05

***

"Kok ada tiga puluh tiga?"

"Setan zaman sekarang keren juga, ya?" tanya Rilo. "Udah bisa main internet."

"Gak lucu candaannya," jawab Gita.

Bu Anita yang melihatnya itu langsung memeriksa satu per satu username yang sudah terdaftar di permainan itu. Sebenarnya, Bu Anita tidak menyadari suatu hal yang disadari oleh satu kelas.

"Bu, itu ada yang username-nya Charlie," ucap Sandra mewakili satu kelas.

"Sumpah, sih. Dari tadi candaannya gak lucu banget," ucap Gita.

"Siapa yang pake nama Charlie?" tanya Bu Anita.

Satu kelas saling tatap-tatapan. Tidak ada yang menjawab pertanyaan Bu Anita.

Tiba-tiba, Jason tertawa. "Itu saya, Bu."

Wajah Bu Anita berubahㅡyang sebelumnya ceria, menjadi marah. "Bukannya ibu barusan udah bilang? Jangan ganggu dia meski kita gak bisa liat."

"Bercanda doang, Bu. Jangan dibawa serius," jawab Jason.

"Bukan masalah bercandanya, Son. Tapi, kamu gak tau, kan, akibat dari ini apa? Kamu mau nanggung semuanya?"

"Bu," panggil Marvin. "Soal bercandaan Jason menurut saya tidak terlalu penting."

"Hm? Kenapa, Vin?" tanya Bu Anita.

"Soalnya di layar ada yang namanya Jason juga," jawab Marvin.

Sontak satu kelas merinding dengan ucapan Marvin. Tidak ada yang menyangka bisa terjadi seperti ini. Jason sudah menggunakan nama "Charlie." Tetapi, nama Jason juga terdaftar di permainan.

"Jason, serius nama kamu Charlie?" tanya Bu Anita.

"Iya, Bu."

"Terus ini Jason siapa?"

"Gak tau, Bu..."

"Ini kuisnya kita lanjut atau enggak? Kayaknya kita udah gak bisa lanjutin," ucap Bu Anita.

"Enggak usah, Bu. Kalo yang jawab kuisnya beneran ada tiga puluh tigaㅡhiii!" teriak Gita.

"Nah, iya, Bu. Mencegah hal yang tidak diinginkan," tambah Rena.

"Tapi, saya mau main, Bu!" protes Rilo.

"Kapan-kapan aja, ya?" tanya Bu Anita.

"Iya, Bu," jawab satu kelas.

***

"Pensil siapa, nih?" tanya Arfin. "Udah patah begini malah taro di meja gue."

Jason yang sedang berjalan melewati meja Arfin pun tampak terkejut. "Fin? Ini pensil dari mana?"

"Lah? Mana gue tau. Makanya gue nanya," jawab Arfin.

"Sumpahan, Fin. Gak lucu," kata Jason.

"Apaan, sih, Son? Emangnya ada apa?"

"Itu pensil yang bekas kita main charlie charlie," jawab Jason pelan.

Jantung Arfin berhenti sesaat.

"Rilo, kemaren lu beneran udah buang pensilnya, kan?" tanya Jason.

"Iya. Gue buang semuanya," jawab Rilo.

"Terus kenapa pensilnya masih ada?" tanya Jason.

Seisi kelas yang mendengar pertanyaan Jason pun terdiam. Mata mereka terfokus pada meja Arfin. Pensil itu benar-benar ada di sana. Seakan-akan ada orang yang sengaja mengubrak-abrik tempat sampah dan mengembalikan potongan pensil itu.

"Ayo doain dulu pensilnya. Abis itu dibuang lagi," kata Marvin.

***

"Guys, kita gak mau cari cara biar murid ketiga puluh tiga ini gak ganggu lagi?" tanya Marvin.

"Emangnya kita bisa apa?" tanya Rilo.

"Ya, masalahnya, kan, dia itu gak berwujud. Kalo berwujud mah gampang," jawab Louis.

"Kakak kelas kita yang pake kelas ini aja bilang kalo gak ada apa-apa, kan? Berarti kita udah ngelakuin sebuah kesalahan," kata Marvin.

"Kesalahan apa?" tanya Jason. "Kita baru beberapa hari di sini, lho. Emangnya apa yang kita lakuin?"

"Coba inget-inget, deh. Kita ngapain aja di hari pertama?" tanya Marvin.

"Cuma perkenalan, kan? Abis itu jamkos," jawab Rilo.

"Gangguan pertama kita itu pintu yang kebuka sendiri, kan?" tanya Sandra.

"Soal pintu yang kebuka sendiri, itu udah ada sejak kapan?" tanya Marvin.

"Hari pertama. Setelahㅡ"

"Apa, San?" tanya Marvin.

"Setelah ada yang minta bangku!" seru Sandra. "Gara-gara itu?"

"Gue rasa, mungkin aja gara-gara itu. Mungkin dia marah karena tempatnya diambil orang lain. Tapi, kenapa dia gak ngikut ke kelas lain aja? Bangkunya, kan, dibawa ke sana," ucap Dani.

"Mungkin dia terkurung di sini?" tebak Sandra.

"Bisa jadi," jawab Ashley. "Tempat dia memang di sini. Tapi, kita seakan-akan mengganggu dia. Jadinya, dia ganggu kita."

"Kita gak ganggu apa-apa, loh. Tapi, dia ganggu duluan," kata Rilo. "Yang pas lampu mati sendiri itu."

"Saudara Ashley, sebagai anak indihom, apa solusinya menurut Anda?" tanya Jason ala-ala reporter.

"Kasih tempat duduk buat dia," kata Ashley ragu.

"Mau minta bangku?" usul Marvin.

"Boleh aja, sih. Kalo ada bangku tambahan buat dia, dia bisa ngerasa kalo dia diterima," jawab Ashley.

Sandra memetik jarinya. "Gue udah mulai paham."

"Apaan?" tanya Gita.

"Dari awal dia memang ada di sini. Pintu kebuka sendiri itu gara-gara dia. Sisanya, gara-gara gak ada tempat buat dia. Bangku dan meja di kelas kita udah pas. Dia gak punya tempat duduk lagi," kata Sandra.

"Tapi, yang soal patahan pensil itu, dia udah marah. Mungkin itu peringatan? Lagian dibilangin jangan main yang begituan, masih ngeyel," kata Ashley.

"Ya, maaf," kata Rilo.

"Sebenarnya, dia ganggu kita karena kita sering banget nyinggung dia. Apalagi elo!" Ashley menunjuk Rilo.

"Ya ampun, salah lagi," ucap Rilo.

"Gue sama Louis minta bangku dulu ye," kata Marvin lalu keluar dari kelas diikuti oleh Louis.

***

Sekarang, total bangku di kelas ada tiga puluh tiga. XIA sepakat untuk menerima kehadiran murid ketiga puluh tiga tersebutㅡmembiarkan dia belajar bersama dengan yang lain.

Kelas menjadi lebih damai. Rasanya, aura di sekitar mereka berbeda. Tidak ada rasa mencekam yang biasanya mereka semua rasakan.

Klek!

Seisi kelas terpaku pada pintu kelas yang sekarang terbuka. Tetapi, tidak ada yang masuk setelahnya.

Mereka semua saling tatapㅡbingung dengan situasi saat ini.

Beberapa saat kemudian, Arfin beranjak dari kursinya. Ia hendak menutup pintu itu lagi. Namun, muncul Bu Eliㅡguru IPA merekaㅡdari pintu itu.

"Pagi, XIA!" sapa Bu Eli.

Arfin langsung mengelus dadanya lalu kembali duduk di tempatnya.

"Ibu kenapa lama banget di luar?" tanya Louis.

"Maaf, maaf. Pas ibu buka pintu, ada telepon. Jadi, ibu angkat dulu," jawab Bu Eli.

Satu kelas merasa lega. Ketakutan yang mereka rasakan tadi, menghilang seketika.

"Kita kirain siapa," kata Rilo.

Bu Eli hanya tertawa lalu ia duduk di bangku guru. Ia melihat ke seisi kelas.

"Siapa orang yang gak masuk?" tanya Bu Eli.

"Jason, Bu," jawab Gita.

"Jason? Kenapa dia?" tanya Bu Eli.

"Bolos kali," celetuk Louis.

"Itu yang di belakang, maju aja. Isi bangku punya Jason," kata Bu Eli.

"Hah?" tanya Rilo.

"Itu yang paling belakang," kata Bu Eli. "Duduk di bangku sebelah Arfin aja. Arfin duduk sama Jason, kan?"

"I-iya, Bu," jawab Arfin.

"Iya, maju aja, Nak," kata Bu Eli.

Seisi kelas memerhatikan arah mata Bu Eli. Tetapi, itu hanya bangku kosong. Sekarang, mereka bertukar mata satu sama lain. Mereka semua tidak tahu harus menjelaskan apa kepada guru mereka.

"Dia masih ada," gumam Sandra.

TAMAT.

=================

18-09-2019

Hai! Terima kasih sudah membaca 33rd! Meski cerita ini pendek, tetapi aku terus berusaha membuat thrill di setiap babnya.

33rd ditulis sejak 18 Agustus sampai 18 September. Waw, pas satu bulan. Sumpah, aku gak rencanain ini wkwk. Kebetulan banget.

Fyi, beberapa kejadian di cerita ini itu beneran terjadi. Kayak yang pas main kuis dan main charlie charlie. Cuma didramatisir aja ehe.

Btw, gambar di covernya itu aku foto sendiri pake filter snapchat wkwk. Itu foto dari salah satu sudut sekolahku. Ihiy.

Terima kasih untuk semua pembaca 33rd!
-Ines

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top