Twenty Seven Days

💙💙💙

"Aku tahu kau pasti bingung. Seperti yang kau lihat, Eruzia memiliki kelebihan yang berbeda dari segala tempat yang ada di Derosville. Termasuk ... aku."

"Jadi, kelebihan yang kamu miliki, bisa mengetahui aku bukan berasal dari sini?"

Riooze mengangguk. Akhirnya, setelah melawan rasa takutku pada sosok ini, aku memberanikan diri duduk bersebelahan dengannya, bahkan aku saja tidak tahu sejenis apa Riooze ini.

Jika Riooze tahu tempat asalku, itu berarti ia juga tahu kalau aku bukanlah Anelyce seperti yang dilihat Chaiden dan Canowly. Melalui Riooze, aku harus mencari cara agar bisa kembali ke duniaku segera mungkin. Persetan dengan misi tiga puluh hari itu.

Aku melirik Riooze, kukunya yang tajam dan panjang melukis di atas salju yang bersih.

"Dunia kita sebenarnya terhubung, banyak dari kami menembus ke dunia kalian. Hanya saja ... kalian terlalu sibuk untuk menyadari keberadaan kami."

"Maksudmu, kalian para peri juga pernah masuk ke dunia kami? Dunia manusia?"

Lagi-lagi Riooze mengangguk, netranya menelisik gambar yang ia buat. Awalnya aku tidak begitu paham ia melukis apa, tetapi saat kuperhatikan dengan saksama, aku terbelalak. Ia sedang melukis taman yang sangat aku kenali.  Seperti ... taman yang ada di samping rumahku. Tidak salah lagi. Apakah Riooze pernah mendatangi rumahku?

"Katakan padaku, Riooze. Bagaimana cara kalian bisa ke dunia manusia? Aku harus pulang, Riooze. Ibu dan ayahku pasti mencemaskanku."

Ia berdiri lalu berbalik membelakangiku. Sigap aku pun turut berdiri di hadapannya, Riooze adalah kunci agar aku bisa meninggalkan tempat ini. Aku harus pulang segera.

"Tahun baru bunga," ungkapnya.

Ia menurunkan netra kebiruan miliknya, menatap lekat ke wajahku. "Saat tahun baru bunga itu datang, para peri dan penduduk Derosville diizinkan pergi ke dimensi mana pun yang kami inginkan. Termasuk dunia asalmu."

"Kapan tahun baru itu datang? Katakan padaku, Riooze!" Aku tidak sabaran mencari informasi darinya.

"27 hari ke depan!"

Aku berdecak kencang, tidak peduli jika makhluk ini menjadi tersinggung atau apalah. Apa katanya? 27 hari ke depan itu sama saja dengan sisa waktu misiku. Inti dari obrolan ini adalah ... aku belum bisa pulang sekarang. Sudahlah, aku tidak ingin membahasnya lagi.

"Riooze, kau tahu aku bukan Anelyce. Beritahu aku seperti apa rupanya? Apakah dia cantik?"

Riooze menghentakkan kaki besarnya, tanah sedikit bergetar. Melalui getaran itu, tiba-tiba salju yang ia pinjak menjadi cair.

"Bercerminlah," titahnya menunjuk ke genangan air.

Aku mengikuti anjurannya, menatap wajah Anelyce pada air bening itu. Aku terkejut bukan main, secara garis besar wajah Anelyce persis seperti diriku jika didandani dengan make up ala Tinkerbell, dengan rambut bergelombang yang dicat oranye. Pantas saja jika Canowly tidak menyadari aku bukan ibunya.

"Wajah kalian sama. Namun, jiwa kalian berbeda. Hanya aku yang bisa melihat jiwamu."

"Lalu ... jika jiwaku ada di tubuh Anelyce. Bagaimana dengan jiwa Anelyce? Apakah jiwanya masuk ke tubuhku?"

Ini gila, sebenarnya lebih ke tidak masuk akal. Jika jiwa kami benar-benar tertukar, aku pikir ini seperti drama Korea yang menjadi tontonan favorit teman sekolahku. Drama yang sempat aku cibir karena tidak mungkin hal itu terjadi pada dunia nyata.

"Jiwa Anelyce disembunyikan untuk beberapa saat, sihir yang pernah menyerangnya benar-benar harus dibersihkan."

Aku memutar tubuhku menghadapnya, sebenarnya ini aneh. Dari beberapa saat yang lalu, kami mengobrol dengan duduk di atas hamparan salju. Namun, tidak merasakan dingin sedikit pun. Seperti duduk di atas pasir pantai saja. Ah, sudahlah. Dari awal aku terjebak ke dunia ini saja memang sudah aneh.

"Lalu ... bagaimana dengan tubuhku? Apakah tidak akan terjadi apa-apa jika ditinggalkan oleh jiwaku selama tiga puluh hari?"

Tubuh Riooze bergerak, bulu-bulu panjang yang menutupi tubuhnya ikut bergoyang. Tangannya yang besar mengusap tanduk di kepalanya. Aku masih memperhatikannya, apa yang akan ia lakukan.

"Dunia kita memiliki perhitungan waktu yang berbeda. Tidak ada yang tahu cara hitung perbedaan itu. Bisa saja, seratus tahun kau berada di sini, tetapi satu hari kau berada di sana."

Aku mengerutkan dahi, jika tiga puluh hari aku di sini. Bisa saja tubuhku tanpa jiwa di sana hanya tiga puluh menit atau tiga menit. Aku menarik napas lega, setidaknya tubuhku baik-baik saja. Anggap saja aku sedang tidur siang.

"Riooze—"

"Mama ...."

Ucapanku terpotong oleh seruan Canowly di ujung sana. Sepeninggalan Chaiden memberi waktu untuk kami berbincang, aku melupakan keberadaan anak dan ayah itu sejenak. Mereka masih asyik bermain seluncur, tangan kecil Canowly melambai mengajakku bergabung bersamanya.

Aku mengangkat tanganku, membalas lambaian anak itu. Tawanya lepas saat bola salju yang dilempar ayahnya tak mengenai sasaran. Langkahku bergerak menuju tempat keberadaan Canowly dan Chaiden.

"Paman Riooze, ayo kemari ...."

Anak itu berseru memanggil Riooze, sejurus kemudian aku menoleh saat dirasa di belakangku ada sesuatu yang memburu. Tubuhku terangkat dan didudukkan Riooze ke tengkuknya. Ia berlari ke kencang, aku mengeratkan pegangan. Ini luar biasa, adrenalinku terpacu kencang melebihi saat aku flying fox untuk pertama kalinya.

"Mama, apakah naik ke punggung Paman Riooze menyenangkan?" tanya Canowly saat kami sudah sampai di hadapannya.

Riooze menurunkan tubuhku, belum juga detak jantungku stabil, kini harus berpacu dua kali lipat lagi hanya karena ulah Chaiden tiba-tiba memelukku karena ingin melindungiku dari lemparan bola salju dari Canowly. Embusan napasnya terasa ringan menerpa wajahku. Aku mendongak, rahangnya yang tegas menjadi pemandangan pertama yang netraku tangkap.

"Mama ... ayo main, tangkap aku jika kau bisa!" Canowly berlari meledek, anak itu benar-benar membuatku gemas.

Aku meraih salju di sekitar kakiku, mengepalnya hingga membentuk sebesar bola kasti. Canowly semakin riang dan meledek saat lemparanku meleset. Aku tidak segila itu membidik dengan sengaja agar mengenainya, sengaja kulempar agar tidak mengenainya.

"Mama, awas ... ayah ingin melemparmu!"

Anak kecil itu memperingatkanku, sontak menoleh ke arah Chaiden mamastikan yang Canowly katakan. Chaiden hanya berdiri memperhatikan, tanpa ada pergerakan lain. Sial! Lagi-lagi ditipu, anak itu sengaja mengelabuiku agar bisa melempariku lagi dengan bola salju.

Kepalang tanggung, kenapa tidak kuajak saja Chaiden dalam permainan ini. Aku membentuk bola salju kecil, kemudian melemparnya ke arah Chaiden.

Namun, secepat kilat Chaiden sudah menghilang dari posisinya, bola salju yang kulempar tidak mengenainya. Mataku mengerjap beberapa saat sebelum kemudian tubuhku terasa terbang dan muncul di dekat Canowly.

"Ayah curang! Ayah tidak boleh menggunakan kekuatan ayah!" seru Canowly.

Aku baru sadar, jika yang terjadi padaku tadi karena Chaiden menggunakan kekuatannya untuk berpindah tempat. Canowly merengut tidak terima dengan apa yang dilakukan ayahnya.

"Lihatlah anakmu merajuk, wajahnya sungguh menggemaskan," bisik Chaiden tepat di telinga kananku. Membuatku meremang seketika.

Canowly berjalan ke arah kami, Chaiden benar wajah merajuk anak itu sangat lucu, belum lagi  dengan kaki yang sengaja dihentak-hentakan di atas salju.

"Ayah menyingkir, aku ingin dipeluk mama." Canowly berujar di hadapan kami.

"Tidak. Mama milik ayah, kau minta dipeluk Paman Riooze saja," goda Chaiden pada anak perempuannya.

"Ayah ...," rengeknya.

Wajah Canowly memerah, tangannya terkepal. Bibirnya yang mungil maju beberapa senti. Ia maju beberapa langkah, tetapi Chaiden justru menarik pinggangku dan bergerak mundur sedikit menjauh. Jantungku benar-benar bekerja dua kali untuk hari ini. Bagaimana tidak, sejak tadi Chaiden memelukku, bahkan sekarang lebih erat. Hanya karena ingin membuat Canowly cemburu.

"Ch-Chaiden, bisa kamu lepaskan pelukkannya? Berhenti menggoda anakmu. Kasihan Canowly."

Jujur saja aku gugup, katakanlah aku tidak tahu diri. Tidak seharusnya aku merasa tersipu hanya karena dipeluk oleh Chaiden. Sadar, Anara! Chaiden begitu karena yang ada di matanya adalah sosok istrinya, bukan kamu.

Tidak! Aku tidak boleh terbuai dengan apa yang ada di sini. Aku harus ingat, tempatku bukan di sini, aku harus kembali.

Tanjung Enim, 03 Februari 2022

Aku sedang mencoba melanjutkan cerita fantasi ini. Menurut kalian gimana? Apakah cerita ini aneh?

25062023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top