini? Kamu malah turun, anak sialan!"

Plak.

Lagi-lagi setelah pukul sekarang malah tamparan keras yang didapat. Kedua kalinya telak di tempat yang sama, membuat pipinya merasa panas sekaligus perih.

"Kalo kamu bukan anak kandung Ayah. Sudah Ayah lempar kamu ke jalan. Nggak berguna! Malu-maluin keluarga!"

Cho tersenyum tipis, ini adalah hal yang biasa ia lakukan jika sedang menahan tangis. Perlahan ia bangkit, menopang pelah tubuhnya dengan kedua tangan yang masih bergetar. Kemudian Cho kembali berlutut.

"Cho, sayang Ayah. Walaupun semisal Ayah bukan Ayah kandung, Cho. Cho ikhlas, kalo mau dibuang ke jalan. Asal selalu bareng Bunda, Cho ikhlas, Yah," tutur Cho pelan dengan senyuman tipis yang setia di sana.

"Kalian berdua emang cocok tinggal di jalan. Bahkan seharusnya kalian itu nggak ada di dunia ini. Kalian cuma nyusahin hidup saya."

Laki-laki itu masih saja tersenyum. Padahal dalam hatinya sangat hancur berantakan. Ia hanya bisa tersenyum, terkadang ia memaklumi. Terkadang Ayahnya melampiaskan kekesalannya karena kantor dan diberikan padanya. Cho ikhlas, menjadi pelampiasan Ayah. Asal sang Ayah tetap membiayai hidup Bundanya di sana.

"Saya muak lihat senyuman kamu itu. Lebih baik kamu berhenti tersenyum, kalo nggak saya pukul lagi."

"Cho ikhlas dipukuli Ayah. Yang penting Ayah nggak pukul Bunda. Ayah, bisa pukul Cho."

"Kamu benar-benar mirip dengan Bunda kamu. Sama-sama bodoh dan membuat saya muak," ujar Putra lalu melesat keluar dari kamar. Pria paruh baya itu menutup pintu dengan sangat keras dan lagi-lagi Cho terkejut.

Situasi seperti ini sudah sering sekali terjadi. Perasaan Cho sudah mulai terbiasa dengan sifat sang Ayah. Namun, tubuhnya tidak. Tetap saja bergetar hebat dan kulit memerah.

Semenjak tinggal bersama Ayah dan Ibu tirinya sejak duduk di kelas enam sekolah dasar. Cho selalu merasakan rasa sakit seperti ini. Hati juga fisiknya terasa sangat sakit, sungguh. Belum lagi, ia harus menahan rasa tangisannya. Sungguh menyiksa metal.

Namun, apa boleh buat. Cho terpaksa melakukan hal ini karena ia tidak ingin membuat sang Ibu tersiksa. Winda-Ibu Cho tinggal di perkampungan yang jaraknya jauh dari rumah yang sekarang. Bertahun-tahun Winda merasa sakit hati karena dikhianati Putra, tidak hanya itu fisik yang terluka pun ia pernah merasakannya.

Hingga akhirnya ia memutuskan untuk membiarkan Putra menikah kembali. Cho yang sudah tinggal dengan sang Ibu dengan berat hati. Ia harus ikut bersama Putra karena ia mengancam akan menyakiti Ibunya dan tidak memberikan uang. Cho tahu ini berat, sungguh ini sangat berat. Tapi ia tahu selagi ia melakukan ini untuk Ibu, ia yakin tidak akan sia-sia.

Laki-laki itu pelan-pelan menopang tubuhnya. Berusaha untuk bangkit berdiri, sesekali Cho meringis kesakitan. Namun, Cho kembali jatuh dan berlutut lagi. Kedua tangannya sangat lemas, mati rasa. Ia tidak sanggup.

"Ayo, Cho bisa. Ini semua demi Bunda. Cho p-pasti bisa," ujar Cho sembari berusaha kembali berdiri. Keringat bercucuran di pelipis.

"Cho, ayo. Kamu nggak boleh lemah."

Lagi-lagi perkataan itu yang diucapkan Cho dan sudah hampir setiap hari.
Setelah percobaan beberapa kali. Cho melangkah pelan menuju meja belajar tepat di sebelah ranjang. Dengan kedua tangan yang masih terasa sakit, ia mulai membuka buku paket matematika. Kemudian meraih buku tulis untuk melatih soal-soal.

Jika dipikir-pikir saat beberapa tahun lalu. Cho masih sekolah dasar, kehidupan begitu bahagia. Bercerita bersama Bunda dan Ayah, belanja bersama. Makan malam, masak bersama. Sungguh indah. Namun, dalam sekejap mata kebahagiaan itu hilang dan meninggalkan bekas yang sungguh menyakitkan hingga kini.

Entah, wanita gatal dan tidak ada kerjaan, tiba-tiba datang dan menghancurkan segalanya. Cho sangat membencinya, sungguh. Hingga ia bingung bagaimana cara membenci. Bunda Cho mengatakan hal itu sangat tidak baik, maka Cho tidak jadi membencinya.

"Cho, ngantuk banget tapi belum selesai." Cho menoleh ke arah jam dinding bergambar sapi. "Jam dua belas? Cho tidur sebentar, nggak apa-apa, kan?"

Pelan-pelan Cho bangkit berdiri. Kemudian berbaring di atas ranjang dan menarik selimut. Rasanya sangat nyaman, cukup sudah hari ini sangat lelah. Ia harus mengisi energi untuk besok pagi sekolah.

Laki-laki itu mulai memejamkan mata. Tiba-tiba seseorang membuka pintu kamar dengan sangat kasar. Hingga membuatnya sontak bangun dan terduduk.

"Anak stupid, enak, ya, kamu tidur begini. Setelah apa yang kamu dapatkan? Kalau masih mau Ibunya selamat. Sekarang belajar! Cepet!" teriak Angel-Ibu tiri Cho.

Wanita paruh baya yang suka warna merah menyala. Lihat saja, bibirnya seperti habis memakan cabai sangat merah dan tebal. Belum lagi suara sepatu hak tinggi yang selalu berbunyi.

"Tante, Cho harus tidur besok mau sekolah."

"Kamu pikir saya peduli?"

Tbc.









Terima kasih banyak udah baca cerita ini. (人 •͈ᴗ•͈)

Jangan lupa vote, komen dan share cerita ini supaya semakin banyak orang bisa menikmati cerita ini yaa. (◍•ᴗ•◍)


Nantikan part berikutnya. (≧▽≦)

See you. (。•̀ᴗ-)✧

Written by riasheria
31/1/22

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top