Twenty Six Days
***
Tanah berguncang hebat, semua benda di sekelilingku berjatuhan, bahkan aku terguling dari tempat tidur. Kepalaku berdenyut karena terbentur lantai.
Gempa? Apakah sekarang terjadi gempa bumi. Aku harus keluar dari sini, tidak lucu jika harus mati konyol tertimpa rumah yang terbuat dari batang pohon ini.
Dengan susah payah merangkak mencari pintu. Semua gelap, aku kesulitan untuk mencari jalan keluar. Dahiku terasa nyeri saat tak sengaja menabrak benda di hadapanku. Entah pintu atau lemari, aku tidak tahu pasti itu apa. Sampai ... titik cahaya terlihat dari celah ventilasi.
Aku menuju titik terang itu, guncangan pada bumi tidak lagi terasa. Berpegangan pada dinding, perlahan aku berdiri mengintip keluar. Dari celah kaca jendela, netraku melebar menyaksikan yang ada di luar sana.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan negeri Derosville? Semua mendadak gelap. Belum lagi suara mantra-mantra yang kudengar bersahutan di luar sana. Aku tidak tahu bagaimana ini terjadi, yang aku ingat Chaiden menyuruhku tidur dengan Canowly tadi malam.
"Ah, Canowly. Ke mana anak itu?"
Mataku mengedar ke seluruh penjuru ruangan yang berantakan, mencari keberadaan putri semata wayang Chaiden. Namun, nihil tak kudapati anak itu di sini. Bisa-bisanya aku lupa akan anak itu.
"Anelyce! Cepat bersembunyi bersama Canowly."
Suara teriakan Chaiden tak pelak membuatku menoleh pada sumber suara. Dengan napas memburu, pria itu berdiri di ambang pintu samping.
Aku berlari menghampirinya. "Chaiden, Canowly ... Canowly mana?"
Pertanyaanku tak dijawab, ia hanya menarik tanganku. Langkah lebarnya sulit aku imbangi, tidak tahu akan dibawa ke mana, hanya bisa pasrah saja. Otakku masih dipenuhi di mana keberadaan Canowly. Sampai ... kami berada di depan sebuah lemari besar di ruang baca.
Chaiden membuka lemari tersebut, tidak ada yang aneh. Hanya ada beberapa lembar pakaian yang tergantung. Namun, beberapa saat aku dibuat takjub saat Chaiden meraba bagian langit-langit lemari, sisi dindingnya terbuka menampilkan sebuah ruang rahasia dan ada Canowly berdiri di sana.
"Mama ...," panggil Canowly seraya berlari menghampiri.
"Negeri kita sedang diserang oleh bangsa Moriquen. Kalian tetaplah di sini. Jangan keluar sampai aku sendiri yang membuka pintu." Chaiden berpesan pada kami.
Aku mengangguk, meraih tangan kecil Canowly untuk kugenggam. Meski tidak tahu siapa bangsa Mariquen tersebut dan apa yang sebenarnya terjadi. Aku harus menuruti titah Chaiden.
Pintu lemari tertutup, tinggal aku dan Canowly di sini. Aku memutar tubuh, pandanganku mengedar ke setiap penjuru ruangan. Lagi-lagi dibuat takjub dengan keadaan ruang rahasia ini. Ada dua tempat tidur dan beberapa perabotan lainnya, bahkan luasnya dua kali lipat dari kamar Chaiden.
Aku menuntun Canowly ke tempat tidur, duduk di tepi ranjang dengan Canowly di pangkuanku. Kuusap punggung kecil Canowly, aku tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan anak ini sebelum aku datang tadi. Dia pasti ketakutan berada sendirian di sini. Mencari keberadaan mamanya, yang sialnya berada di tubuhku. Belum lagi teka-teki siapa bangsa Mariquen itu memenuhi benak. Beban sekali!
"Mereka bangsa peri kegelapan, Mama. Dahulu, bangsa Mariquen bagian dari Derosville. Kita hidup berdampingan bersama mereka. Mereka peri jahat, Mama."
Aku menunduk, tidak heran jika Canowly tiba-tiba menjelaskan apa yang tidak aku utarakan. Posisi anak ini sedang berada di pelukanku, ia dapat membaca pikiran orang yang memeluknya.
"Lalu? Bagaimana bisa mereka menjadi jahat?"
"Kata ayah, raja peri mereka melanggar aturan dengan menikahi peri kegelapan." Mata kecilnya berkedip menatapku. "Menikah itu saling menyayangi, seperti ayah dan Mama. Kenapa mereka dikutuk?"
Rumit. Aku tidak mengerti siapa raja mereka, siapa peri kegelapan itu. Lebih rumit lagi bahasa apa yang harus aku jelaskan pada Canowly kenapa bangsa tersebut dikutuk hanya karena saling mencintai. Namun, yang bisa aku tangkap dari cerita Canowly adalah ini semua terjadi karena raja peri bangsa mereka melanggar aturan.
"Lalu? Apa hubungannya mereka menyerang negeri Derosville?" Aku bertanya penasaran, tidak mengindahkan pertanyaan anak kecil berusia ratusan tahun ini.
Canowly mendongak kembali, tangan kecilnya merangkum wajahku. Matanya berbinar indah. Cantik sekali anak ini, sungguh.
"Karena kau, Mama. Mereka menginginkan peri air sepertimu. Mama, berjanjilah kau tidak akan mengikuti mereka. Aku tidak ingin kau pergi lagi meninggalkan kami."
Dahiku berkerut. Peri air? Jadi, Anelyce adalah peri air. Lalu, kenapa bangsa itu hanya mengincar Anelyce, bukankah pasti ada peri air selain Anelyce?
"Kau keturunan peri air terakhir, Mama. Saat kau mengandung mutiaraku, ayah dan peri lainnya berharap aku mewarisi peri air darimu. Namun, sayangnya mutiaraku lebih banyak menyerap energi dari ayah."
Sejenak aku lupa jika anak yang sedang dalam pangkuan ini adalah anak kecil. Ucapan dan ceritanya kali ini seperti bukan anak seusianya. Ia mengerti banyak hal. Kecuali soal pernikahan tadi.
"Kamu bilang, aku pergi lagi? Memangnya kapan aku pernah pergi meninggalkan kalian?"
"Kau pernah diculik bangsa Mariquen, tetapi beruntung kau bisa ditemukan lagi. Walaupun ... ingatanmu ada yang menghilang," cicit Canowly isyarat akan kesedihan.
Selama tujuh belas tahun hidup, aku tidak pernah merasa iba hanya karena ucapan anak kecil. Aku biasa hidup sendiri tanpa adik maupun kakak. Tidak pula terlalu menyukai anak kecil, tetapi berada di sini semua berbalik 180 derajat.
Canowly mencengkeram bajuku kuat, tanah kembali bergetar hebat. Wadah lilin di atas nakas jatuh berhamburan. Gadis kecil ini sangat ketakutan. Rasanya aku ingin keluar dari sini, memberi pelajaran pada manusia terkutuk yang telah membuat anak sekecil Canowly ketakutan.
Namun, sayangnya mereka bukanlah manusia. Mereka peri, tentu berbeda dengan dunia tempat aku hidup dan dilahirkan.
Dentuman keras di pintu terdengar memekakkan telinga. Canowly membekap mulutnya sendiri, pelukan kueratkan pada tubuhnya yang bergetar. Kami bersembunyi di bawah tempat tidur dengan saling memeluk, tidak tahu siapa yang berada di luar sana, tetapi bisa kupastikan itu bukanlah Chaiden. Pintu didobrak secara paksa, kali ini bukan hanya Canowly, tubuhku pun turut lemas ketakutan.
Refleks aku memejamkan mata saat pintu itu berdentum dua kali lebih keras. Perlahan aku membuka mata, sosok dengan tubuh hampir sama besarnya dengan Riooze menerjang masuk. Kukatupkan mulutku kuat-kuat agar tidak ketahuan keberadaan kami. Namun, isak kecil dari bibir mungil itu menggagalkan persembunyian kami. Canowly tidak bisa lagi untuk tidak menahan tangisnya.
"Mama!" jeritnya saat ranjang tempat kami bersembunyi melayang.
Kini, mata tajam itu semakin mengerikan saat bersirobok dengan netraku. Senyum miring itu tercetak jelas, seperti ingin mencabik hingga bagian perut dalamku.
Lagi-lagi aku menutup mata dan telinga saat dinding kayu ruang rahasia ini runtuh. Setelah membuka mata mengedarkan pandangan, tempat ini tidak bisa lagi disebut ruang rahasia. Sebagian dindingnya sudah terbuka lebar hingga makhluk-makhluk di luar sana bisa menyaksikan kami yang terpojok tidak ada jalan lari.
"Tidak cukupkah bangsamu dikutuk hanya karena kesalahan dari cinta butamu?" Suara itu bergema diiringi dengan munculnya Paman Gandalf di sana.
Makhluk besar itu membalik badannya menghadap Paman Gandalf. Aku tidak bisa melihat Paman Gandalf karena dihalangi tubuh besar makhluk yang tidak kutahu jenis apa. Namun, aku bisa melihat tongkat Paman Gandalf terangkat tinggi melebihi tinggi makhluk itu dan sesuatu muncul di hadapanku.
Sebuah tongkat sihir? Benar ini tongkat sihir seperti yang ada di film sihir yang pernah kutonton. Jika tongkat sihir akan berfungsi menggunakan mantra, lalu bagaimana denganku? Percuma saja tongkat ini berada di hadapanku. Mantra apa yang harus aku ucapkan, aku tidak tahu.
"Berikan mutiara suci itu!" teriak makhluk jahat itu mengarahkan tongkatnya ke arahku.
"Anelyce!"
"Canowly!"
Tanjung Enim, 12 Mei 2022
RinBee 🐝
Kapan terkakhir cerita ini update?
Wkwkwk... Semoga masih ada penghuninya ya. 💙💙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top