Part. 19 | 40DWW 🪄
Sinar matahari menembus kaca jendela membuat Neza mulai terganggu. Gadis itu kembali menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Neza yang masih sangat mengantuk, tiba-tiba perutnya terasa mual. Buru-buru gadis itu loncat dari tempat tidur dan menuju kamar mandi.
Neza memuntahkan cairan di wastafel, lalu menyalakan kran air. Sungguh perutnya sangat mual. Padahal ia tidak pernah muntah seperti ini, kecuali jika ia terpaksa memuntahkan makanan manusia. Neza yang sibuk memegang rambutnya, tiba-tiba seseorang datang dan membantu memegang rambut panjangnya itu.
“Kak Prin, masih mual?” tanya Cho seraya memijit pelan tengkuk leher Neza. “Cho, udah bawain sarapan buat Kak Princess.”
“Jangan liat muka gue! Gue lagi jelek.”
Cho tersenyum tipis. “Iya, maaf, Kak Prin. Cho nggak liat.” Laki-laki itu langsung memalingkan wajahnya.
Huek.
Huek.
Setelah dirasa sudah tidak muntah, Neza mematikan kran air. “Udah, lepas.”
“Bentar Kak Prin.” Cho keluar kamar mandi itu mengambil sesuatu di atas meja belajar Neza.
Kemudian Cho datang kembali dengan karet rambut di tangannya. “Cho, ikatin ya.”
Tanpa menjawab pertanyaan Cho, Neza mengangguk kecil. Dengan hati-hati Cho menangkup seluruh helai rambut Neza, merapikan sedikit. Kemudian mengikatnya dua kali.
“Udah, ayo sarapan. Kak Prin, aku bantu jalan ya,” ucap Cho hendak memegang lengan Neza. Dengan cepat Neza menepis tangan Cho.
“Gue bisa sendiri, minggir!” balas Neza keluar kamar mandi menuju ranjangnya.
Gadis itu naik ranjang dan kembali merebahkan tubuhnya. Cho menarik kursi di sebelah tempat tidur dan terduduk di sana.
“Sarapan dulu, Kak Prin.”
“Gue nggak lapar. Lo udah sarapan?”
“Cho, udah dari tadi Kak Prin. Sekarang udah jam sepuluh. Tadi Cho mau bangunin, tapi liat Kak Prin capek banget. Akhirnya Cho nunggu Kak Prin bangun aja.”
“Gue mau istirahat. Lo keluar sekarang, bawa sama tuh makanan.” Lalu berbalik membelakangi Cho.
Cho menghela napas panjang, sembari memperhatikan punggung Neza. Sebenarnya setelah kejadian semalam, Cho ingin menjaga jarak dengan sepupunya ini. Tapi, perasaan khawatirnya mengalahkan niatnya itu. Sungguh Cho sangat khawatir pada Neza. Apalagi sejak semalam Neza tidak makan sama sekali.
Laki-laki itu bangkit dari tempat duduk itu, kemudian terduduk di sisi ranjang. Cho menepuk pundak Neza pelan. “Semalam Kak Prin nggak makan. Pulang juga nggak makan, kalo nggak sarapan nanti sakit.”
Perlahan Neza berbalik menatap Cho sejenak. Neza merasa kalau selama ini dia salah menilai manusia. Cho sangat berbeda dengan laki-laki yang pernah Neza temui.
Kemudian Cho membantu Neza duduk, dia mengambil bantal besar di sebelah Neza. Lalu diletakkan di punggung Neza untuk bersandar.
“Thanks,” tutur Neza tanpa melihat Cho.
Cho tersenyum tipis. Lalu meraih piring berisi dua potong roti isi. Laki-laki itu menyuapi Neza.
“Gue bukan anak kecil,” ujar Neza. “Gue nggak—“
Mendadak ucapan Neza terhenti saat Cho mendekati wajahnya. Laki-laki itu menarik selimut agar menutupi bagian dadanya. Walaupun Cho lugu, ia tahu memperlakukan perempuan. Bundanya selalu mengatakan untuk menjaga perempuan.
“Cho, takut nggak sopan. Maaf.”
Neza mengerjap, lalu memalingkan wajahnya. Entah, rasanya Neza malu sekaligus senang secara bersamaan. Sekarang seluruh tubuh Neza tertutup selimut, hanya kepala saja.
“Suapin,” ujar Neza malu-malu.
Cho mengambil satu potong roti isi berbentuk segitiga itu dan menyuapinya.
“Gimana rasanya enak nggak Kak Prin? Ini Cho yang buat.”
“Lumayan lah.”
“Kemarin Kak Prin pulang-pulang mabuk. Kak Prin abis dari mana? Cho pikir Kak Prin—“
“Bentar ... Lo bilang gue mabuk?” potong Neza. “Bukannya semalem gue—sialan!”
Detik itu juga mata Neza melotot, kemudian mengerjap. Potongan ingatan dari kejadian semalam mulai muncul membuat Neza ternganga setengah. Benar-benar memalukan, padahal ia tidak pernah mabuk sampai tidak sadar begini. Padahal Neza sudah minum ramuan yang diberikan Arda.
“Semalem Kak Prin—“
“Stop! J-jangan bilang apa-apa.” Neza menggigit bibir bawahnya, menyugar rambutnya kasar. Sesekali melirik pada Cho yang terdiam.
“Kak Prin, udah nggak mual, kan?”
“Gue mau tanya, s-semalam gue nggak buat aneh-aneh, kan?” tanya Neza. “Mungkin gue mukul atau apa gitu?”
Cho mengambil satu potongan roti isi dan kembali menyuapi Neza. Tanpa menolak gadis itu memakannya. Sejenak Cho terdiam, mengingat kejadian malam itu. Sungguh berdekatan dengan Neza tidak baik untuk jantungnya.
Cho menggeleng kecil. “Semalem Kak Prin diantar sama Kak Arda. Ini ada obat dikasi Kak Arda, abis sarapan jangan lupa diminum Kak Prin.”
Neza mengangguk kecil, dengan mulut yang masih penuh dengan roti. “Cho, lo jangan bohong. Gue nggak suka manusia bohong.”
Sejenak Cho terdiam, meletakkan kembali piring di atas meja nakas. “Cho, nggak bohong. Kak Prin nggak mukul Cho.”
“Ka-kalo yang lain?”
“Maksudnya Kak Prin?”
Neza menarik baju Cho melihat leher dan bagian sekitar dadanya. Cho meneguk ludah dengan susah payah. Napas mendadak tertahan saat Neza mendekatinya. Tepat saat Neza menyentuh dadanya. Cho menahan pergelangan tangan Neza.
Neza terdiam sejenak, lalu menatap wajah Cho yang begitu dekat dengannya. Gadis itu mengerjap, kemudian buru-buru menjauhkan tubuhnya dan menarik selimut.
“Maaf, Kak Prin.”
“Apapun yang terjadi semalam, lupain.”
Cho bangkit berdiri dan meraih gelas susu di atas meja nakas memberikan pada Neza. Gadis itu meminumnya hingga setengah gelas.
“Thanks.”
Cho mengambil gelas itu dan piring tadi, kemudian diletakkan atas nampan. “Sama-sama Kak Prin.” Saat Cho hendak pergi Neza menarik pelan baju Cho, hingga laki-laki itu menoleh.
“Kenapa Kak Prin?”
“Ganti baju, gue mau ajak lo ke suatu tempat.”
“Mau ke mana Kak Prin?”
“Udah lo ikut aja."
“Hari ini Cho mau bantuin Bibi Ani.”
“Lo nolak?”
“Hari ini Pak Agus juga libur. Cho takut naik motor sama Kak Prin, bahaya.”
“Lo siap-siap sana. Nanti gue turun.”
“Tapi, Kak—“
Neza mendorong pelan tubuh Cho. “Udah sana cepet.”
“I-iya Kak Prin.” Cho melangkah keluar kamar Neza sambil sesekali menoleh pada Neza.
“Cepet, sapi.”
Setelah Cho keluar dari kamar, Neza pun menuruni kakinya ke sisi ranjang.
“Sialan! Bisa-bisanya gue cium sapi. Gue ajak tidur bareng lagi! Si sapi pasti jijik sama gue.” Neza menghela napas panjang perlahan menenangkan pikirannya. Kemudian mengambil botol kecil berisi ramuan itu dan meneguk habis.
“Lupain, gue harus lupain.”
***
Neza menuruni tangga dengan pakaian simpel. Seperti biasa pakaiannya selalu pendek, hoddie crop warna hitam dan celana pendek. Karena Arda tidak bisa dihubungi, hari ini Neza berencana untuk mengajar Cho naik motor saja.
Cho yang terduduk di sofa memperhatikan Neza, namun saat tatapan mereka berdua bertemu. Cho buru-buru memalingkan wajahnya dan langsung bangkit berdiri menuju pintu.
Neza yang menyadari itu, melihat pakaiannya dari atas sampai bawah. Padahal pakaian yang dia pakai biasa saja. Kenapa Cho seperti tidak ingin melihat dirinya. Aneh.
“Tangkap.” Neza melempar kunci motor pada Cho. “Bawa motor gue.”
“Tapi, Cho nggak bisa Kak Prin.”
Sembari merapikan rambutnya Neza mengikat cepol rambutnya itu. “Ternyata selain stupid, lo itu suka boong ya. Gue udah tau semua.”
“Maksud Kak Prin?”
“Lo bisa naik sepeda dan naik motor juga, kan? Sekarang lo bawa motor gue.”
Cho mengikuti langkah Neza ke halaman depan menuju motor sport berwarna hitam milik Neza itu.
“Cho nggak yakin bakal bisa.”
Neza melipat tangan depan dada, seraya memperhatikan Cho dari atas sampai bawah. “Lo cukup tinggi, kaki lo juga panjang. Lo bisa bawa motor gue yang tinggi.”
“Cho takut bikin motor Kak Prin lecet.”
Neza memutar bola matanya malas. Cho ini benar-benar membuat Neza kesal. Kenapa selalu takut? Padahal laki-laki itu belum mencoba. Lagipula Cho sering mengantar salah satu pembantunya ke pasar dengan motor kopling juga. Walaupun dari ukuran dan jenis sedikit berbeda.
“Tinggal bawa apa susahnya, sapi? Gue bakal tanggung jawab, kalo lo kenapa-kenapa nanti.”
Dengan keraguan Cho menaiki motor milik Neza dan memasukkan kunci. Mulai menyalakan mesin motor itu.
“Tuh, lo bisa. Coba lo keliling di sini dulu.”
Cho mulai melajukan motornya perlahan, kemudian mencoba mengelilingi halaman depan rumahnya yang cukup luas.
Neza yang memperhatikan Cho, samar-samar ia tersenyum melihat laki-laki itu. Ternyata Cho bisa tapi ia tidak ingin memberitahu siapapun karena dilarang Putra. Sungguh rasanya Neza ingin cepat-cepat membunuh manusia itu.
“Cho, bisa Kak Prin,” ujar Cho saat berhenti tepat di depan Neza. “Cho, pikir bakal susah, ternyata nggak sesusah itu.”
Neza mendekati Cho, menepuk pelan puncak kepala Cho dengan senyum bangga. “Bagus, makanya dicoba. Lagian nggak bakal buat lo mati juga.”
Cho tersenyum tipis. “Makasih, Kak Princess.”
“Iya. Lo udah bisa kan? Sekarang bonceng gue. Kita ke apart Arda.”
“Boleh, Kak Prin jagain Cho ya. Takutnya ada yang salah.”
“Iya.” Neza pun menaiki motor itu dan terduduk di belakang.
Cho melepaskan jaketnya dan memberikan pada Neza. “Tutupin paha Kak Prin.”
“Thanks.” Neza pun menutupi pahanya dengan jaket itu. “Lo nggak usah khawatir sama ortu lo. Mereka bakal pulang tengah malam. Jadi hari ini lo free bareng gue.” Seraya memberikan helm full face.
“Makasih Kak Prin.”
Neza pun melingkari pinggang Cho dan memeluk erat dari belakang. “Ayo jalan.”
“Kayanya ada yang lupa, Kak Prin?”
“Apa?”
“Moo boneka Cho masih di kamar.”
“Ya, terus?”
“Moo boleh ikut ya Kak?”
“Nggak!”
“Boleh ikut ya Kak?”
Neza menghela napas panjang. “Hm.”
Cho turun dari motor dan masuk kembali menuju kamar untuk mengambil boneka sapinya itu.
“Kayanya gue harus bakar beneran tuh boneka," batin Neza.
Cho pun datang kembali dengan membawa tas kecil berisi boneka sapinya itu. Lalu menaiki motor sport itu.
“Yuk, Kak Prin.”
Perlahan Cho melajukan motornya, ini pertama kalinya Cho membonceng sambil dipeluk begini. Sejujurnya perasaan Cho sangat aneh. Satu sisi ia ingin menjaga jarak tapi malah semakin dekat. Apakah begini rasanya punya saudara perempuan. Rasanya berbeda saat punya teman perempuan. Saat bersama Lena Cho tidak merasakan seperti bersama Neza.
“Cho, lo masih napas, kan?” tanya Neza tiba-tiba.
“Masih, Kak Prin.”
“Gue peluk, lo kaya nggak napas. Lo beneran nggak apa-apa?”
Cho mengangguk kecil. “Kak Prin, peluk yang erat aja. Takutnya Kak Prin jatuh.”
“Jangan! Nanti lo nggak napas lagi.”
“Kak Prin.”
“Apa?”
“Cho, mau—“
“Kayanya lo nggak perlu panggil gue Kak Prin atau Kak Princess? Neza aja atau Princess aja.”
“Kenapa Kak?”
“Ya, gue agak berasa tua aja. Kan kita seumuran.”
“Cho, panggil Princess aja kalo gitu.”
“Gue secantik itu ya? Sampe lo panggil Princess.”
Cho mengangguk kecil. “Cantik banget kaya Bunda.”
“Kenapa jadi mirip si Winda miskin itu?” batin Neza. “Oh, gitu. Kalo gue sama Lena cantikan siapa?”
“Dua-duanya cantik.”
“Salah satu, lah, sapi!”
“Kenapa Kak Prin panggil Cho, sapi?”
“Ya, karna lo suka sapi. Iya, kan?”
“Iya bener. Cho suka.”
“Jadi, cantikan gue atau Lena?”
“Cho nggak bisa pilih. Yang satu temen Cho yang satu sepupu Cho.”
“Hm, jadi gue jelek, nih? Nggak apa-apa.”
“Cantikan Lena.”
“Hah? Kok si cupu itu? Gue jelek dari mananya?”
“Cho, kurang tertarik aja.”
“Sialan! Kalo bukan karna perjanjian gue cekek lo! Dasar! Gue cantik begini dibilang jelek!” batin Neza.
“Kak Prin, diem aja.”
“Fokus ke depan aja. Lo tau kan Apartemen Krystal?”
“Oh, tau Kak.”
“Nah, di sana.”
“Kak Prin?”
Neza tidak menyahut karena masih kesal.
“Kak Princess?”
“Kak?”
“Princess?” panggil Cho beberapa kali.
“Apa?”
“Jangan marah ya, Kak.”
“Bawa motor yang bener.”
Tbc.
Makasih yaa udah baca part ini (人 •͈ᴗ•͈)
Jangan lupa vote, komen dan share cerita ini yaa (。•̀ᴗ-)✧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top