👻 Gₕₒₛₜ ₄ 👻

—Welcome to Bimasakti Primus Inter Pares—

"𝓚𝓮𝓫𝓮𝓷𝓬𝓲𝓪𝓷 𝓽𝓲𝓭𝓪𝓴 𝓪𝓴𝓪𝓷 𝓹𝓮𝓻𝓷𝓪𝓱 𝓫𝓲𝓼𝓪 𝓶𝓮𝓷𝓰𝓪𝓵𝓪𝓱𝓴𝓪𝓷 𝓬𝓲𝓷𝓽𝓪 𝓴𝓮𝓽𝓲𝓴𝓪 𝓬𝓲𝓷𝓽𝓪 𝓲𝓽𝓾 𝓭𝓲𝓳𝓪𝓵𝓪𝓷𝓴𝓪𝓷 𝓭𝓪𝓵𝓪𝓶 𝓴𝓮𝓴𝓾𝓪𝓽𝓪𝓷 𝓭𝓲𝓪 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓼𝓲𝓯𝓪𝓽𝓷𝔂𝓪 𝓪𝓭𝓪𝓵𝓪𝓱 𝓬𝓲𝓷𝓽𝓪."

—Sammy Tippit—

🎃🎃🎃

"Apa yang kau katakan, Tiara?" Ricky bertanya dengan wajah terkejut, tentu saja, Tiara mengatakan sesuatu yang membuatnya sangat takut dan tidak nyaman. "Kau bukan iblis yang menyamar menjadi manusia 'kan?"

Tiara tertawa pelan tampak menikmati untuk menghancurkan ekspresi Ricky yang tabah, gadis itu sangat senang untuk bermain-main dengan perasaan seseorang. Gangguan yang dia buat kali ini mungkin saja berhasil, Ricky itu pasti ketakutan dan perlahan akan jatuh ke dalam pelukannya. "Aku hanya bercanda. Kenapa kau serius sekali?"

Nyatanya Tiara benar-benar serius, Ricky sangat yakin berdasarkan pengalamannya mengamati Tiara. Gadis itu tidak pernah mundur ketika menginginkan sesuatu.

"Tiara, kalau kau melakukan sesuatu yang buruk kepada Zalfan--"

"Aku bercanda, Ricky," potong Tiara dengan suara lembut yang membuat bulu kuduk Ricky merinding. "Kau tidak perlu serius seperti Arin."

"Aku tidak percaya kepadamu."

"Kau juga tidak perlu percaya kepadaku."

Ada ketegangan antara Ricky dan Tiara, tapi hal itu sudah biasa. Anak-anak Antares tidak mengambil pusing karena Tiara datang setiap mereka latihan, selama itu tidak mengganggu (hal ini terus dikatakan oleh Chiko Darmawan, selaku ketua eskul basket Antares). Bagi Ricky, kedatangan Tiara seperti malapetaka.

"Ricky, jangan melihatku seperti kriminal. Aku bukan orang jahat."

Bibir merah itu mengerucut, sejenak tampak imut, tapi Ricky kembali membenarkan pikirannya bahwa Tiara itu berbahaya. Ricky menghela napas lelah dan kembali mengabaikan Tiara.

"Aku tidak akan memaafkanmu jika kau melukai Zalfan." Ricky untuk yang kesekian kali berkata dengan tegas, tapi kali ini dia benar-benar memohon kepada Tiara untuk tidak berbuat gila.

Jawaban Tiara hanya berupa senyuman tipis. Gadis itu tidak berjanji.

**

Bang!

Bunyi dentum keras mengagetkan Dava yang sedang menghafalkan materi sejarah wajib. Mantan murid Andromeda itu menoleh untuk mengamati Ricky yang marah sampai urat-urat lehernya menonjol. Dava tidak tahu apa yang terjadi dengan Ricky sejak dia meninggalkan gymnasium, pemuda itu terlihat aneh sejak bertemu dengan gadis cantik dari kelas sebelah ... atau mungkin kelas lantai bawah, Dava belum bisa mengenal anak-anak Halley kecuali teman sekelasnya.

Gadis itu bukan kekasih Ricky dan sepertinya hubungan mereka berdua lebih buruk dari yang dia duga.

Dava membuat kesimpulan cepat dari pertemuan singkat itu, walau dia mengamati mereka dari jauh. Ricky seperti terbiasa menghindari gadis itu entah bagaimana, tetapi hari ini bukan hari yang baik untuk pemuda sebentar lagi menghancurkan kelas lain. Oh, Dava juga ikut andil dalam permainan ini.

"Apa kau membenci Ace?"

Dava menjerit karena kaget ketika Ricky mendekat ke arahnya dengan wajah dingin yang menyeramkan. Suasana hati Ricky yang buruk membuat Dava ingin berlindung kepada Arin atau Dika, tetapi keduanya malah menghilang dalam tumpukan dokumen di ruangan Aldebaran.

"Kenapa kau bertanya tiba-tiba?"

Kening Ricky menyatu sempurna ketika mendengar jawaban Dava, tampak tidak puas. "Bukankah kau suka dengan Fiona?"

"Tentu saja, kami adalah sahabat."

Apa hubungannya dengan Ace?

"Kau menyukai Fiona karena dia adalah sahabatmu yang tercinta."

"Tunggu! Apa yang sedang kita bicarakan saat ini?" Dava mendesah keras seraya mengambil kotak susu dari bawah loker meja, menatap Ricky dengan bingung. Apakah Ricky sedang marah kepadanya karena Ace mengganggu pendekatannya dengan Fiona? Ataukah ada masalah lain yang melibatkan tiga orang itu?

Lantas kenapa Dava ikut dalam masalah ini?

"Kita sudah berteman sejak kecil, aku menyukainya sebagai teman yang menerimaku apa adanya. Kami bahkan sudah menjadi paket lengkap. Hal itu juga berlaku kepada Ace, aku juga menyukainya."

"Ternyata kau suka Ace bukan Fiona."

"Ternyata kau bodoh juga ya?"

Dava mengutuk karena kesalahpahaman Ricky yang bisa memicu rumor buruk tentangnya, jika Ace mendengarnya sudah dipastikan hidup Dava tamat dan dia gagal memenuhi tujuannya yang sempat tertunda. Pemuda itu kemudian memeriksa area sekitar, memastikan tidak ada sosok Lukman Permana atau Yena Nirmala, dua orang itu yang harus diwaspadai saat ini.

Dava masih menyukai gadis cantik dan tidak berniat menjalin kasih dengan laki-laki. Ricky harus tahu itu.

"Kau juga benci Ace."

"Aku tidak membencinya. Hanya kesal ... sedikit."

Apa Ricky melihat kejujurannya? Kalau tidak, Dava akan menendang pantat manusia berotot itu sampai tidak bisa jalan. Gadis cantik yang dia temui di Gymnasium Black Hole pasti merusak pikiran Ricky hingga dia tidak berpikir jernih saat ini.

Siapa dia?

Apa hubungannya dengan Ricky?

"Jika dia akan memberimu Surat Kematian, apa kau masih menyangkal kalau kau tidak membencinya?" tanya Ricky. "Kau juga membuat masalah dengan Veano--"

"Ricky!" Dava mengerang lagi, kali ini dia menyuruh Ricky duduk sementara dia memberi kotak susu lain. "Kau kelelahan, cepat minum! Otakmu sepertinya bergeser 30 cm membuatmu terlihat seperti idiot!"

"Eh?"

"Astaga!"

"Kau belum menjawab pertanyaanku."

Dava menghela napas, merasa lelah karena pembicaraan ini. Ototnya bahkan berkedut-kedut dan tegang karena terus tertekan.

"Aku tidak akan pernah membencinya."

"Tapi kau--"

"Aku belum selesai bicara," ucap Dava jengkel. Dia hampir saja melempar Ricky dengan kotak susu yang isinya tinggal setengah, untungnya Dava menghentikan tindakan memalukan itu.

"Oke, lanjutkan!"

"Aku masih berharap kalau hubungan ini akan membaik, mungkin bukan sekarang tapi nanti jika waktunya sudah tiba."

Ada keheningan jelas setelah Dava menjawab pertanyaan itu meski pemuda itu tidak tahu apa yang membuat Ricky merasa tidak nyaman. Ricky mungkin membenci seseorang dan berpikir untuk balas dendam tapi dia masih ragu apakah hal itu benar atau tidak.

"Apa kau membenci seseorang?" tanya Dava setelah dia menghabiskan susunya, menatap Ricky yang menundukkan kepala.

"Aku ingin membencinya."

Dava mengangguk mengerti setelah mendengar jawaban pendek Ricky. Dia juga pernah berada pada posisi yang sama dengan pemuda itu, hanya saja situasi saat ini tidak membuatnya bisa memberi solusi dengan mudah.

Perasaan manusia bisa berubah kapan saja.

"Jika kau ingin membencinya, kau bisa membencinya. Jika kau ingin menyukainya, kau bisa menyukainya. Untuk apa kau melukai dirimu hanya karena perasaan yang sementara?"

Dava tersenyum lembut ketika dia melihat cahaya dalam mata Ricky yang sempat meredup. "Lakukan apa yang ingin kau inginkan. Kalau kau tidak sanggup, kau bisa bicara dengan orang yang kau percayai."

"Bagaimana bisa aku mencari orang yang bisa aku percaya?"

"Ada kok ada!"

Ricky tidak bisa menyembunyikan senyumannya ketika Dava menepuk dadanya sendiri dengan bangga seolah mengatakan kalau dia bersamanya.

Ricky menyadari kalau Dava adalah seorang teman yang baik.

"Apa kau sangat tidak menyukainya?"

"Siapa?"

"Gadis yang memelukmu tadi. Dia dari kelas mana?"

"Bahasa 1."

Dava membelalakkan matanya kaget. "Pantas saja kau tidak cepat mengusirnya. Dia sekelas dengan Chaya!"

Ricky mengangguk dengan wajah muram. "Kita bisa merusak aliansi kalau aku bermasalah dengannya. Bagaimana jika Chaya ikut campur?"

"Apa kau akan diam saja? Kau bisa meminta bantuan kepada Chaya jika dia tetap mengganggu."

"Aku rasa tidak berhasil," kata Ricky seraya tertawa kecil.

"Kau harus mencobanya!"

"Hah! Aku akan gila!"

"Jangan gila dulu!" larang Dava dengan seringai. Dia tidak habis pikir kalau Ricky bisa bermasalah dengan seorang fanatik. Kasihan sekali.

Pintu kelas terbuka menampilkan wajah Dika yang sedikit kebingungan ketika melihat Ricky dan Dava saling bertukar senyumannya. Mengabaikan situasi ambigu itu, Dika mengibaskan sebuah amplop hitam berukiran emas ke arah kedua temannya.

"Apakah itu Surat Kematian?" tanya Ricky seraya menunjuk amplop hitam. Pemuda itu juga tidak lupa untuk sedikit menjauh dari Dava agar Dika tidak berpikiran macam-macam.

Punggung Dava terasa dingin ketika mengingat kembali dimana asal surat yang dikatakan Ricky. Surat Kematian berasal dari Aceville Orlando dan hari ini kemudian besar adalah hari terakhirnya menghirup udara yang aman dan damai.

Padahal belum lama Dava bisa bersekolah di Bimasakti.

"Surat Kematian?"

"Bukankah Surat Kematian berwarna hitam?" tanya Ricky seraya melirik Dava yang sudah berpasrah diri, padahal sebelumnya dia yang paling semangat untuk menghibur Ricky.

"Ini bukan Surat Kematian. Lagipula Ace tidak mungkin mengirim benda itu secepat ini, mereka akan kehilangan poin lebih banyak. Surat ini ada di lokermu Dava."

"Aku?"

"Apa kau membuka loker Dava?"

Dika mendelik ketika Ricky menuduhnya. "Loker Dava bahkan tidak bisa menarik minatku. Bukankah surat ini mengingatkanmu tentang sesuatu?"

Ya, Dava mengingat surat ini dengan jelas karena motifnya yang unik, elegan, dan memiliki kesan mewah. Dia tidak mungkin melupakan hal yang membuat hidupnya berubah.

"Itu ... Orbit."

Dava menoleh hanya untuk melihat Ricky. Pemuda itu ternyata tahu betul Orbit yang sangat dibicarakan di seluruh Bimasakti.

Walau mempunyai warna yang sama yaitu hitam, Orbit dan Surat Kematian jelas berbeda satu sama lain. Orbit terkadang berwarna hitam atau merah dengan motif rumit berwarna emas yang melambangkan kejayaan Bimasakti, sementara Surat Kematian hanya berwarna hitam dengan tampilan polos. Orbit biasa ditemukan tanpa tahu siapa yang mengirim seolah-olah surat itu sudah berada di sana, sementara Surat Kematian bisa langsung diantarkan oleh Aceville Orlando atau orang lain.

"Sepertinya aku dipanggil."

🎃🎃🎃

"Sampai saat ini aku tidak tahu apa yang membedakan Orbit dengan penerima beasiswa, keuntungan mereka hampir sama," ucap Dika begitu Dava melesat pergi keluar kelas dengan kecepatan penuh.

Ricky tidak berkomentar karena dia menghabiskan susu pemberian Dava yang ternyata lumayan enak. Dava pasti mendapatkan banyak makanan atau minuman karena dia sangat terkenal.

"Apa kau penasaran?" tanya Dika seraya duduk di depan Ricky yang menggelengkan kepalanya dengan tegas.

"Sama sekali tidak."

"Dasar kaku!" ucap Dika dengan wajah datar. "Oh, apakah kau tahu gosip hangat saat ini?"

"Apa Lukman dan Yena sedang memuntahkan omong kosong yang membuat kepala Veano berputar 360 derajat?" tanya Ricky dengan wajah datar. Memikirkan hal itu membuat emosinya meluap kembali, bagaimana bisa orang-orang seperti itu berkerumun di Bimasakti?

Dika menggeleng sebagai tanggapan. "Kali ini mereka tidak membuat masalah lagi. Mungkin."

"Aku tidak mendengar apa-apa selain aliansi kita," jawab Ricky jujur.

Dika menyeringai kemudian sedikit memajukan tubuhnya ke Ricky. Tangannya menutupi mulut agar tidak ada yang tahu kalau pembicaraan ini adalah sesuatu hal yang sangat rahasia.

Sebenarnya Dika tidak perlu bertidak sejauh itu karena ruang kelas hanya dihuni oleh tiga orang, mereka berdua dan seorang gadis muda yang sedang tertidur seperti orang mati, Laura.

"Ada ninja di sekolah."

Ricky mengeluarkan bunyi decak kesal tanda kalau apa yang dia dengar saat ini sangat membuang waktunya.

"Ninja itu sedang memburu hantu di sekolah."

"Oh, sekali lagi berita aneh," desah Ricky lelah.

Dika tertawa geli ketika melihat ekspresi temannya yang tampak tidak bernyawa, tapi dia masih terus menceritakan hal-hal yang menarik dari luar kelas mereka.

"Sayangnya yang disebut ninja ini adalah salah satu dari kita."

Kiri
Ricky > Arin > Dika

Kanan
Olivia > Dava > Laura

Love

Fiby Rinanda 🐝
19 Februari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top