Chapter 20
Andin berjalan menelusuri koridor lantai satu. Ia terlihat cukup tergesa-gesa. Peluh keringat mulai membasahi wajah.
"Aku harus cepat!" gerutu Andin.
Baru saja ia mendapatkan kabar dari Alfa bahwa Ave telah ditemukan tewas di ruang UKS. Raut kesedihan ia tampilkan selama perjalanan.
"Ave ... kamu tidak pintar ternyata."
Seringai tipis terukir di bibir secara sembunyi. Raut kesedihan hanyalah tipuan belaka. Andin tidak peduli jika teman-temannya meninggoy alias meninggal.
Andin bersiul-siul kecil. Ia melihat pemandangan di luar jendela nampak mendung.
"Sepertinya akan turun hujan," gumam Andin.
Gadis berambut blonde memasuki salah satu ruangan. Ia mengeluarkan sebuah kartu tipis berwarna merah dengan sebuah simbol pentagram di tengah.
Tinn!
Pintu terbuka lebar. Andin memasuki ruangan dengan santai. Sosok Andin perlahan menghilang saat pintu tertutupi rapat.
Awalnya gelap, lama kelamaan menjadi terang. Satu buah lampu menerangi sosok Andin yang berdiri tegak. Ia bisa merasakan hawa membunuh begitu kuat.
"Aku harus tahan," ucap Andin menyemangati dirinya.
Andin berjalan lurus tanpa menoleh ke arah belakang sedikit pun. Banyak pasang mata seolah-olah menatap dirinya tajam dibalik bayangan.
Seluruh bulu kuduk tiba-tiba meremang. Sensasi dingin nan mencekam seakan menusuk kulit hingga menembus tulang.
"Selamat datang ... Andin."
Sosok bertopeng tengkorak berdiri di atas pilar. Ia menyambut kedatangan Andin yang mungkin sudah ditunggu-tunggu sejak tadi.
"Te-terima kasih ... Nona Dua," balas Andin gugup.
Sebuah seringai kecil terukir dibalik topeng. Terpampang satu gambar lambang di leher sosok bertopeng berupa hewan 'Ular Orange' walau hanya sekilas pandangan mata.
Satu-persatu lampu menyorot ke arah pilar-pilar yang berjumlah tujuh. Hanya sosok misterius berinisial 'Dua' baru menampakan diri.
Aroma bunga Amarillys menyeruak masuk melalui rongga hidung hingga ke paru-paru. Warna merah menjadi lenih dominan setelah Andin melihat tanaman bunga-bunga Amarillys tumbuh mekar.
🌺🌺🌺🌺🌺
Kini Aldo berada di dalam kelas 2-D. Ruang kelas sebelah. Ia mendudukan diri di salah satu bangku tepat di belakang pojok kanan.
Aldo mengeluarkan secarik kertas yang ditemukan di perpustakaan. Simbol pentagram warna hitam menjadi sebuah 'bukti' menurutnya.
"Hmm ... aku seperti melihat simbol ini, tetapi di mana???"
Aldo frustasi. Ia mengacak-acak asal rambut hitam kinclong bagai model sampo di televisi. Bersyukurnya Aldo tidak memiliki peliharaan kutu di rambut.
"Huh!"
Menghela napas kasar. Ia mengetuk kening pelan, tetapi tak bisa mengingatnya. Seakan ingatan tentang simbol ini sengaja dihilangkan. Namun ... ini masih teori receh miliknya.
Aldo menelusupkan kepala di atas meja. Ia belum memiliki teori tepat. Ia memandangi langit yang berubah menjadi gelap.
"Sepertinya akan datang badai," gumam Aldo.
Srekk!!
Pintu kelas 2-D tiba-tiba terbuka lebar dari depan. Aldo reflek menolehkan kepala. Kedua iris mata melebar.
Seseorang terlihat berdiri sambil tersenyum lebar. Ia membawa sebuah pisau daging di genggaman tangan kanan. Satu lambang gambar 'Musang Merah' di pergelangan tangan.
"Hai, Aldo," sapanya.
Degh!!
"Sial!"
Aldo sedikit menganalisa jarak antara dirinya dan orang itu. Ia menghela napas kecil, kemungkinan bisa melarikan diri sekitar 30% saja. Ia harus berlari secepat hewan Jaguar.
Dalam hitungan mundur.
3
2
1
Aldo mulai berlari ke arah pintu belakang. Orang misterius itu juga ikut berlari. Pisau ia gerakan seakan tengah memotong angin.
Brak!!
Aldo mendengang kursi di depannya sekuat tenaga. Kursi itu berhasil melesat ke sosok itu, walau tidak mengenainya. Setidaknya Aldo dapat mengalihkan waktu seperkian detik.
"Kau harus mati! K**a**t!" seru orang itu.
"Butuh seribu tahu kau bisa membunuhku!
Selamat tinggal!"
Aldo berhasil keluar pintu. Ia menyempatkan diri melempar vas bunga ke arah orang itu. Kedua sudut bibir tertarik membentuk senyuman tipis. Ia merasa beberapa ingatan kecil masuk ke dalam otak.
"Aku tahu sekarang!"
🌺🌺🌺🌺🌺
~Kolam Renang~
Suara langkah kaki menggema di sebuah lokasi. Raka, Shia serta Icha telah sampai di area kolam renang tertutup. Mereka baru mendapatkan kabar dari Eris bahwa Lav telah ditemukan tewas di kamar ganti wanita.
"Di mana Eris?" tanya Icha.
"Aku tidak melihat siapapun," sahut Shia.
Raka terdiam mengamati area sekitar. Ia tak menemukan sosok pemuda yang mengaku dirinya tampan dan selalu membawa kaca kecil.
Saat ia maju selangkah. Raka merasakan sepatu miliknya menginjak sesuatu. Ternyata itu adalah pecahan kaca.
Degh!!
Firasat buruk datang. "Apakah dia juga telah tewas?"
Shia menatap Raka penuh tanda tanya. Ia menepuk pelan pundak pemuda bertubuh ideal itu.
"Apa yang barusan kau katakan?" tanya Shia.
Tatapan penuh rasa penasaran terlihat jelas. Awalnya Raka termenung hingga ia akan menjawab. Mulut terbuka sedikit dan sebuah jawaban akan dilontarkan.
"Hei! Apa yang kalian bicarakan tanpaku?!"
Icha datang dengan ekspresi kesal di wajah. Ia tidak suka jika ada seseorang di dekatnya menyembunyikan sesuatu atau biasa disebut rahasia.
Shia dan Raka saling bertatapan. Keduanya merasa risih dengan sifat 'ingin tahu' atau bahasa gaul di Indonesia 'Kepo'. Raka mendengus kesal.
"Tidak ada dan ... kau tak perlu tahu segala sesuatu hal!"
Jawaban sarkas Raka membuat hati Icha menciut. Dengan kemampuan berakting tingkat satu di kelas, Icha mulai memerankan sebuah lakon.
"Hiks ... kau tega sekali mas kepadaku."
Air mata buaya Icha tak membuat Raka tersentuh. Ia pergi meninggalkan gadis kucing itu tanpa mengajak. Shia ikut menyusul Raka di belakang.
"Hei! Kalian kejam sekali pada Dede gemes!"
Icha memukul kaki ke lantai kesal. Ia tidak bisa mendapatkan sebuah informasi penting dari kedua teman sekelasnya itu.
"Berisik!" sindir Shia menatap tajam.
Raka, Shia dan Icha yang masih mengikuti menelusuri kolam renang. Air kolam yang seharusnya berwarna biru tiba-tiba berubah menjadi merah seperti darah.
"Ini bau darah dan aroma bunga Amarillys," ucap Raka sambil mengendus.
Degh?!!
Di tengah-tengah kolam renang berukuran cukup besar. Terdapat tubuh seorang pemuda mengapung di sana. Kemungkinan besar pemuda itu telah meninggal dunia.
"Oh tidak!"
"Kyahh!!"
🌺🌺🌺24🌺🌺🌺
"Kau pembunuh!"
"Kau pembunuh!"
"Kau pembunuh!"
.
.
.
"Tidak!"
Rie sudah sadarkan diri. Nafas tersenggal-senggal. Peluh keringat membanjiri wajah. Ia baru saja mengalami mimpi buruk.
"Ini di mana?"
Kesadaran Rie belum terkumpul semua. Ia mulai menerawang ruangan yang ia tempati.
Suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Sosok siluet bertubuh tak terlalu tinggi berdiri di depannya.
"Akhirnya kau sadar juga," ucap sosok itu.
"Ka-kau!"
🌺🌺🌺🌺🌺
Sura, Hanaru dan Lemon masih berada di kantin. Hampir dua jam lamanya mereka di sana.
Beberapa tumpukan piring kotor menenuhi meja kantin. Ketiga gadis murid kelas 2-E baru saja menyelesaikan makan siang ala mereka.
"Perut ini sudah tidak dapat menampung lagi," keluh Sura.
Ia menyongkel gigi bagian atas tengah. Selipan makanan berupa daging masih tersangkut.
Hanaru menahan tawa. Ia tidak kuat melihat Lemon menyengir lebar.
"Pfttt ... Hahaha... Lemon,"
"Apa?!" tanya Lemon kesal.
Lemon merasa seperti badut. Ia menatap kesal Hanaru, lalu mengalihkan pandangan ke kanan.
"Hahaha ... ada cabe menempel di gigimu," ejek Hanaru.
"Hmpph! Kalau mau tertawa lagi ... kodok-kodokmu itu akan kujadikan sate!" ancam Lemon. Wajahnya sudah mmemerah sempurna.
"Tidak akan kubiarkan itu terjadi!" seru Hanaru.
Lemon menyeringai kecil. Ia perlahan mengambil kotak berisi katak, tetapi ...
Tuutt!!
Bau mirip limbah sampah menyerbak di kantin. Lemon dan Hanaru berdiri, lalu pergi menjauhi meja yang mereka tempati.
"Ahh ... leganya," ucap Sura polos.
Ia memegang perut yang terlihat membuncit sedikit. Ia elus-elus perut seperti Ibu hamil.
"Maafkan aku ya,"
Sura mengedipkan sebelah mata. Dan ... ia menggunakan jurus seribu bayangan alias kabur.
"Sura!" seru keduanya kompak.
Lemon dan Hanaru kesal dan marah tentunya. Mereka mulai mengejar Sura si Serigala jadi-jadian. Aksi saling mengejar pun menjadi pemandangan di sekitar kantin yang sepi.
🌺🌺🌺24🌺🌺🌺
{01/03/2021}
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top