[TsNT2 - Renggang]

Anggita

"Mas, rokok satu bungkus."

Aku mengernyit saat kudengar Dhimas berkata seperti itu. Kukira dia sudah berusaha berhenti merokok? Tapi aku diam saja selagi menempati kursi plastik di warung Bu Karti. Bila sudah seperti itu, Dhimas tidak akan mau diganggu, bahkan olehku.

Oke, kalian mungkin berpikir aku pacar yang jahat, atau bahkan abai pada kondisinya. Tapi sungguh, jika Dhimas sampai harus merokok, berarti ada sesuatu yang berat yang dia pikirkan. Tidak seperti Ruben yang ketagihan dan Dhika yang terbiasa dengan itu sejak kecil, Dhimas hanya merokok saat dia perlu. Dan hanya satu hal yang bisa membuatnya membakar uangnya dengan sia-sia: stres.

Dhika. Pasti itu.

"Aku pesen mi ya, Git." Dhimas berdiri di sebelahku, meletakkan bungkus rokoknya sembarangan. "Kamu makan juga?"

"Iya." Aku mengambil kotak yang menyimpan 12 batang itu dan memainkannya. Ada 12 batang yang memisahkan antara sehat dan tidak di tanganku. Aku bergidik.

Dhimas kembali, duduk di depanku. Aku memperhatikannya. Jika kalian ingin tahu, aku menyukai sorot Dhimas yang teduh sekaligus tegas. Lembut dan ganas. Mata Dhimas punya cara sendiri untuk masuk ke dalam diriku dan mengambil seluruh perhatianku.

"Kenapa, Git, kok ngeliatinnya gitu?" Dhimas menyeringai. Dia mengulurkan tangan untuk mengambil bungkus rokok di tanganku, tapi aku menggenggamnya erat. "Git?"

"Kamu nggak bisa cerita aja ke aku?"

Tangan Dhimas jadi kaku. Aku menghela napas. Aku biasanya jadi yang kesekian untuk tahu. Yang pertama pasti asap rokok yang lolos dari mulut dan hidungnya. Lalu Dhika. Lalu Ruben. Dan aku. Meski aku saat ini jadi wanita nomor dua (setelah ibunya) di hidup Dhimas, aku tidak sepenting itu baginya.

"Dhika, kan?" tanyaku lirih.

"Anggita."

"Nggak, Dhim. Cerita ke aku. Jangan ke asap rokok." Aku menantang matanya lekat. "You're driving me crazy."

"Because I am crazy." Dhimas menyambar bungkus rokok itu. "Nggak sekarang, Git."

"Terus kapan?"

Dhimas tidak menyahut. Dia malah menyobek bungkus itu dan membakar salah satu isinya. Meniupkan asap dari paru-paru ke udara segar. Aku menunduk. Dia berubah. Sejak hari itu—hari Kak Dhito mengabarinya soal Dhika. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk meraih Dhimas.

Bu Karti datang dengan pesanan kami. Dhimas membisu, membiarkanku berkecamuk dengan perasaan terbagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top