04

***

Esoknya, pintu kelas sudah diganti dengan yang baru. Tetapi, tidak ada yang berubah.

Pak Sean langsung menyuruh office boy untuk memasang pintu baru untuk kelas XIA. Sepertinya ia tampak ketakutan karena kejadian hari itu. Sehingga, ia langsung menuruti permintaan murid tanpa pikir panjang.

"Pintunya brand new door banget. Tapi, kenapa tetep sering kebuka sendiri, sih?" tanya Jason.

"Berarti bukan salah pintunya, ya?" tanya Rilo.

"Salah apanya dong?" tanya Jason.

"Salah si Nihil," jawab Louis.

"Louis, udah, lah!" teriak Gita.

"Woi, Bu Anita lagi jalan ke sini!" teriak Dani yang baru saja masuk.

Satu kelas langsung menjadi hectic. Mereka yang sebelumnya berkumpul pun kembali ke tempat duduk mereka masing-masing.

"Eh, Dani, kemaren si Nihil duduk di tempatlu," ucap Rilo.

"Nihil?" tanya Dani.

"Murid ketiga puluh tiga," jawab Rilo.

"Dia duduk di tempat duduk gue? Gimana ceritanya? Tepatnya, emangnya dia exist?" tanya Dani.

"Orang kemaren Pak Sean yang liat," kata Louis.

"Pak Sean?" tanya Dani. "Orang botak bisa dapet superpower, ya? Bisa liat setan."

"Bego, Dani!" teriak Rilo lalu tertawa.

"Setan kok dibercandain?" tanya Ashley.

"Eh, Ashley. Lu anak indihom, kan? Kemaren beneran ada?" tanya Rilo.

"Gue gak liat apa-apa kemarin. Gue kadang-kadang doang bisa liatnya. Gue juga gak bisa atur itu sesuka hati," jawab Ashley.

Setelah itu, Bu Anita masuk ke dalam kelas. Jam pertama memang pelajaran miliknya.

"Selamat pagi semuanya," ucap Bu Anita. "Siapa yang gak masuk?"

"Nihil, Bu," jawab Gita.

"Nihil gak masuk. Tapi, dia pasti tetep ganggu kita lagi, deh," ucap Louis.

"Louis, bisa berhenti nganggep Nihil itu orang gak, sih?" tanya Marvin.

"Lah? Kenapa?" tanya Louis.

"Mungkin dia betah di sini gara-gara lu omongin terus," kata Marvin.

"Udah, udah," lerai Dani. "Masa pertemanan hancur gara-gara setan?"

"Ada apa?" tanya Bu Anita. "Kenapa, Vin, Louis, Dan?"

"Di kelas kita ada murid ketiga puluh tiga, Bu," ucap Sandra.

"Murid ketiga puluh tiga? Apa maksudnya?" tanya Bu Anita.

"Total kita ada tiga puluh dua. Tapi, kita dapet satu murid tambahan," jawab Sandra.

"Siapa?" tanya Bu Anita.

"Nihil, Bu," jawab Rilo.

"Nihil? Kalian bercanda atau gimana, sih? Nihil kan cuma penanda kalo gak ada yang absen," kata Bu Anita. "Kok jadi murid?"

"Sebutannya Nihil, Bu," jelas Rilo. "Habisnya, selain nama kita semua, adanya cuma nama Nihil."

Bu Anita mendecak. "Sebenarnya ada apa? Coba tolong satu orang jelaskan."

Marvin mengangkat tangannya. "Saya jelasin nih, Bu."

"Iya, silahkan, Marvin."

"Sejak hari pertama kita masuk ke kelas XIA, kita udah diganggu." Marvin membuat tanda petik dengan jari tangannya.

"Diganggu?" tanya Bu Anita. "Hari pertama sekolah, kita cuma ngurus administrasi kelas, kan?"

"Iya, Bu. Tapi, pintu kelas sering banget kebuka sendiri di hari itu. Mangkanya, sekarang udah diganti pintu baru," jelas Marvin.

"Dan ternyata kesalahannya bukan di pintunya. Sampai sekarang pun, pintu masih sering kebuka sendiri," tambah Louis.

"Intinya, di kelas ini ada setan, Bu," kata Dani.

"Oh begitu?" tanya Bu Anita. "Yang penting, kalian jangan ganggu dia, ya. Kalo kalian gak ganggu, pasti dia gak bakal ganggu."

"Gak adil dong, Bu. Masa dia bisa ganggu tapi kita enggak?" tanya Louis. "Dia juga bisa liat kita. Tapi, kita gak bisa liat dia."

"Maksud ngeganggunya itu gimana, Bu?" tanya Sandra.

"Jangan lakuin apapun yang bisa jadi manggil setan," kata Bu Anita.

"Rilo tuh, Bu. Dia main charlie charlie," kata Gita.

"Lah? Kan udah selesai," jawab Rilo.

"Tapi, kemarin lu main, kan?" tanya Gita. "Meski sekarang udah enggak, tapi dia tetep kepanggil, lah."

"Gak, tuh. Buktinya dia gak apa-apain kita. Kalo soal pintu kan memang dari dulu," bela Rilo.

"Ya, belom aja, lah. Ntar juga elu yang kena. Kan lu yang panggil."

"Udah, Rilo, Gita," ucap Bu Anita. "Tuh kan. Kalian emang cocok."

"Gak, lah, Bu. Saya mah cocoknya sama Lee Jongsuk," jawab Gita.

"Lee Jongsuk? Kayak dia mau sama lu aja," jawab Rilo.

"Oh, berarti Rilo mau sama Gita?" tanya Jason.

"CIEEE!!!"

"Sudah, sudah," kata Bu Anita. "Jadi, yang kalian maksud itu gimana?"

"Kemaren Rilo main charlie charlie. Pensilnya sempet gerak. Sekarang pensilnya udah dipatahin," ucap Marvin.

"Main sama siapa aja?" tanya Bu Anita.

"Saya main sama Louis, Dani, Jason, Gerry, Arfin," jawab Rilo.

"Kalian kenapa main itu?"

"Ya... iseng, Bu. Jamkos soalnya," jawab Louis.

"Saya udah bilangin jangan main. Tapi, mereka tetep aja," ucap Marvin.

"Iya, Bu! Saya juga udah bilangin jangan main begituan," tambah Gita.

"Ke depannya, gak ada yang main charlie charlie atau permainan lainnya, ya. Temen kamu aja keganggu, apalagi yang tanda petik?" kata Bu Anita.

"Iya, Bu," jawab satu kelas.

"Tapi, awal mulanya itu gara-gara apa?" tanya Bu Anita. "Pasti ada penyebabnya dong?"

"Mungkin dia emang udah ada sejak dulu," jawab Ashley.

"Kalian ada kenalan yang tahun lalu di kelas XIA? Coba tanya mereka," kata Bu Anita.

Tania mengangkat tangannya. "Saya udah sempet nanya, Bu. Katanya, dia gak ada gangguan sama sekali."

"Gara-gara apa, ya?" Bu Anita tampak berpikir. "Kalo makin lama, bisa makin parah. Takutnya, bisa kejadian kesurupan."

Seisi kelas bergidik ngeri.

"Jangan sampe deh, Bu," ucap Gita.

"Bu, mumpung masuk semua, ayo kita foto sekelas," ucap Louis.

"Iya, Bu! Hari ini gak usah belajar aja," ucap Rilo.

"Baru masuk, Bu. Pusing kalo udah belajar. Ayo kita jamkos aja," tambah Jason.

Bu Anita tersenyum. "Ya sudah, ayo."

Seisi kelas berteriak kesenangan. Rena sebagai murid yang satu-satunya memiliki iPhone X itu segera menggunakan ponselnya untuk memotret satu kelas. Ia memasang timer dan menaruh ponselnya di atas salah satu meja.

Setelah mengambil beberapa foto, sebuah suara mengusik mereka.

Klek!

Terlihat Arfin yang baru saja masuk ke kelas.

"Maaf, Bu, saya dari toilet," kata Arfin.

"Buruan, Fin. Kita lagi foto sekelas," ucap Bu Anita.

Arfin langsung mengambil tempat di antara teman-temannya. Foto pun diambil lagi.

Setelah selesai berfoto-foto, Rena melihat-lihat hasil fotonya satu per satu.

"AAAKH!" Rena menjatuhkan ponselnya.

"Ya ampun, Ren! Mentang-mentang orang kaya. iPhone X sampe dibanting begitu," kata Louis.

"Eng-enggak. Itu... liat," kata Rena.

Sandra yang berdiri paling dekat dengan Rena langsung mengambil ponsel milik Rena. Ia melihat tampilan layar Rena. Jantungnya seakan-akan berhenti berdetak sejenak.

Terlihat sebuah telapak tangan pucat di foto itu.

Tangannya berada di bagian kiri fotoㅡmenutupi para murid yang sedang bergaya di belakangnya.

"Ini apa maksudnya?" tanya Sandra pelan.

Ponsel Rena dioper secara bergilir. Semua orang ingin melihatnya. Reaksi mereka berbeda-beda. Ada yang biasa saja, bergidik ngeri, dan langsung pucat.

Saat Bu Anita melihatnya, ia menatap kosong ke foto itu. Kemudian, ia melihat ke arah murid-muridnya.

"Hapus aja fotonya. Gimana?" tanya Bu Anita.

Tanpa pikir panjang, Rena langsung menghapus foto itu. Tidak ada satu pun dari temannya yang menentangnya.

"Tapi, itu bukan tangan salah satu dari kalian, kan?" tanya Bu Anita.

"Ya kali, Ibu. Tangan kita pada mulus begini masa bisa jadi pucet begitu. Mana warnanya abu-abu lagi," jawab Jason.

"Cuma satu foto?" tanya Bu Anita.

"Saya belum cek yang lain, Bu. Gak berani," jawab Rena.

Ashley angkat bicara. "Biar gue yang cek, Ren."

Rena menyerahkan ponselnya ke Ashley.

Ashley memeriksa satu per satu foto yang lain. Tiba-tiba, ia terhenti di satu foto.

"Kenapa, Ley?" tanya Rena.

"Sebelum Arfin balik, kita udah foto berapa kali?" tanya Ashley dengan nada serius.

"Udah, gak usah diterusin. Dihapus aja," jawab Rena.

"Total murid di sini ada tiga puluh dua. Tanpa Arfin," lanjut Ashley.

Seisi kelas merinding.

"Udah dibilangin jangan diterusin," kata Rena.

Beberapa orang melihat foto yang dimaksud oleh Ashley. Memang terlihat ada sebuah murid yang tidak dikenal di sana. Ia berada di antara dua murid lainnya. Kulitnya berwarna abu pucat dan ia tidak memiliki wajah. Rambutnya sebahu. Untungnya, hanya satu foto yang menangkapnya.

Setelah foto itu dihapus, mereka semua kembali ke tempat duduk masing-masing. Banyak dari mereka yang mental breakdown. Raut wajah mereka tampak lesu dan tidak bersemangat.

"Udah, udah. Mending kita main aja, gimana?" tanya Bu Anita.

"Main apa?" tanya Marvin.

"Main kuis di web," jawab Bu Anita.

Beberapa berteriak senang. Namun, yang lain masih tidak bersemangat.

Yang piket hari ini mengurus proyektor. Beberapa saat kemudian, tampilan layar laptop Bu Anita terlihat di papan tulis. Terlihat delapan digit angka di sana.

"Itu pinnya. Masuk ya," ucap Bu Anita.

Seisi kelas sibuk mengetik pin itu di ponselnya masing-masing. Satu per satu masuk ke room untuk bermain bersama. Ada yang menggunakan nama asli maupun nama palsu.

"Ih, siapa tuh yang namanya Cogan?" tanya Gita.

"Gue," jawab Jason.

"Idih, geli," jawab Gita.

"Lu gak nanya nama gue apa?" tanya Rilo.

"Cieeee!" teriak satu kelas.

"Apaan, sih?" tanya Gita kesal.

Bu Anita hanya tersenyum mendengarnya. "Yang juara satu, dapet bakmie Mbak Yul, ya. Dibeliin sama yang juara terakhir."

"Okee!" teriak satu kelas.

"Duh, gue pasti jadi yang terakhir," gumam Rilo.

"Iyalah, kan lu bego," jawab Gita.

"Woi, masalah rumah tangga jangan bawa ke sini," celetuk Louis.

"Cieeee!"

"Tau, ah!" teriak Gita.

Selama mereka meledek Gita dan Rilo, mereka masuk satu per satu ke room itu. Rasa takut mereka seakan-akan hilang.

"Baru dua puluh tujuh orang. Ayo, lima orang lagi masuk," kata Bu Anita.

Setelah beberapa menit, satu kelas pun sudah masuk ke room itu. Saat baru saja ingin dimulai, tangan Bu Anita terhenti.

33 Players

Semua yang menyadari hal itu langsung membeku.

"Kok ada tiga puluh tiga?"

================

02-09-2019

note: kuis di web yang dimaksud itu kahoot. beneran pernah kejadian di kelas ehe.

-ines

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top