[TsNT3 - Sebuah Janji]

Dhimas

Tanpa setahu Anggit, setelah mengantarnya pulang, aku selalu mampir ke makam Dhika. Yah, mungkin nggak setiap saat, tapi sering.

Dhika lebih dari sekadar teman atau sepupu. Dia lebih dari itu—sahabat, mungkin. Sejak kecil kami selalu main bareng, nginep bareng, terlebih kalau kondisi keluarganya sedang kacau. Bahkan pernah, aku dan Ibu menginap di sana setelah Kak Dhira menelepon, bilang kalau Om Iwan nggak pulang setelah dua hari.

Om Iwan adalah adik Ibu. Sejak istri keduanya meninggal, ia memang sering mengabaikan Dhika. Meski memang semuanya baru memburuk sejak Dhika SMP dan terlihat makin mirip dengan Tante Lia. Kak Dhira jadi terpaksa kerja dan jadi sedikit ngelupain Dhika. Akibatnya, dia lebih sering nginep di rumahku sebelum KVLR. Dia teman paling dekat yang pernah kupunya.

Karena itu, saat aku mendengar kabar itu, jelas, rasanya otakku jadi kosong. Aku nggak bercanda. Rasanya waktu itu, aku nggak bisa berpikir. Aku bahkan nggak ingat lagi gimana caranya aku bisa sampai di rumah sakit. Samar-samar aku inget Kak Dhira yang berdiri kaku di sebelah tempat tidur, Kak Dhito yang sedang menelepon entah siapa, dan satu orang lagi—kalau nggak salah, namanya Aditya—yang berdiri di belakang Kak Dhira.

Hari itu, aku kehilangan orang paling dekat dalam hidupku. Gimana aku nggak gila?

Aku duduk di sebelah makam Dhika yang masih baru. Tanahnya masih harus disiram biar padat—atau apalah—dan bisa segera dipasang nisan. Aku nggak tahu kapan nisan itu dipasang, tapi semoga secepatnya. Biar setiap kali ke sini, aku nggak ingin menggalinya. Aku jadi gila, dan aku nggak tahu gimana caranya kembali waras.

Anggit mungkin bener. Aku harusnya bisa datang padanya, bisa cerita apa saja padanya. Tapi aku nggak bisa. Dia nggak paham. Nggak akan ada yang paham. Satu-satunya yang memahamiku dengan sempurna adalah Dhika, dan dia udah nggak ada.

Sial. Lama-lama, aku jadi geram. Pada semua hal. KVLR bodoh. Herman keparat. Mr. V bajingan. Mereka semua turut ambil bagian dalam kematian Dhika—mereka membunuh Dhika. Shit. Mereka semua bertanggung jawab atas makam baru ini.

"Gue janji, gue bakal bubarin KVLR." Badanku gemetar karena marah—perasaan yang aneh. "Dhik, lo bisa pegang janji gue. Gue akan selesaikan semuanya."

"Dhimas?"

Aku menoleh kaget. Dhito dan Kak Dhira tiba-tiba saja muncul di belakangku. Kak Dhira bawa dua tangkai bunga kuning—untuk Tante Lia dan Dhika. Aku berdiri.

"Lo mau ngapain?" tanya Dhito tajam. "Bubarin KVLR?"

"Seseorang harus ngelakuin itu kan?" balasku. "Gue duluan."

Aku meninggalkan tempat itu, memberikan waktu khusus bagi mereka. Setidaknya, Dhika sudah denger janji itu. Aku nggak akan ngecewain dia.   

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top