Thirty Days

Halo, selamat pagi. You're a great girl, Anara. Kalimat yang selalu aku ucapkan dalam hati sebagai penyemangat pagi. Bagiku, terbangun di pagi hari dengan disapa keheningan adalah hal sangat biasa.

Aku lahir sebagai anak tunggal, kedua orang tuaku lebih memilih mengembangkan bisnis mereka di Johor Malaysia ketimbang menemani anaknya tumbuh dari remaja ke dewasa. Biasanya mereka pulang dua sampai tiga minggu sekali dan itu pun hanya beberapa hari saja.

Namun, untuk kali ini sudah satu bulan mereka tidak pulang. Ya, one month. Thirty days! Mungkin mereka punya anak lain di sana hingga aku tidak pernah dirindukan. Hari-hariku banyak dihabiskan bersama asisten rumah tangga dan Bi Ida, seorang yang mengasuhku sejak tujuh belas tahun lalu.

Ah, tujuh belas tahun. Omong-omong soal itu, hari ini usiaku genap tujuh belas tahun. Kira-kira, apakah orang tuaku mengingatnya jika hari ini putri mereka sudah beralih menjadi usia remaja? Sepertinya tidak.

Perlahan aku bangkit, bersandar di headboard tempat tidur dan meraih ponselku di nakas samping. Ada banyak sekali panggilan tak terjawab dari teman-temanku serta ucapan selamat yang masuk ke benda canggih milikku ini. Kulirik jendela kamar, langit pagi ini sedikit mendung, bahkan sudah ada butiran halus yang jatuh.

Pintu kamarku diketuk, ralat. Sepertinya itu bukanlah sebuah ketukan. Entah rombongan arak-arakan dari mana yang membuat gaduh di depan pintu kamarku. Rasanya malas sekali beranjak membukakan pintu, tetapi tetap aku lakukan juga.

"Suprise! Happy birthday, Honey!" teriaknya heboh dengan menyodorkan kue ulang tahun dengan lilin angka 17 yang sudah menyala.

"Mami?"

Aku mengerjapkan mataku, takut salah lihat. Wanita yang berteriak tadi adalah Mami, kan? Aku mengamati lagi memastikan, wajah cantik itu benar perempuan yang telah melahirkanku.

Kupindai atensi ke orang sebelahnya. Papi tersenyum tak kalah lebar, ada terompet di tangannya, dan ... apa-apaan itu. Ia mengenakan topi kerucut dengan gambar tokoh kartun.

Papi mengangsurkan satu paper bag padaku. Aku ingin berdecih rasanya saat melihat isinya, Papi tidak lupa putrinya ulang tahun ke berapa sekarang, 'kan? Kenapa ia bertingkah seolah aku sedang berulang tahun ke tujuh. Ia memberiku kado buku cerita fantasi. 

"Sayang, ayo make a wish. Lilinnya sudah mulai meleleh," tegur Mami.

Aku meniup lilin merah berbentuk angka itu, kurentangkan tanganku meminta pelukan Mami. Aku merindukan mereka, sungguh. Papi merangkul tubuhku dan Mami.

"Kapan kalian pulang? Aku rindu Mami dan Papi. Kenapa kalian lama banget pulangnya," cicitku mengungkapkan isi hati.

Mami mengajakku untuk masuk ke kamar, menyimpan kue ulang tahun di nakas, kami duduk di pinggir tempat tidur. Ia memelukku hangat, mengusap punggungku dengan lembut.

"Maafkan mami sama papi baru bisa pulang, bisnis lagi sibuk, Sayang."

"Baiklah, sebagai permintaan maaf kami. Bilang kamu mau hadiah apa, Sayang?" tawar Papi tersenyum lebar.

"Alaska! Aku pengin liburan ke Alaska, sendirian." Aku meminta sesuatu yang sudah lama aku impikan.

Wajah kedua orang tuaku terkejut, mereka saling tatap sejenak. Mami meraih tanganku, menepuk-nepuk pelan.

"Sayang, gimana kalau liburannya ke Malaysia aja? Mami dan papi sibuk banget, Sayang. Nggak bisa temenin kamu liburan ke Alaska."

Aku beranjak dari posisiku, berdiri di hadapan Mami. "Aku pengin liburan ke Alaska sendiri, Mi."

"Anara, jangan gila. Alaska jauh, bisa menempuh waktu 25 jam lebih di udara, belum lagi biaya yang tidak sedikit. Mami nggak akan izinkan kamu ke sana."

Mendengkus kasar, aku juga tahu negara bagian Amerika Serikat itu jauh. Mami bilang ini gila? Lebih gila mana dengan orang tua yang meninggalkan anaknya bersama ART sejak usia dua belas tahun. Aku membenci mengingat saat-saat kesepian.

Biaya yang tidak sedikit katanya? Lalu bagaimana selama lima tahun aku ditinggalkan, dengan alasan mencari uang untuk putri semata wayangnya. Harusnya, uang yang mereka kumpulkan selama rentan waktu itu, lebih dari cukup untuk biaya ke Alaska dua hingga tiga kali dalam setahun. Aku meminta yang mungkin hanya akan terjadi sekali seumur hidup, mereka sudah hitung-hitungan soal uang.

Tubuhku dipeluk papi dari samping, aku masih kesal sebenarnya. Hanya saja ... aku merindukan pelukan pria ini.

"Baby, gimana kalau liburan ke negara lain aja? Japan or South Korea, maybe. Papi punya kenalan guide tour di sana "

"No, I want to go to Alaska. Bukan negara lain, Pap."

"Tapi, Sayang ...."

"But what, Pap?"

Di tengah perdebatan kami, kulirik Mami berdiri dari duduknya. Tangannya terlipat di depan dada. Ia melangkah menuju pintu. Wanita itu benar-benar keras. Jadi, wajar saja jika aku mewarisi wataknya.

"Segera mandi, Anara. Lalu turun, kita sarapan. Tidak akan ada yang namanya liburan ke Alaska."

Seketika pelukan Papi terurai, pria ini pun turut meninggalkanku. Telapak tangannya sempat mengusap puncak kepala. Kekesalanku bertambah, mereka benar-benar tidak pernah mengerti keinginan putrinya. Orang tua macam apa itu.

Aku mengayunkan tungkai ke balkon kamar, langit mendung seolah mengejekku. Air yang ia turunkan semakin lebat.

"Luar biasa. Semesta pun ikut menertawakanku. Aku benci kalian, aku benci hidup di dunia ini!" umpatku tak lagi bisa ditahan.

Aku benar-benar marah, biasanya untuk menenangkan diri aku berdiam di taman samping, tapi sekarang lihat? Gara-gara langit menurunkan hujan, aku tidak bisa ke sana. Aku benci Desember, karena bulan ini hujan sering turun tak tahu diri.

Kembali masuk ke kamar, aku meraih hadiah yang sempat Papi berikan tadi. Sungguh ini lelucon macam apa. Aku sudah tujuh belas tahun, tidak lagi membutuhkan buku-buku dongeng. Bacaanku sudah berubah menjadi novel romansa sekarang.

"Dero ... Ville?"

Aku berdecak kencang membaca sekilas buku ini, bahkan dari judul dan sampulnya saja sudah tidak menarik sama sekali.

"Aku nggak butuh buku-buku ini." Aku melempar buku dongeng itu ke atas, seolah sedang melempari langit yang sedang menertawakan kesialan seorang Michelle Anara.

"Bahkan aku tidak ingin tinggal di dunia ini lagi, aku muak tinggal di sini. Aku benci semua yang ada di sini. Tolong, aku mau pergi ke tempat yang—"

Suara menggelegar membalas segala umpatanku, refleks menutup mata dan telinga. Sial! Apakah langit pun tidak merestuiku?

Aku masih menutup mata saat suara bederak terdengar, seperti pohon tumbang atau apa itu. Entahlah. Kurasakan angin bertiup kencang menerpa tubuhku, aku terhuyung beberapa langkah mundur. Detik selanjutnya menjadi hening, tidak ada suara hujan, petir atau angin yang menumbangkan pohon-pohon secara mengerikan. Hanya ada suara tenang seperti aliran sungai?

"Mama."

"Selesaikan misimu, Anelyce. Kau punya waktu tiga puluh hari."

Samar terdengar suara anak kecil dan orang dewasa lainnya. Aku tidak punya saudara, bagaimana ada kecil masuk ke kamarku. Suara dewasa itu pun dapat diyakini adalah seorang pria, tetapi bukan suara Papi. Siapa mereka?

Perlahan kubuka mata, menurunkan tangan yang semula di telingaku. Iris netraku melebar saat pemandangan yang kudapati bukan balkon kamar, melainkan di tepi danau yang luas. Airnya jernih, tetapi berwarna merah muda pada tepinya dan kemerahan di tengah, danau itu dikelilingi pohon Cemara berjejer.

Apakah aku mati tersambar petir? Apakah ini wujud dari surga?

Tanjung Enim, 04 Januari 2022

Bagaimana? Siap mengikuti petualangan Anara terjebak di tubuh peri cantik bernama Anelyce?
Jangan lupa bintang di klik ya.

Salam Sayang
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top