Senpai: Mendaki (2)

Sampai di pos satu, mereka berhenti  beristirahat untuk sekadar meregangkan kaki, minum, dan memijat pundak bergantian. Hanya sepuluh menit mereka dapat beristirahat, sesudahnya mereka perlu melanjutkan pendakian. Kali ini formasi berbeda. Sehun bersama Uzin memimpin, Dowoon dan Jungwoo di tenga,  sedang di belakang ada Chanyeol bersama Jungwoo.

“Kalian jalannya hati-hati, diusahakan jangan melamun. Medan berikut, jalanan lebih terjal dan sempit,” ujar Sehun memberitahu.

“Semangat, euy!” teriak Uzin penuh semangat sambil menyenggol Jisoo yang hampir oleng sebelum Sehun menahan pundaknya. Si tersangka penyenggol kontar meringis, sama sekali tak merasa bersalah.

Pendakian siang segera dilanjutkan. Mengingat hari ini Sabtu-Minggu, jadi wajar jika ada banyak pendaki di Gunung Andong. Mereka semua diharuskan mengantri melewati jalanan sempit untuk mencapai puncak Andong. Dikarenakan medan sempit, kapasitas jalan tidak bisa dilakukan secara bersamaan. Setiap pendaki dianjurkan untuk mengantri dan sabar. Biasanya hal begitu kesempatan mereka saling menyapa pendaki lain, sekadar tanya dan berbagi cerita.

Semakin naik ke atas, semakin terasa betapa dinginnya hawa sekitar. Jisoo mengigil seketika. Dia beruntung mengikuti nasehat Mas Jae memakai dua kaos, lalu jaket super tebal biar tidak kedinginan. Walau tubuhnya aman, tidak bisa dipungkiri suhu dingin menusuk-nusuk kulit wajahnya. Giginya sempat bergemertak kedinginan, sampai terdengar oleh Uzin di depannya.

“Kedinginan?” Dia mengiyakan tanpa mau menutupi apa yang sedang dirasakan sekarang. “Kamu gak bawa syal?” Lalu menggeleng lemah. Di rumah dia tak punya syal, cuma punya bennie dari kain wol untuk kepala dan sarung tangan saja, itu pun milik Mas Jae.

“Kenapa gak bilang pas masih di rumah?” omel Uzin. Lagian dia juga kenapa tak sadar kalau Jisoo tidak memawa syal. “Cak, bawa syal berapa?” Uzin berteriak menghentikan pendakian sejenak.

“Kenapa, Nong?” Sehun balik bertanya, sempat juga melihat Jisoo. Namun, Sehun belum sadar kalau cewek itu sekarang tengah menahan dingin menusuk-nusuk kulit di sela leher dan wajahnya. “Kamu kedinginan?” Barulah dia sadar ketika mendengar gigi gemertak berasal dari Jisoo.

“Dia gak bawa syal, Mas,” ujar Uzin sembari menunjuk leher kosong Jisoo. “Cak, gimana?”

“Sabar napa, baru nyari juga ini,” balas Jongup sibuk membongkar isi tas.

Sembari menunggu Jongup mencari syal, Sehun menggosokkan kedua tangan, lalu menempelkan ke pipi Jisoo. Hal itu dilakukan berulang-ulang agar Jisoo merasa hangat di pipinya.

Andai Sehun bawa syal, pasti sudah dia berikan pada Jisoo. Masalahnya selama mendaki ini, dia jarang sekali pakai syal. Terutama ke Gunung Andong. Setiap kali kemari, Sehun tidak pernah membawa syal. Cukup bermodalan kaos dan jaket tebal yang mampu menutupi leher jenjangnya.

“Gak nemu, Cak?”

Jongup menggeleng. Jisoo tampak sekali hopeles, tapi beruntung rasa hangat yang diciptakan Sehun mampu menahan dingin di wajahnya walau untuk sementara.

“Pakai punya gue aja ” Chanyeol menyodorkan syal yang dipakai, “gue udah kebal. Aslinya itu punya Wendy. Dia yang lilitin di leher gue tadi,” akunya tampak malu-malu saat menjelaskan kalau ternyata sang pacar yang melilitkan syal itu di lehernya.

Syal diberikan secara estafet. Uzin langsung memberikan pada Sehun, yang kemudian dililitkan ke leher Jisoo penuh telaten.

“Agak mendingan sekarang?”

Jisoo mengangguk, tersenyum malu. “Makasih, Mas,” ucapnya lirih. Kemudian dilanjutkan teriakannya berterima kasih pada Chanyeol.

Pendakian pun berlanjut lagi. Dua puluh menit mereka lewati, sampai juga mereka di pos dua untuk berhenti beristirahat. Lima menit kemudian, mereka melanjutkan pendakian lagi. Medan sekarang mulai berkelok-kelok. Mereka saling mengandeng ketika melewati jalanan terjal.

“Setengah jam lagi sampai!” Sehun berteriak memberitahu semua anggotanya. Estimasi pendakian biasanya membutuhkan dua jam. Tidak seperti mendaki gunung lain yang biasanya membutuhkan lebih dari dua jam. Gunung Andong hanya butuh waktu dua jam untuk sampai ke puncaknya. Singkat memang. Namanya juga gunung untuk pemula.

Mereka juga sempat berhenti di tengah jalur pendakian, sekadar mengisi botol minum di sumber air yang biasanya dimanfaatkan oleh pendaki untuk mengisi botol kosong mereka. Ada pula yang mengabdikan moment manis mereka sebelum melanjutkan pendakian lagi.

Setelah beberapa menit berjalan, terdapat dua pertigaan puncak yaitu Puncak Makam di kiri dan Puncak Alap-Alap di kanan. Sehun menjelaskan sedikit tentang kedua jalur tersebut. Menjelaskan perbedaan di antara keduanya sebelum mengajak ke-14 rekannya melewati jalur Puncak Alap-Alap. Lewat jalur ini mereka diharuskan melewati jalan kecil dengan jurang kanan-kiri. Sehun mengajak ke-14 anggotanya bergandengan tangan, berjaga-jaga siapa tahu ada yang ketakutan berjalan di antara dua jurang.

Begitu berhasil melewati jalanan tersebut, pemandangan langsung digantikan sesuatu yang lebih indah. Mereka disuguhi pemandangan luar biasa adiwarna nan ramai penuh dengan dome berdiri kokoh saling berdesakan bagaikan pasar malam.

“Selamat datang di ketinggian 1.726 mdpl!” seru Sehun menyambut ke-14 rekannya penuh sukacita.

“Udah sampai?”

“Udah, Jis,” Uzin menjawab riang, yang langsung dibales decakan kagum oleh temannya itu.

Jisoo berdecak sekaligus bernapas lega. Rasa lelahnya terbayarkan sudah setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri keindahan puncak Gunung Andong. Dengan keramaian luar biasa indah yang tak akan pernah ditemukan di perkotaan besar.

“Yang cowok bantu diriin tenda!” Chanyeol memberi perintah juga arahan untuk regunya. Banyaknya dome memaksa mereka untuk berhimpitan dengan pendaki lain. Tiga tenda sudah mereka dirikan, di mana satu tenda akan diisi oleh lima orang. Karena ada empat cewek, jadi satu tenda akan diisi empat cewek, yang harusnya diisi oleh lima orang.

Setelah tenda berdiri, tas teramankan di dalam tenda. Mereka saling duduk berdampingan sembarin meregangkan kaki juga punggung yang lelah akibat menampung beban tas ransel. Baru jam tiga, mereka bisa berhela-hela menikmati keramaian juga semilir angin sebelum melihat keindahan matahari tenggelam dari Gunung Andong.

Jisoo, Uzin, juga dua cewek lainnya asyik mengobrol sambil mengabadikan moment bersama. Berbeda dengan sebelas cowok itu, mereka lebih memilih ke wedengan yang selalu ada setiap malam Minggu. Nanti malam itu malam Minggu. Baru kali ini Jisoo memanfaatkan malam Minggu bersama teman-temannya. Ada kegembiraan tersendiri yang tak bisa dia ungkapan dengan kata.

“Mau gak?”

“Nawari cuma ke Jisoo, lah, kitanya enggak? Pelit amat Mas,” cecar Uzin.

“Ya udah kalian beli, sonoh.”

“Dibayarin gak?”

“Ya.”

YESSS!” Uzin semangat sekali melesat ke wedengan diikuti dua lainnya. Mereka sengaja meninggalkan dua orang itu untuk berduaan.

“Mumpung masih anget,” ujar Sehun menyodorkan minuman hangat di gelas plastik putih. “Wedang jahe, Jis,” jelasnya memberitahu karena tatapan Jisoo menjelaskan sekali dia tidak tahu minuman apa itu.

“Pahit gak?”

“Manis agak pahit,” katanya tersenyum tulus. “Ini bukan jamu. Kamu minum ini tubuh kamu langsung anget. Gak pernah minum jahet anget?”

Ia meringis malu, mengartikan kalau selama ini dia belum pernah minum jahe.

“Pas, kan?” ujarnya langsung menarik tangan kanan Jisoo dan meletakkan telapak tangan cewek itu ke gelas biar bisa merasakan sendiri kehangatan jahe anget. “Di puncak, dingin-dingin, minum jahet anget,” sambungnya sembari menarik satu tangan Jisoo lagi.

“Gih, minum.”

Jisoo menurut. Awalnya dia merasakan manis dicampur pahit yang menyengat. Namun, kehangatan langsung menenangkan kerongkongannya.

“Enak?”

“Gak,” jawabnya dengan polos. “Tapi anget di badan, Mas.”

“Namanya juga jahe anget,” balas Sehun tersenyum lebar, nyaris membuat sepasang mata itu tinggal segaris. Jisoo terdiam memaku  terpesona oleh kehangatan jahe anget juga senyum hangat Masa Sehun.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top