Twenty Four Days
***
"Mama ...."
Sejujurnya aku muak sekali dengan panggilan itu, Canowly terus saja mengikutiku. Oh, Tuhan tolonglah, aku hanya ingin tenang tanpa ada siapa pun termasuk anak ini.
Aku akui tempat ini memang indah, bahkan mungkin lebih bagus dari Indonesia atau mungkin Alaska sekalipun, tapi tetap saja ini bukan tempatku, bukan duniaku.
Niat hati ke danau ini untuk merenung, mencari cara agar aku bisa kembali ke tempat semana mestinya, tapi makhluk telinga panjang dan lancip itu terus saja mengikutiku. Rasanya ingin aku dorong tubuh kecilnya ke tengah sungai ini, muak sekali.
"Aku ulang tahun ke tujuh belas, Papi kasih hadiah buku dongeng, terus hujan petir. Buka mata aku di—"
"Mama ... lihat ini, aku menemukan bunga—"
"Bisa diam tidak! Aku bukan mamamu! Sana kamu cari Anelyce yang asli. Aku masih berusia tujuh belas tahun, namaku Michelle Anara!"
Canowly terkejut dengan murka yang aku keluarkan, bunga cantik berwarna ungu muda itu jatuh dari tangannya. Aku mencoba mengingat dan mengurutkan kejadian hingga aku bisa sampai ke sini, anak itu malah membuyarkannya. Bagaimana aku tidak meradang kesal.
"Ingat, kau bisa kembali ke duniamu jika Chaiden dan Canowly mengakui kau sebagai Anelyce."
Aku menggeleng kuat, teringat ucapan Paman Gandalf. Sial! Bagaimana jika nanti Canowly tidak mau mengakuiku mamanya, bagaimana jika nanti anak ini mengadu pada ayahnya dan Chaiden akan tahu kalau aku bukan Anelyce, tapi Anara seperti yang aku ucapkan tadi pada Canowly. Akibatnya, aku akan selamanya terjebak di sini.
Tidak ... tidak! Aku tidak mau tinggal di sini selamanya. Aku harus kembali, bagaimana aku kesal dengan Mami, tapi tetap saja aku putri mereka. Mami dan Papi pasti akan bingung mencariku, bisa saja sekarang mereka sudah lapor polisi.
"Canowly, a-aku tidak bermaksud. Ah, maaf, maksudnya mama tidak bermaksud membentakmu. K-kamu tidak marah, kan, dengan mama?"
Bukannya menjawab, anak itu justru menunjukkan ke arah belakangku. Aku langsung menoleh, jujur saja kejadian diserang bangsa Marquen waktu itu membuatku masih sedikit trauma. Terlebih di sini hanya ada kami berdua, tidak ada Chaiden yang akan melindungi kami.
Canowly sudah berlari ke arah yang ia tunjuk, di ujung sana sebuah pohon besar sedang bergerak tumbuh. Bunganya mirip Bung Tulip, tapi berwarna peach? Aku tidak yakin dengan warnanya karena baru pertama kali kulihat ragam warna seperti itu. Pun dengan ukuran batangnya, sangat besar seperti pohon beringin.
"Mama, ini bunga keabadian. Aku pernah mendengar cerita tentang bunga ini dari ayah," katanya dengan mendongak ke arah bunga kuncup yang mulai bermekaran, "ayah pernah bilang, jika kita bisa menyaksikan bunga ini muncul itu artinya kita beruntung dan berhak menyimpan mutiaranya."
Aku tidak mengerti sejarah bunga ini sebelumnya, tapi yang kutangkap dari penjelasan Canowly ini bunga keabadian dan yang bisa menyaksikan bunga ini muncul termasuk orang yang beruntung.
Tunggu dulu ... orang? Aku pun tidak yakin tubuhku masih bisa dalam kategori orang, termasuk makhluk-makhluk di sekitarku ini.
"Mama ... mutiaranya muncul, mutiara muncul, mama. Aku sudah lama menantikannya."
Aku menoleh pada si makhluk kecil bertelinga lancip itu. Tubuh kecilnya melompat-lompat kegirangan, kedua tangannya terulur menyambut akar pohon yang menjuntai ke arahnya. Aku mengerjap beberapa kali, kelopak bunga yang besar itu benar-benar mengeluarkan batu yang sangat indah.
Canowly mengangsurkan benda itu padaku, matanya tak kalah memancarkan binar keindahan juga.
"Untukku? Kenapa?"
Aku bertanya demikian karena aneh saja, bukankah dia sudah lama menantikan benda ini. Katanya, mutiara ini langka, kenapa dia memberikannya padaku yang jelas-jelas tidak tahu apa kegunaan dan istimewanya benda itu.
"Aku pernah berjanji pada mama, kalau nanti menemukan Bunga Arzeloig mekar, akan kuberikan pada mama sebagai hadiah."
Oh, ini tentang janjimu pada Anelyce, tapi omong-omong aku bukan ibumu, Canowly. Sayangnya kamu tidak bisa mendengar isi kepalaku karena tidak sedang berpelukan denganmu. Aku tersenyum penuh arti, merasa menang.
"Ah, begitu rupanya. Terima kasih banyak, Canowly."
Aku menerima mutiara Bunga Arze ... Arsezloig? Bunga apa tadi? Ah, pokoknya bunga itulah. Susah sekali menyebutkannya.
Tanganku ditarik secara tiba-tiba oleh Canowly, dia mengajakku menaiki akar panjang yang terjuntai dari pohon keabadian. Aku dan Canowly berteriak kencang saat akar mohon mengangkat tubuh kami, berputar di udara kemudian naik dan turun dengan kecepatan tinggi. Ini persis seperti rollercoaster yang pernah aku naiki saat berlibur ke Disneyland bersama kedua orang tuaku.
Aku terdiam sejenak, tak peduli jika kecepatan sudah mulai berkurang. Aku rindu Mami dan Papi, mereka sedang apa sekarang? Apakah mereka menyadari jika aku hilang di kamarku.
"Mama ... apakah kamu tidak menyukainya? M-maafkan aku karena membuatmu takut."
Tubuh kami sudah diturunkan dari akar pohon, aku menurunkan pandangan ke posisi Canowly yang berdiri di depanku. Tangan kerdil itu meraih telapak tanganku dan memeluk pinggangku.
"Apa itu mami dan papi?"
"Mami dan papi itu sebutan lain untuk orang tua kita. Seperti kamu, memanggil ibumu dengan sebutan mama."
"Ibuku adalah kau, Mama."
Ibumu adalah Anelyce, Canowly. Aku Michelle Anara.
"Siapa lagi Michelle Anara?"
Aku melepaskan dekapan Canowly. Sial! Lagi-lagi aku lupa kalau kelebihan Canowly bisa mendengar isi kepala makhluk yang sedang ia peluk.
"Canowly, kamu tidak ingat siapa Michelle Anara? Tadi ... nama itu sempat kusebut saat aku marah-marah padamu."
Canowly menggeleng, ia masih tidak paham. Padahal saat aku sendirian di sini tadi, aku marah-marah karena dia yang tiba-tiba datang dengan panggilan yang biasa dia panggil untuk ibunya.
"Mama marah? Aku tidak melihat dan mendengarnya. Kapan?"
Tunggu dulu ... Canowly tidak tahu kalau aku tadi sedang emosi, bahkan dia tidak mendengar kemarahanku. Atau jangan-jangan selama ini aku murka saat dipanggil mama pun, dia tidak tahu jika aku sedang marah. Pantas saja selama ini, dia bersikap biasa saja saat aku menolak dipanggil mama.
"Sudahlah! Bukan apa-apa. Michelle Anara itu nama yang akan aku beri untuk kelinci peliharaan kita."
"Aku mau pelihara kelinci, Mama. Aku mau ...."
Canowly melompat-lompat kegirangan, aku pikir di tempat ini tidak ada kelinci. Mungkin ada, tapi berbeda penyebutannya. Ternyata, di sini juga sama saja.
Aku meraih tangan Canowly, waktunya pulang. "Baiklah, ayo kita pelihara kelinci yang banyak. Kamu mau pelihara warna apa?"
"Jingga," katanya, sontak membuatku tertawa kencang.
Dari mana kucari kelinci berwarna jingga. Setahuku kelinci berwarna putih, hitam, cokelat, keabuan atau berwarna tiga warna. Mana ada jingga, kecuali diberi pewarna pada bulunya.
"Mama, apakah ayah akan mengizinkan? Aku pernah meminta pada ayah, tapi ayah bilang tidak boleh. Mama juga tidak mengizinkan waktu itu."
Aku pikir hanya di duniaku saja ada larangan dari orang tua. Keinginanku liburan ke Alaska seorang diri tidak diberi izin oleh Mami dan Papi. Ternyata, ada peri yang hidupnya sangat membosankan. Hanya untuk pelihara seekor kelinci saja harus ditentang oleh kedua orang tuanya. Miris sekali hidupmu, Nak?
Nak? Aku menyebutnya dengan sebutan anak? Oh, Tuhan mendalami peran sekali aku ini.
Tanjung Enim, 5 Desember 2023
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top