Chapter 17
Flashback On....
Yoga izin meninggalkan perpustakaan untuk mengambil sesuatu barang tertinggal di kelas. Di sana terdapat dua orang gadis yaitu Fia sang kekasih dan Rima teman satu klub pustakawan.
"Semoga kalian semakin akrab,"
Yoga lantas pergi. Ia berjalan menuju anak tangga sebelah kiri. Tiba-tiba ia melihat sosok bayangan misterius. Otaknya sebagai dektektif dadakan mulai beraksi.
"Aku harus mengikutinya!"
Yoga berbalik arah ke kanan. Ia terus mengendap-endap di belakang sosok bayangan itu. Sosok bayangan memakai topeng tengkorak. Jadi, ia tidak bisa mengenalinya lebih jauh.
Bagai ninja menyembunyikan hawa keberadaan. Yoga berhasil mengikuti hampir sepuluh menit. Sosok bayangan itu terus berjalan lurus dan ... berhenti.
Srekk!!!
Pintu ruangan kepala sekolah terbuka. Ia baru saja akan menyusul, tetapi pintu sudah tertutupi otomatis. Ada semacam layar kotak di dekat pintu yang harus menggunakan sebuah ID Card.
"Sial!"
Yoga terlambat. Ia baru mengetahui sistem seperti itu di ruang kepala sekolah. Sebagai murid yang berprestasi dan baik, ia jarang memasuki area ini kecuali klub pustakawan di dalam perpustakaan.
Ponsel berwarna hitam Yoga berdering kencang. Ia melihat sebuah nama yaitu 'Icha Khuceng'.
"Ada apa Icha telepon?" tanya Yoga heran.
Jarang sekali Icha menelepon dirinya. Ia juga tidak terlalu dekat dengan gadis berwajah kucing itu. Yoga memilih untuk menolak panggilan.
Saat ia akan mengantongi ponsel, benda itu kembali berdering. Kali ini sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Kerutan di kening Yoga muncul. Ia pernah melihat nomor ini dari ponsel Rima saat kegiatan klub pagi tadi.
🌺🌺🌺🌺🌺
Degh!
Perasaan tak enak muncul. Ia membuka pesan terburu-buru.
From : 081xxxxxxxxxx
'Yoga. Kesalahanmu membuat posisi anda harus digantikan. Jadi ... selamat menikmati akhir-akhir hidupmu 😊.'
Brak!!!
Ponsel miliknya ia lempar keras ke jendela hingga meninggalkan retakan lalu nasip ponsel hancur di lantai. Yoga tidak peduli. Ia marah sangat marah setelah membaca pesan itu.
"Aku sudah berusaha sejauh ini dan ... kau membuangku bagaikan sampah!"
Yoga menatap tajam ke arah CCTV di atas ruang Kepala Sekolah. Ia berniat akan mendatangi ruang auditorium dan membuat perhitungan dengannya. Namun ... kepalanya terasa sakit. Ia menjerit kencang hingga membenturkan kepala ke jendela yang retak.
Prakk!!
Prakk!!
Kepala terus ia benturkan sampai jendela berlubang. Serpihan kaca sudah menancap di area wajah. Pandangan Yoga kosong seakan tak bernyawa.
Yoga mundur ke belakang hingga menempel dinding. Ia mengambil sikap ancang-ancang seperti seorang atlet pelari.
Prangg!!!
Yoga berlari kencang hingga menembus jendela. Tubuhnya melayang bebas bagaikan bulu angsa. Butiran-butiran air mata menjadi saksi bahwa hidupnya telah berakhir.
"Aku ... masih ingin hidup."
Brakk!!!
Tubuh Yoga menghantam lapangan dari lantai tiga. Bagian otak remuk sebagian, tulang kaki dan tangan patah, serta beberapa usus keluar dari perut. Ia bermandikan darah sendiri.
Dan Yoga menjadi korban kesembilan...
Ponsel Yoga berdering menandakan sebuah pesan masuk dari 'Satu' bergambarkan hewan 'Singa Kuning'. Pesan itu berisi 'Selamat tinggal Tiga 😊.'
Tak berselang lama Icha melihat langsung adegan Yoga terjun bebas. Ia berteriak histeris.
"Tidak!!!"
Bunga Amarillys berada di saku celana Yoga. Bagian celana terbuka sedikit menampakan gambar simbol Naga Hitam menghilang di betis. Syal merah terbang tersangkut di atas pohon besar dekat lapangan.
Flashback Off ....
🌺🌺🌺🌺🌺
Rizal memilih menyendiri di salah klub basket. Ia bukan merupakan anggota klub ini, tapi hanya tempat ini yang sesuai untuk dirinya berkonsentrasi penuh.
Berbagai pesan masuk dari grup kelas 2-E. Korban terus bertambah seiring waktu tanpa ia sadar. Kira-kira saat ini total korban mencapai sembilan murid. Dan mereka semua adalah murid kelas 2-E.
"Ini seperti pembunuhan berencana," ucap Rizal menebak.
Namun, Rizal belum memiliki bukti dan petunjuk yang akurat. Ia harus memeriksa beberapa tempat lokasi kejadian berlangsung.
"Hmm ...," gumam Rizal.
Beberapa foto wajah yang dikenal olehnya berjajar rapi di atas meja. Ia menatap satu-persatu foto itu. Rizal memiliki perasaan ganjil akan sosok mereka.
Rizal berdiri. Ia merapihkan foto-foto ke dalam kantong plastik hitam lalu disimpan di dalam tas. Ia berencana akan mendatangi lokasi pertama di mana Puri terbunuh ataukah bunuh diri?
Persiapan sudah Rizal siapkan matang-matang. Ia membuka pintu, tetapi seseorang bertopeng tengkorak berdiri kokoh di depannya.
"Siapa ka---"
Pandangan Rizal menjadi kabur, lalu menggelap. Sosok misterius bertopeng menyeringai di balik topeng. Ia telah membius target dengan cekatan. Ia seret tubuh Rizal menuju suatu tempat.
"Tak ada yang boleh menganggu permainan ini,"
🌺🌺🌺🌺🌺
Brakk!!!
Raka berhasil mendobrak pintu. Ia masuk ke dalam ruangan mencari seseorang.
"Rie! Kau di mana?"
Shia dan Icha menyusul masuk. Mereka juga ikut mencari keberadaan si gadis patah hati, Rie.
"Hiks ... Tidak!
Aku tidak ingin mati!
Aku tidak ingin mati!"
Suara Rie terdengar jelas. Raka, Shia dan Icha segera menghampiri asal suara tersebut. Akhirnya mereka berhasil menemukan Rie.
Rie terduduk lemas di pojok ruangan gelap dengan kedua kaki dipeluk. Gadis itu terus mengucapkan kalimat sama berulang-ulang.
"Rie!"
Lampu berhasil dinyalakan oleh Raka tepat waktu. Shia memeluk erat tubuh Rie yang terlihat sangat rapuh.
"Jangan mendekat!"
Rie mendorong tubuh Shia hingga tersungkur. Kali ini Icha mencoba menenangkan. Ia mendekati tubuh Rie perlahan.
"Tenanglah Rie ... ini aku Icha, teman sekelasmu," ucap Icha lembut.
Icha terus membujuk Rie hingga gadis itu tidak memberontak kembali. Suara tangisan Rie begitu menyayat hati. Icha membelai punggung Rie pelan dan ia dekap lembut tubuhnya.
Rie menerima pelukan itu, tetapi ia tak membalas. Ia menatap satu-persatu wajah ketiga orang di depannya.
"Teman-teman," gumam Rie berhenti menangis.
Shia dan Raka saling merangkul pundak. Keduanya tersenyum kecil melihat Rie sudah lebih tenang.
Icha membantu Rie berdiri. Rie hanya diam menurut. Tiba-tiba ia merasakan kepalanya terasa amat sakit dan berdenyut keras.
"Ahhh!!! Sakit sekali kepalaku!
Tolong aku ... Raka."
Rie pingsan dalam dekapan Raka. Raka membawa tubuh Rie keluar dari ruangan gelap dan berdebu.
🌺🌺🌺🌺🌺
Di dalam ingatan Rie. Tentang kelanjutan kejadian setahun yang lalu di sekolah. Tepatnya di salah satu ruangan tak terpakai di gedung sekolah lama.
Rie akhirnya membuka mata perlahan. Iris mata merah membiaskan cahaya yang hanya diterangi oleh lilin saja.
Kepala Rie terasa sakit. Ia meraih sesuatu dan berhasil memegang dinding di sebelah kanannya. Ia bangkit perlahan hingga bias cahaya sudah mulai terang.
"Ini di mana?" tanyanya entah pada siapa.
"Kau berada di salah satu ruangan klub bekas Karya Ilmiah," jawab suara seseorang.
Tiba-tiba sebuah suara berada di sebelah kanan. Rie terkejut hingga ia melompat.
"Maaf membuatmu kaget," ucap seorang gadis berambut merah seperti dirinya, tetapi milik gadis itu agak pucat.
"Arbi? Kaukah itu!" seru Rie.
Rie mendekap erat tubuh Arbi. Ia senang melihat gadis itu baik-baik saja. Terakhir ia ingat Arbi telah di siksa oleh seseorang bertopeng tengkorak. Ia pun melepaskan dekapan.
"Iya ini aku," jawab Arbi tersenyum sedih.
Seragam yang dipakai oleh Arbi sudah berantakan, kotor bercampur debu dan ada lubang di bahu kiri. Arbi juga memiliki luka memar di area wajah.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Rie perihatin.
Arbi menatap tajam Rie. Ia melangkah maju mendekati Rie. Rie reflek mundur perlahan hingga terpojok. Ia melihat raut wajah Arbi berubah menyeramkan.
"Aku mengalami ini gara-gara kau!" seru Arbi.
Plakk!!
Arbi menampar keras pipi kanan Rie. Rie reflek memegang pipi yang terasa perih.
"A-aku tidak melakukan kesalahan," bela Rie gugup.
Arbi meludah ke sembarang arah. Darah bercampur dengan saliva. "Kau!!"
"Tidak! Aku tidak melakukan apapun!"
Rie menjerit histeris. Ia menjambak rambut merah hingga helaian rambut berterbangan. Ia pun tak sadarkan diri lagi.
🌺🌺🌺27🌺🌺🌺
{26/02/2021}
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top