Part 1

"Rendra!"

"Ren,"

Panggilan Ara beberapa kali tak dihiraukan oleh Rendra. Rendra tetap meneruskan jalannya, tanpa ekspresi tanpa menoleh sedikitpun ke belakang. Langkahnya tentu lebih cepat dari Ara, sampai-sampai Ara tersandung beberapa kali ketika mengejar Rendra yang berjalan cepat.

"Rendra Mahesa Pradipta!" Tangan Ara sontak menarik tas Rendra dari belakang hingga laki-laki itu menoleh ke arahnya.

"Kenapa mengundurkan diri dari calon anggota osis?" tanya Ara tanpa basa-basi.

Sekalipun Ara langsung menembak dengan pertanyaan itu, Rendra meresponnya tanpa ekspresi. Tapi namanya juga Ara. Walaupun satu tahun lamanya mengejar Rendra usahanya gagal, setidaknya ada tahun-tahun berikutnya yang bisa ia gunakan dalam kesempatannya mengejar Rendra.

"Rendra," panggilnya ke arah Rendra saat pertanyaannya tak dijawab laki-laki itu.

"Kalo ada orang ngomong, biasakan dijawab! Jangan asal pergi aja. Gue ngomong sama lo bukan ngomong sama setan, Ren!" seru Ara.

"Bukan urusan lo," jawab Rendra saat jalannya dihadang oleh Ara. Rendra menyingkirkan tubuh Ara dengan satu tangannya agar ia bisa lewat.

Walaupun ia sedikit terpental ketika tubuhnya didorong Rendra, tak berpengaruh bagi Ara, "Urusan lo urusan gue."

"Berisik!" balas Rendra.

"Bisa nggak kita duduk sebentar di halte. Gue mau ngomong sama lo," pinta Ara.

Rendra tetap melanjutkan jalannya ke arah parkir motornya seraya sesekali membalas ocehan Ara, "Nggak ada waktu."

"10 menit," pinta Ara.

"Nggak."

"7 menit," tawar Ara lagi.

"5 menit," Ara tetap menawarkan menit demi menit ke arah Rendra. Walaupun ujung-ujungnya tetap yang ia terima penolakan dari laki-laki itu.

"Ya udah 2 menit," kalahnya.

"1 detik," balas Rendra seraya langkahnya terhenti ketika mengucapkan kata itu.

"Mana bisa ngomong 1 detik? Gue mau ngomong panjang lebar. Satu detik nggak bakal cukup. Minimal 30 menit baru cukup," tawar Ara lagi ke arah Rendra.

"Rendra," panggil Ara dengan tatapan memohon.

Bola mata Rendra berputar malas, "Ya udah," balasnya singkat.

"Ya udah apa?"

"Ya udah ayo ikut!" ucap Rendra dengan langkah yang ia lanjutkan ke arah parkiran.

"Maksudnya?" Ara masih mencerna ucapan Rendra. Beberapa kali berbicara dengan Rendra memang harus memiliki  kesabaran yang ekstra. Kalimat demi kalimat tak pernah Rendra ucapkan dengan panjang lebar dan jelas. Pasti hanya sepatah dua patah kata yang harus dicerna lawan bicaranya sendiri.

Tak apa. Satu tahun lamanya mendambakan hati Rendra, walaupun tiap hari makan ati, tetap Ara lakukan.

"Ren, maksudnya apa? Ikut lo? Ikut lo ke parkiran? Gue ngajaknya kan  ke halte. Bukan ke parkiran," ucap Ara sembari tetap mengejar langkah Rendra menuju parkiran yang saat ini ada di depannya.

Rendra tak menjawab lagi. Ia sibuk mencari motornya yang terparkir. Sedangkan Ara mengekor di belakangnya tanpa diminta.

Ketika motor Rendra berhasil ia keluarkan dari tempat parkir. Sorot mata Rendra mengisyaratkan Ara untuk ikut naik di jok belakangnya, "Naik!"

"Lo mau nebengin gue? Beneran gue naik?" tanya Ara.

"Hm," Tak dijawab lagi hanya gumaman yang keluar dari bibir Rendra. Ia mengisyaratkan mata yang menoleh ke belakang dan tangan yang membuka footstep motor untuk Ara.

Ini kali pertamanya Ara mendapati Rendra membukakan footstep untuknya. Sudah bisa dipastikan hatinya saat ini bergemuruh. Ingin loncat-loncat kegirangan.

Tolong infokan KUA buka jam berapa? Gue dibonceng Rendra! batin Ara.

Ara lantas naik ke motor Rendra. Rasanya tidak ingin turun dari motor itu. Mau diajak keliling dunia naik motor pun ia rela. Asalkan sama Rendra. 

"Beneran? Ini sampai rumah?" tanya Ara. Ara yang tak bisa menahan senyumnya terlihat dari spion Rendra. Sedari tadi ia tak bisa menyembunyikan wajahnya yang kegirangan. Coba saja urat malunya terputus, mungkin tangan Ara tanpa permisi melingkar di pinggang Rendra.

"Eh nggak nggak ... Jangan sampai rumah! Jalan-jalan dulu aja ke coffee shop. Kayaknya cerita-cerita disana lebih intens dari pada di halte. Dilihat orang banyak. Kan takutnya orang-orang ngira kita—"

"Ren, jangan ngebut-ngebut Ren!" pinta Ara saat Rendra mulai menjalankan motornya dengan kecepatan rata-rata.

Ketika sampai di halte depan sekolah, Rendra mengerem motornya. Hal itu membuat Ara mengerutkan dahinya, "Kenapa berhenti?"

"Ke halte kan? Tadi lo bilangnya mau ke halte," jawab Rendra seraya matanya mengisyaratkan Ara untuk turun.

"Ini kita nggak jadi—" Ara tak melanjutkan kalimatnya. Ia lantas turun dari motor Rendra. Barangkali Rendra maunya ke halte bukan ke coffee shop.

Saat Ara tlah turun dari motor, Rendra mulai menekan starter motornya lagi, "Bye!" ucap Rendra tanpa menoleh ke arah Ara. Dan tetap menjalankan motornya meninggalkan Ara yang sendirian di halte sekolah.

"Loh ... Rendra! RENDRAAAA!!!"

Ara berdecak tak karuan. Tidak tidak. Ia tak akan menyerah hanya karena diturunkan dari motor secara sepihak. Barangkali Rendra ada urusan yang membuatnya tak bisa pulang bersama Ara. Iya, pikiran-pikiran positif tentang Rendra tetap melayang di atas kepala Ara.

"Nggak papa ... nggak papa ... Selagi label jomblo masih di tangan Rendra. Ara lo pasti bisa nerobos hatinya Rendra, Ra!" ucapnya menyemangati dirinya sendiri.

"Gue cuma mau tanya alasan lo mengundurkan diri dari calon anggota osis. Udah gitu aja. Susah banget tinggal jawab doang. Kalaupun Bu Sintya ngasih tau alasannya. Gue juga nggak bakal minta penjelasan lo," gerutu Ara seraya tubuhnya masih berdiri mematung di halte sekolah.

"Sendirian, Neng?" seru seseorang dari belakangnya.

Ara terlonjak, "Astagfirullah Setan!"

"Elang?" serunya saat mendapati Elang ada di sampingnya secara tiba-tiba. Hampir saja jantungnya terlempar di tanah. Benar-benar tanpa permisi mengagetkan saja, Elang.

"Ngagetin tau nggak!" protes Ara.

"Lagian ngapain disini sendirian? Nungguin Ayang Elang ya?" tanya Elang dengan senyum yang menampakkan giginya.

"Kalau mau pulang bareng, ayok!" tawar Elang.

Ara spontan menggeleng cepat, "Nggak. Makasih! Gue bareng sama Tata," jawabnya.

"Nggak papa, ayok!" Elang tetap bersikukuh ingin mengajak Ara pulang bersama. Namun yang diajak sama sekali tak mengiyakan ajakannya.

Walaupun Ara tau maksud Elang apa. Ia tetap menolaknya dengan halus agar tak menyakiti hati Elang juga, "Nggak Lang, gue udah ada janji sama Tata. Makasih atas tawarannya. Tapi gue emang ada janji sama Tata," jawabnya.

Sebenarnya juga tidak ada janji dengan Tata. Tapi mau bagaimana lagi. Ara tidak bisa menerima tawaran Elang.

"Lain kali aja," tutur Ara.

Sebenarnya Elang sedikit kecewa atas penolakan Ara. Tapi tak apa. Namanya usaha tidak akan menghianati hasil, "Lo sama Tata naik apa?"

"Taksi online," jawab Ara.

"Ya udah gue kawal dari belakang ya?" pinta Elang.

"Ngapain? Bukan konvoi. Nggak usah. Mending lo pulang aja nggak papa, Lang!" jawab Ara lagi.

"Beneran nggak papa? Kalau nanti sopir taksinya macem-macem sama lo gimana? Nanti langsung telfon gue ya?" seru Elang. Walaupun begitu, Elang masih memastikan Ara pulang dengan selamat.

"Gue nanti bawa pasukan satpol PP demi jagain lo, biar sopir taksinya nggak macem-macem," seru Elang.

Mendengar penjelasan Elang, Ara menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menghela napas panjang, "Iya ... iya. Nanti gue telfon lo!"

"Oh iya Ra?"

"Apa?"

Tangan Elang mengeluarkan kotak kue dari tasnya, "Gue sampai lupa. Bunda bikin kue lidah bua ....."

"Maksud gue lidah kucing. Bunda buatnya penuh dengan cinta untuk calon menantu di masa depan katanya. Dimakan ya? Kalau kurang banyak telfon gue aja. Nanti gue bawain lagi," seru Elang seraya tersenyum saat Ara mengambilnya dari tangan Elang.

"Makasih ya?" ucap Ara.

"Sama-sama," jawab Elang seraya tersenyum.

"Gue duluan ya, Lang! Tata udah nunggu," tutur Ara.

Ara lantas meninggalkan Elang yang masih di halte. Berguna tak berguna kue kering dari Elang tetap ia terima. Takutnya jika tak diterima, Elang akan terus memaksanya.

"Lang!" panggil seorang laki-laki ke arah Elang.

Elang menoleh.

"Sialan lo! Dicari kemana-mana nggak taunya disini. Gue mau ambil kue kering gue. Kue kering milik gue yang gue suruh jagain lo waktu gue ke toilet. Mana sini! Itu pesanan pacar gue kemarin. Mana sini kuenya! Gue buru-buru, mau pulang!" tagih laki-laki itu.

"Anu ... Itu ... Anu .... Kue—"

"Ona anu. Mana? Gue buru-buru!"

"Balikin sekarang! Pacar gue udah nunggu kue itu dua hari yang lalu. Sini balikin! Atau ...." tatapan tajam laki-laki itu mengintimidasi Elang.

Bersambung ....

Mau daily update tapi sibuk liburan akhir tahun. Btw Aviola aku pending dulu ya. Sekalian benerin plotnya. Nikmati kisah Ara Rendra Elang aja wkwkw.

Aslinya kisah mereka bertiga ini tergolong klise. Cuma kisah ini tuh ga pernah mati dari pasaran wattpad. Bahkan, nggak cuma di wattpad. Di dunia nyata kisah kayak gini tuh sering aku jumpai.

Tapi ini fiksi yaaa.

Buat temen real life yang baca!!! Tolong jangan sangkut pautkan cerita ini dengan cerita nyata wkwkwk nikmati alurnya aja dan terima endingnya ☺️☺️🥰🙏

Nggak kebayang kalo Ara ga ugal-ugalan. Coba kalo kharakter Ara introvert. Itu hubungan apa kuburan sepi nggak gada yang memulai 🤣
Coba kalo gada Elang. Gak asik. Dunia ini kaku, butuh hiburan kayak Elang.

Komen vote dan jangan lupa follow biar tau aku update kapan!!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top