Kompilasi 1-5

Januari 01

Tengah malam baru saja datang. Persis seperti awal tahun biasanya. Dentuman kembang api berlomba-lomba menyesaki langit malam, sibuk berbagi kebahagiaan sambil membangunkan manusia-manusia pemalas yang memilih bergelung di bawah selimut.

Dingin angin malam pun rasanya sudah tidak punya arti, digerus oleh lebur tawa juga tungku pembakaran yang siap melahap bertusuk-tusuk sate.

"Pergantian tahun harus dirayakan supaya dapat semangat baru." Semangat awal tahun yang rajin digembar-gemborkan oleh mereka di sekitarku. "Setelah itu, kita jadi punya semangat mewujudkan resolusi."

Aku hanya tertawa kering. Rasanya asing. Seperti mendarat di sebuah tanah antah berantah yang diisi sekoloni alien aneh yang tidak aku mengerti bahasanya. Dan terjebak di dalamnya adalah daftar hal terakhir yang aku inginkan.

Untuk menyelamatkan diri sendiri, aku memilih berdiam di sini. Ruangan ternyaman tanpa invasi seruan-seruan yang nyaris menulikan kuping. Sibuk bergelut dengan isi kepala yang tidak pernah menjadi hening.

Duduk di sana, berbagi canda bersama, menjadi salah satu peramai di antara kerumunan penyambut awal tahun itu ... aku juga ingin. Ikut tertawa, turut melempar humor kosong, bernyanyi riang tanpa khawatir hari esok, hati kecilku mengharap aku turut mendekat.

Namun, di sinilah aku. Terbaring di bawah langit-langit putih dengan cahaya lampu, alih-alih bulan dan bintang yang menggelantung di langit. Menyesali isi kepalaku yang hanya dipenuhi benang kusut.

Awal tahun baruku, disambut dengan air mata sendu. Serius, aku bahkan tidak mengerti dengan kondisi hatiku sekarang. Kenapa menangis? Sebelumnya, aku baik-baik saja. Tidak ada satu hal pun yang bisa dijadikan alasan untuk air mataku luruh.

Aku dan kekusutan isi kepalaku adalah lelucon yang sempurna untuk tahun baruku.

•••

Januari 02

"Apa resolusimu tahun ini?" Rasanya sudah menjadi pertanyaan wajib setiap kali tahun berganti.

Sayangnya, aku adalah seorang pesimistis pengecut yang enggan kembali bergantung pada sebuah kata bernama 'resolusi'.

Resolusi seharusnya ada, dibersamai dengan usaha untuk mencapainya. Sedangkan aku (jika boleh jujur), adalah si penyandang gelar pemalas pada nama belakangnya. Jadi, percuma saja. Resolusiku hanya akan berakhir sia-sia. Lebih baik menyerah sejak awal daripada membuang waktu, 'kan?

Sejujurnya, aku sudah lelah. Dengan keapatisanku, kemasalanku, juga kesantaianku. Serius, kamu harus paling tidak satu hari menjadi aku. Seratus persen kamu pasti ingin mengirimkanku kembali pada Tuhan. Paham tidak? Itu adalah perwujudan ketidaktahananku pada diri sendiri.

Tapi jika boleh, mungkin aku akan mengatakan ini sebagai wujud resolusi. Aku hanya ingin bisa hidup dalam damai. Sebentar saja, tanpa setan-setan cilik yang berlarian di kepalaku. Tanpa perasaan rendah diri yang belakangan ini menjadi sahabat karibku.

Kesimpulannya, aku hanya ingin menjaga bahagiaku, tanpa menjadi hama bagi manusia lain.

•••

Januari 03

Sudah kubilang sebelumnya, aku tidak ingin bergantung pada sebuah resolusi yang aku sediri paling tahu tidak akan pernah terwujud. Jangankan poin ke-11, poin pertama saja aku tidak punya.

Nah, lihat kan? Wujud kemalasanku bisa kamu lihat langsung sekarang.

Namun, sudah kewajibanku untuk menyelesaikan tantangan yang aku bidikkan untuk diri sendiri. Jadi, biarkan aku membawa topik lain untuk lembar cerita kita hari ini.

Tidak perlu ditebak, aku tahu betul bahwa tahun ini tidak akan berbeda jauh dengan tahun-tahun sebelumnya. Maka dari itu, jika bisa, aku ingin mengusahakan satu hal.

Meski tidak punya target khusus untuk tahun ini, bukan berarti aku memilih menyerah dan menjadi apatis pada diri sendiri. Tidak. Ada beberapa hal yang sedang aku usahakan tahun ini. Hanya saja, aku tidak ingin menyebutnya resolusi. Karena di kamus hidupku, resolusi harus finish di akhir tahun yang sama. Sedangkan usahaku sekarang, aku perjuangkan dengan kecepatanku sendiri. Masalah kapan akan sampai garis finish, apakah bulan depan, akhir tahun, atau malah bertahun-tahun yang akan datang, biar menjadi urusanku dan pertanggungjawab untuk diriku sendiri.

Jadi, minta doanya saja supaya aku bisa tetap waras di tahun ini.

•••

Januari 04

"You are your home."

Sebenarnya daripada kutipan favorit, sebut saja kutipan yang belakangan ini lumayan relate dengan kehidupanku. Terlebih bagi manusia yang sibuk mencari validasi untuk penyakit hati yang sebenarnya bukan urusan orang lain selain aku.

Belakangan selalu terasa menyebalkan setiap kali seseorang menyinggung kata 'rumah'. Bukan rumah yang menjadi tidak ramah. Tapi, aku yang enggan menganggap rumah, lantas sibuk mencari tempat pulang untuk menata rasa. Dan akhirnya, kembali berkutat dengan isi kepala dan berputar di tempat yang sama.

Jadi bisa dikatakan, letak salahnya ada di aku. Yang salah adalah isi kepala dan segala kebusukan yang selalu bersarang di dalamnya.

Menemukan kutipan di atas, sedikit banyak membantuku untuk mengembalikan kenyamanan. Jika tidak ada dunia seperti yang aku harapkan, cukup jadikan diri sendiri dunia yang kita cari. Jika tidak ada rumah ternyaman untuk pulang, cukup peluk diri sendiri dan membisikkan kalimat menenangkan, maka rumah yang kucari bisa didapatkan.

Namun, selalu sendiri dan merasa bisa melakukan segala hal sendirian, ternyata cukup merusak diri sendiri. Untuk itu, semoga di tahun ini aku mulai bisa membuka diri pada manusia-manusia di sekitarku, yang padahal selalu membagikan atensi padaku selama ini.

Mari, di tahun ini, selain berdamai dengan diri sendiri, kita harus berdamai dengan lingkungan juga.

•••

Januari 05

Baiklah, aku bukan ikan.

....

Weird opening. Isn't it?

Karena tidak ada buku yang belakangan aku baca dan mendapat julukan favorit, jadi aku mengambil kalimat acak dari novel di ipusnas. Salah satu novel yang sampai sekarang masih berhasil mengocok perutku, saking absurd isi ceritanya.

Aku bukan ikan, jelas saja. Jika mengambil analogi sekalipun, aku tidak akan menggambarkan diri sendiri sebagai ikan. Meski banyak manusia menyebalkan yang sering memanggilku 'Babi'.

Yah, bukan julukan yang lebih baik dari ikan, sebenarnya.

Tapi bukan, mereka memanggilku "Babi" bukan berniat mengolok, serius. Anggap saja sebagai panggilan akrab untuk orang kesayangan mereka, hehe.

Mungkin setelah ini aku harus menyelesaikan novel itu lagi. Hitung-hitung untuk mengembalikan suasana hati yang selalu biru sejak awal tahun.

Jadi, mari kita akhiri kisah ini di hari kelima ini. Semoga segala keabsurdan di dalamnya cukup menjadi pecutan untuk diri sendiri rajin menulis ke depannya.

Meski dimulai dari coretan random seperti ini, paling tidak, aku sudah satu langkah lebih produktif.

Kalau begitu ... sampai jumpa di hari berikutnya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top