Twenty Nine Days
💙💙💙
Ini gila, benar-benar membuatku bingung. Aku tidak tahu bagaimana tiba-tiba bisa masuk ke tempat ini, seingatku terakhir berada di balkon kamar setelah keinginan berlibur ke Alaska ditolak orang tuaku.
Entah akan berapa lama aku terjebak di dunia yang bahkan tidak tahu apa namanya. Negeri dongeng? Dunia liliput? Dimensi alam gaib? Terlalu bingung untuk sebutan tempat ini.
Aku menggelengkan kepala, sekilas kulihat kakek tua itu duduk santai memperhatikanku. Sesaat tadi ia memberi tahuku tentang misi yang harus kujalani. Tentu saja aku menolak untuk menjalankan tugas yang menurutku konyol. Aku tidak tahu sedang berada di mana, kenapa tiba-tiba diberi misi yang tidak tahu kejelasannya untuk apa. Ia tidak memberi petunjuk lain.
Namun, aku terlonjak saat tiba-tiba telapak tanganku secara otomatis terangkat, sebuah gulungan dari kulit kayu berwarna agak oranye muncul di genggamanku. Aku mendongak ke tempat sang kakek berada, seperti dugaanku ini ulah dari kakek tua itu dan tongkat di tangannya.
"Bukalah," katanya memberi perintah.
Aku membuka perlahan gulungan itu, bersamaan dengan setengah dari gulungan yang terbuka, cahaya jingga keluar dari sana melingkari pergelangan hingga lenganku.
"Wah, aku punya tato!" Aku berseru takjub saat kedua lenganku sudah terlukis gambar kupu-kupu dan bintang yang dihasilkan dari cahaya itu.
"Kamu harus menjalankan misimu selama tiga puluh hari jika ingin kembali," kata kakek yang masih belum beranjak duduk santai di ujung dahan.
"Apa yang harus aku lakukan?"
"Ikuti segala petunjuk yang ada di sana," tunjuknya lagi-lagi pada kertas yang ada di genggamanku.
Gulungan sudah kubuka seluruhnya. Aku pernah belajar huruf kanji, hangul dan akson Thai. Aku belum pernah melihat dan mempelajari tulisan ini sebelumnya, tetapi secara ajaib aku bisa membacanya dengan jelas apa yang tersurat di sini.
Aku sangat tidak suka membaca, itu sebabnya tak kubaca hingga habis, inti misi yang tertulis di sana aku harus menyakinkan dan mengakui Chaiden suamiku, anak kecil yang memanggilku mama adalah putriku, ini akan berlangsung selama tiga puluh hari. Setelahnya, baru bisa kembali seiring dengan berkurangnya tato yang ada di tanganku.
Baiklah, aku harus memerankan tokoh seorang ibu beranak satu dan suami berambut merah. Itu saja, kan? Anggap saja ini latihanku berperan di atas pentas seni kelas dua belas nanti.
"Mama!"
Aku menoleh saat suara anak kecil itu memanggil lagi, ia merentangkan tangan menyambutku. Senyumnya merekah, ia berhamburan ingin memelukku. Namun, ia urungkan karena terinterupsi oleh suara lain.
"Ternyata kau sudah siap menjalankan tugasmu, Anelyce," ujar suara itu.
Aku mengalihkan atensi pada sosok di sampingku, pria yang tidak pernah aku lihat di dunia sebelumnya. Matanya bulat dengan warna yang sama seperti anak ini, tetapi rambutnya berwarna merah menyala, kulitnya putih pucat dan tingginya sekitar ... tujuh puluh senti?
Aku tertawa geli dalam hati, bagaimana bisa ada pria normal yang tingginya kurang dari seratus senti, bahkan ukuran tingginya sudah paling tinggi di sini.
"Mama," panggil si anak kecil lagi.
Aku merentangkan tangan ingin memeluknya. "Chaiden anakku. Mama sangat menyayangimu," ujarku penuh semangat mendalami aktingku.
"Akh!" Aku terpekik dan mundur beberapa langkah.
Saat menyentuh tubuh anak itu, seperti ada aliran listrik yang menyengat. Dia anakku atau belut listrik, sih?
"Mama berbohong," ungkapnya.
Aku mengerjapkan mataku, dari mana ia tahu jika aku sedang berakting. Apakah ia punya kekuatan bisa membaca pikiran orang lain?
"Namanya Canowly, Anelyce. Chaiden itu aku."
Aku menelan ludah susah payah. Bodoh! Kamu bodoh, Anara. Bagaimana bisa kamu lupa dengan apa yang baru saja kamu baca. Ingat, anak ini Canowly dan pria itu Chaiden.
"Maafkan aku. Hmm ... apakah tubuh Canowly selalu mengeluarkan sengatan listrik?"
Chaiden menggeleng, senyum tipisnya terlukis. Oh, Tuhan sejenis apa makhluk ini, kenapa hanya tersenyum tipis saja wajahnya sangat memesona. Apakah ia titisan dewa?
"Kau benar-benar belum sepenuhnya pulih, Anelyce. Sihir dari bangsa Hilldas masih tersisa di tubuhmu."
"Sihir?" Aku bertanya bingung.
"Iya, beberapa waktu lalu kau terkena sihir bangsa Hilldas saat mereka menyerang negeri Derosville. Itu sebabnya kau sering kali melupakan kami," jelasnya lirih.
"Lalu, apa yang terjadi pada Anelyce? Hmm ... maksudku apa saja yang berubah dariku setelahnya." Aku mencoba mencari informasi seperti apa Anelyce sebelumnya.
"Kau terkadang melupakan kenangan kita, tentang kami. Kau kerapkali melupakan Canowly itu adalah putri kita, aku takut itu akan semakin melukai Canowly," ujarnya dengan wajah penuh kesedihan.
Aku masih mematung mendengarkan ceritanya, andai saja orang tuaku seperti pria ini yang mencemaskan perasaan putrinya. Aku mengembuskan napas kasar, orang tuaku tetaplah orang tuaku dengan segala aturan yang mereka buat tanpa memedulikan apa yang sedang anaknya alami.
Aku berbalik menatap kembali anak perempuan itu, kurentangkan lengan agar ia masuk ke pelukan. Menggemaskan sekali rasanya jika aku menikah muda, lalu memiliki anak.
Astaga, Anara! Apa yang kamu pikirkan. Oke, baiklah. Setidaknya aku harus bisa menyayangi anak ini sebagai adikku. Ya, anggap saja mami dan papi memberiku adik sebagai hadiah ulang tahun selama tiga puluh hari.
"Mami dan papi itu apa, Mama?" tanya Canowly tiba-tiba.
Aku menunduk menatap Canowly dalam pelukanku, dia mendengar isi kepalaku? Bagaimana dia tahu kalau aku sedang memikirkan mami dan papi.
Aku berdeham mengusir canggung, mencari penjelasan yang tepat agar bisa dimengerti sesuai bahasa di negeri ini.
"Mami dan papi itu adalah sebutan untuk orang tua. Apa kamu pernah mendengar seseorang menyebut itu?" tanyaku menyelidiki.
"Aku mendengar Mama menyebutkannya."
Aku menggaruk dahi, masih bingung bagaimana Canowly tahu isi kepalaku.
"Kamu bisa membaca pikiran?" Aku bertanya dengan rasa penasaran yang menggebu.
"Aku bisa mendengar perkataan di kepala peri lain, Mama. Cukup dengan cara seperti ini." Canowly menjelaskan seraya menempelkan telinganya di dadaku.
Luar biasa! Negeri macam apa sebenarnya ini. Anak kecil, bahkan jika diukur di duniaku dia masih berusia empat atau lima tahun, tetapi sudah mempunyai kemampuan sehebat ini. Aku benar-benar takjub.
Aku memeluknya lagi, lebih erat dan mengusap punggungnya yang terasa sangat sempit. Lama kami saling memeluk. Sepertinya aneh, ada sesuatu yang terlupakan. Apa, ya? Aku mencoba mengingat kembali.
Ya, belut listrik! Ah, maksudku sengatan listrik pada tubuh Canowly. Kenapa ini tidak bekerja seperti beberapa saat tadi?
"Canowly, hmm ... kenapa tubuhmu tidak mengeluarkan listrik?" Aku menggigit bibir dalam, ia mengerti maksud ucapanku, 'kan?
Tangan kecil itu melingkar lebih erat di pinggangku. "Itu akan bekerja jika ada perlakuan yang tidak tulus, Mama. Jika kau tulus melakukannya mantranya tidak bekerja."
Aku mengerjap beberapa kali. Seperti mainan pendeteksi kebohongan yang dimainkan artis Korea? Atau ... mantra jatuh yang diucapkan Kagome pada Inuyasha.
"Siapa Kagome dan Inuyasha itu, Mama? Korea itu apa?"
Astaga! Hidupku akan sangat sulit rasanya. Anara, berhenti memikirkan sesuatu jika anak ini sedang memelukmu. Aku benar-benar seperti seorang ibu yang harus menjelaskan setiap pertanyaan dari sang buah hati.
Tunggu dulu ... di kertas misi tertulis jika aku harus menyakinkan dan mengakui Canowly anakku. Bukankah tanpa harus aku yakinkan anak ini sudah mengakui aku ibunya? Itu berarti misi ini tidaklah sulit jika kupikir-pikir. Cukup aku pura-pura menjadi ibunya saja, menghitung setiap tato yang hilang lalu ... aku bisa kembali.
Tanjung Enim, 07 Januari 2022
Yeeey .... sudah update lagi. Kira-kira gimana ya 30 hari ke depan Anara beradaptasi dengan dunia yang asing baginya.
Salam Sayang
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top