Twenty Eight Days
Tetesan air yang jatuh dari ujung daun, petrikor yang menyeruak menyapa penciuman membuatku betah menatap hujan dari balik jendela. Aku pikir di negeri ini tidak akan ada yang namanya hujan dan petir, tetapi kilatan dari atas sana menjawab pertanyaanku.
Jika petir bisa membuatku terlempar ke sini, apakah ia juga akan mengembalikanku ke tempat semula? Seketika itu melintas di pikiranku.
Aku bangkit membuka lebar jendela, mendongak ke atas langit. Tunggu ... langit? Kenapa tidak ada langit di sini? Lalu air hujan ini dari mana asalnya. Jika diamati aku seperti terjebak di tempat kecil yang mungkin keberadaanku tidak jauh dari dunia asalku. Seperti katak yang terjebak di dalam tempurung?
Ah, masa bodoh dengan langit, yang harus aku lakukan adalah mengutuk hujan hingga petir marah dan menyambarku. Aku tidak peduli akan itu, pokoknya aku harus kembali ke dunia semestinya aku berada.
"Hei, hujan bodoh. Kembalikan ke tempat asal! Tempatku bukan di sini!"
Aku menutup mata. Hening, tidak ada petir, angin kencang atau sejenisnya. Justru suara hujan yang semakin deras terdengar.
"Kau sedang apa, Anelyce? Canowly mencarimu."
Aku mengembuskan napas, pria ini lagi ... anak itu lagi. Sampai kapan aku terjebak di sini, berurusan dengan mereka. Usahaku terus saja gagal untuk melarikan diri. Baiklah, aku harus kembali berakting. Aku berbalik, duduk menghadap jendela.
"Tidak ada. Aku hanya menikmati hujan," balasku pada Chaiden.
Chaiden melangkah ke arahku, duduk di pinggiran bingkai jendela di sebelah. Tatapannya ia lemparkan pada tanah rerumputan luas di luar sana. Aku tidak lagi menikmati tetesan hujan, tetapi ada yang lebih menarik untuk aku amati, yaitu wajah tegas Chaiden dari samping. Sungguh ia benar-benar seperti titisan dewa, aku semakin penasaran secantik apa Anelyce.
Aku tersenyum samar, mengamati wajah Anelyce dari pantulan kaca jendela. Mata, hidung, bibir, semua persis seperti aku. Mereka saja mengira aku adalah Anelyce tanpa merasa ada yang beda, selain ingatan yang katanya hilang. Bukankah itu berarti aku secantik Anelyce?
Ah, tidak! Anelyce yang secantik aku, enak saja! Pokoknya makhluk itu yang mirip dengan kecantikanku.
"Chaiden, apakah aku cantik?"
Chaiden menoleh, binar dari hijau matanya sungguh indah. Ia tersenyum, mengulurkan tangannya ke puncak kepalaku. Oh, astaga. Semoga saja pria ini tidak memiliki kekuatan mendengar detak jantung. Sungguh sangat memalukan jika ia tahu di balik dadaku bergemuruh hebat.
"Kau selalu cantik, Anelyce. Aku beruntung memilikimu," ujarnya mengusap wajahku.
Aku menepis tangan Chaiden agar tidak terlalu jauh. Kali ini jantungku tidak bisa diajak bekerja sama. Langkah tergesa kuayunkan bergeser sedikit menjauh dari keberadaan Chaiden. Inikah rasanya disanjung seperti ratu? Tidak! Aku tidak boleh tersanjung oleh perlakuan makhluk ini. Sadar Anara, kamu manusia sedangkan mereka berbeda denganmu.
"Mama, aku mencarimu. Ternyata kau di sini bersama ayah."
Aku mencoba memutar badan saat tubuh kecil itu memelukku dari belakang. Dia benar-benar cantik, rambut bergelombang panjangnya sangat indah.
"Mama, ayo kita ke Eruzia. Bukankah kau sudah berjanji. Aku sudah lama menunggu akan itu."
Janji? Aku saja baru berada di sini, yang berjanji bukan aku wahai anak berambut jingga, tapi Anelyce yang asli, yaitu ibumu.
"Memangnya apa yang menarik di sana? Aku tidak berminat lagi ke Eruzia. Bagaimana jika kamu pergi bersama ayahmu saja?" tanyaku yang sebetulnya mencari tahu seperti apa Eruzia itu, sehingga membuat anak ini sangat berantusias ke sana.
"Itu tempat kesukaanmu, Anelyce. Kau sangat menyukai keindahan yang ada di Eruzia." Chaiden berujar memberitahu.
Baiklah. Jadi, tempat bernama Eruzia itu adalah favorit Anelyce. Aku penasaran seperti apa tempat itu, akankah seindah Maldives atau Alaska? Apakah tempatnya rerumputan atau bersalju dan karang es?
"Baiklah, ayo kita ke sana bersama ... ayahmu."
Aku menarik hanya senyum, ingin mengulurkan tangan, tapi takut Canowly mengeluarkan sengatan listrik lagi. Namun, secara tiba-tiba ia sendiri yang meraih tanganku. Melompat kegirangan. Ternyata sama saja, di sini maupun di duniaku anak kecil tetaplah anak kecil. Suka berisik tidak jelas.
"Tapi, tunggu dulu ... di luar masih hujan. Bagaimana kalau kita tunggu hujan reda?" usulku mengurungkan niat untuk segera keluar.
Chaiden tidak menggubris ucapanku, pria itu tetap saja melangkah ke luar rumah. Kuperhatikan tangannya bergerak lincah di udara, bibirnya komat-kamit entah apa yang ia ucapkan. Sesaat kemudian kepalan tangannya ia lempar ke arah atas, seketika suasana menjadi terang dan hujan pun berhenti. Aku keluar, decakan takjub akan apa yang ia lakukan terang-terangan aku tunjukkan.
Langit? Aku menatap ke atas sana, yang semula kupikir tidak ada langit, ternyata aku salah. Seperti duniaku, negeri ini pun memiliki langit, bahkan lebih indah. Awan-awan berwarna merah muda, ada juga yang berwarna agak kebiruan, cantik sekali.
"Ayo," ajak Chaiden mengulurkan tangan ke hadapanku.
Aku melirik ke bawah, sempat ragu meraih uluran tangannya. Namun, tangan kecil Canowly sudah digenggam oleh ayahnya. Belum lagi binar matanya seolah mengisyaratkan aku untuk segera bergandengan tangan dengan ayahnya. Oh, Tuhan. Aku benar-benar gugup.
"Siap? Pejamkan mata kalian," titahnya saat kami semua sudah bergandengan tangan.
Aku menurutinya, menetralkan deguban jantung yang semakin tidak tahu diri. Lama menutup mata, kubuka kembali saat terdengar suara riang Canowly. Lagi-lagi decakan takjub aku lontarkan. Tempat ini sungguh indah, mungkin lebih indah dari Alaska.
Pohon dengan cabang ranting yang dipenuhi bunga-bunga kecil berwarna merah muda, persis seperti sakura sedang bermekaran di saat musim semi. Belum lagi berbagai bentuk dan jenis binatang yang pernah ataupun belum aku temui, semua ada di sini.
Canowly berlarian ke ujung sana diikuti oleh Chaiden. Netraku membulat menatap apa yang ada di ujung sana. Seperti ... danau yang membeku? Aku ingin menyusul mereka, tetapi baru saja berjalan langkahku diinterupsi oleh suara menyapa. Aku berhenti, menoleh ke belakang.
"Hai, Anelyce," sapanya dengan nada suara yang ramah.
Namun, aku ragu untuk membalas sapaannya, bahkan aku merasa takut. Bagaimana mungkin ada seekor hewan mirip seperti rusa, tetapi bertanduk satu di tengah seperti badak. Tubuhnya berbulu putih seperti beruang kutub yang sering kulihat di kartun anak-anak. Hal yang paling mustahil adalah ... ia bisa berbicara. Makhluk itu mendekat, tubuhku seketika terpaku tidak bisa berlari atau sekadar melangkah mundur.
"Riooze," panggil suara lain yang bisa kukenali, yaitu suara Chaiden.
Aku menarik napas lega saat Chaiden keberadaannya di dekatku. Tergesa tungkaiku mengayun dan bersembunyi ke balik tubuh Chaiden. Aku benar-benar takut dan tidak tahu apakah makhluk sejenis rusa itu memiliki niat yang baik atau tidak.
"Maafkan Anelyce, ia belum sepenuhnya pulih."
Di balik tubuh Chaiden aku mengintip ingin tahu reaksi dari makhluk bernama Riooze itu. Ia mengangguk, netra kami bertemu, tetapi aku adalah pihak yang lebih dulu memutuskan itu. Aku masih takut, jujur saja. Bentuknya sangat meyeramkan.
"Ayah ....," teriak Canowly di belakangku.
Aku menoleh, anak itu tertawa lebar seraya melambaikan tangannya pada Chaiden. Sepertinya ia sangat bahagia berselonjor pada area danau yang membeku itu. Sejujurnya aku tidak mengerti dengan konsep tempat ini, di tempatku berdiri dikelilingi pohon berbunga layaknya musim semi, sementara di tempat Canowly bermain seperti musim dingin di Alaska. Aku mengedarkan pandangan lagi, di bagian utara banyak pohon dengan daun yang berguguran.
"Kau berbincang-bincanglah dengan Riooze, sudah lama kalian tidak bertemu. Aku akan menemani Canowly bermain," ujar Chaiden berlalu meninggalkanku.
Mati kamu, Anara. Apa yang harus kamu obrolkan pada makhluk ini. Benar-benar canggung. Terlebih aku masih takut dengan bentuk tubuh Riooze. Aku tidak berani menatapnya. Tuhan ... tolong bantu aku kali ini.
"Kau ingin pulang? Ke tempat asalmu? Aku tahu kau kesulitan berada di sini."
Sontak aku mengangkat kepala, memberanikan diri menatap wajah Riooze. Dia tahu tempat asalku? Berarti .... dia juga tahu kalau aku bukan Anelyce?
Tanjung Enim, 15 Januari 2022
Salam Sayang
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top