21.

Ann memperhatikan Violin yang masih menampilkan wajah sendunya, mata sembab gadis itu juga sempat mengganggu konsentrasi Ray hingga hampir tersandung beberapa kali. Violin tetap saja diam, sudah sejak kepergian mereka dari rumah Guava pagi tadi.

Ann tahu, ia pun ragu, tentang Speculum yang abu-abu. Tak ada seorangpun yang pernah berhasil menemukan benda itu sebelumnya, tapi rumor tentang cermin ajaib itu seakan tak pernah hilang meski jutaan hari terus berganti. Karena itulah, biar sekecil apapun Ann tetap meneguhkan hati untuk menggantungkan harapannya.

Tiba-tiba gadis itu tersentak. Mungkin ia bisa lakukan sesuatu agar suasana sedih yang mengelilingi mereka bertiga itu bisa berkurang. Ann memejamkan matanya, membayangkan akar-akar yang sekarang merambat dibawah tanah. Menyebar dan saling membantu menuju permukaan. Hingga saat gadis itu membuka matanya dan menunjuk ke arah kanan, hamparan bunga berwarna ungu merebakkan  wanginya ke udara.

"Hei, coba lihat ke sana!"seru gadis itu tanpa menurunkan tangannya.

Ray dan Violin menengok serentak. Keduanya sama-sama menampilkan ekspresi terkejut sebab merasa tak melihat bunga itu ada disana sebelumnya. Terlebih, bunga itu tidak hanya serumpun. Mereka menghampar disisi kanan, begitu luas dan memanjang tanpa ujung. Seakan terus tumbuh seiring perjalanan mereka, menggantikan rumput liar yang tadinya menguasai tanah itu.

"Cantik sekali,"puji Violin yang nampak tak bisa mengalihkan pandangan dari bunga-bunga kecil itu meski kakinya terus melangkah menapaki jalan setapak yang katanya akan mengantarkan mereka pada sebuah kota selanjutnya.

Ann mengerling, ditatapnya Violin dan bunga berwarna ungu yang tampak menari terkena angin itu bergantian. "Kau tengah memuji dirimu sendiri?"tanyanya sambil terkekeh.

Violin mengernyit, ia tak merasa kata-katanya terdengar seperti yang dikatakan Ann. "Apa maksudmu?"

"Baru kali ini Violin tidak mengerti ya? Kenapa kau tidak membaca pikiran Ann saja?"sahut Ray kini ikut berbicara.

"Aku sedang malas."

"Bunga itu Violet,"sahut Ann seraya memetik setangkai bunga Violet. "bukankah Violet terdengar seperti Violin?"

"Hmm, bagus juga, aku suka bunga Violet."

"Violet adalah bunga yang kuat, meski memiliki batang yang lunak ia tetap mampu memekarkan kelopaknya sendiri,"jelas Ann."dan coba lihat, ia punya daun yang berbentuk hati, perlambang cinta."

"Kau sedang berkata-kata?"tanya Ray seraya terkekeh, ditangannya sudah penuh dengan bunga Violet. Pemuda itu memainkan tongkat sihirnya hingga membuat bunga-bunga itu tersusun dengan begitu indah. "Ini, Violet yang cantik untuk Violin yang cerewet."Ray tertawa terbahak ketika tangannya terulur menyodorkan bunga itu pada Violin yang jadi menggerutu.

"Kau sedang memuji atau malah menghina, huh?"

Berbeda dengan ekspresi Ann yang tiba-tiba jadi berbinar melihat adegan dua orang temannya itu.
"Hei, Hei, kalian tau? Katanya kalau memberikan bunga Violet, itu berarti menyatakan kesetiaan."

"Jangan ikut-ikutan menggodaku."

"Aku tidak sedang menggodamu, karena Violet mempunyai arti kesetiaan, kejujuran, dan ... "Ann menggantungkan kata-katanya, setangkai Violet yang sejak tadi berada ditangan gadis itu jadi ikut disodorkan pada Violin. "juga punya makna harapan,"lanjutnya sambil tersenyum. "kami memberikan harapan kami padamu."

"Percayalah, sekecil apapun kemungkinannya, kita akan dapatkan Speculum dan hidup seperti dulu lagi,"tambah Ray dengan wajah serius kali ini

Violin sedikit tersentak. Ia sadar bahwa tadinya dia hampir kehilangan harapan, sekilas berpikir bahwa Speculum adalah sesuatu yang tidak pernah ada. Gadis itu sempat berniat menyerah. Tanpa terasa setetes air yang bening keluar lagi dari kedua matanya. Violin heran mengapa akhir-akhir ini ia bisa jadi begitu melankolis. Gadis itu menghapus bulir air mata yang jatuh seraya mengukir sebuah senyum."Terima kasih,"lirihnya.

"Ah, aku masih berharap air matamu bisa berubah jadi mutiara,"gurau Ann.

"Suruh saja Ray mengubah kerikil itu jadi permata,"balas Violin.

"Hei, sepertinya kita sampai ke suatu tempat!"tiba-tiba Ray berseru sambil menunjuk ke ujung jalan.

Ann dan Violin jadi kembali menatap jalan dihadapan mereka dan menemukan sebuah tempat dengan banyak orang yang berseliweran dimana-mana, menukarkan barang dengan sesuatu yang berbentuk lembaran tipis atau terkadang juga benda bulat kecil yang seperti terbuat dari logam.

"Tempat apa itu?"tanya Ann.

"Entahlah, sepertinya pasar,"tebak Ray yang kini menyipitkan matanya, mencoba memfokuskan pandangan pada kegiatan orang-orang didepan sana.

Violin mengernyit, merasa belum pernah mengenal kata itu sebelumnya. "Maksudmu pasir?"

"Bukan, pasar itu tempat membeli dan menjual sesuatu,"jelas pemuda itu semakin yakin kini.

"Ah lihatlah dia makan sesuatu yang sepertinya enak, apa kita juga bisa mengambilnya?"kali Ann kembali bertanya setelah melihat seorang anak yang berlarian riang sambil memakan sesuatu seperti kapas yang berwarna merah muda.

"Bisa kalau kau punya uang."

"Kalau begitu, ubah daun-daun itu jadi uang."

"Tidak bisa begitu,"tolak Ray. "Itu sama saja menipu, aku adalah penyihir suci, tidak boleh melakukan tindakan tak terpuji."

"Lalu harus bagaimana?"

"Mungkin kita bisa bekerja lalu mendapatkan uang,"terang pemuda itu. "ayo, kita kesana dan cari seseorang yang mungkin bisa membantu."

Ketiganya berkeliling, memperhatikan interaksi yang sedang berlangsung antara penjual dan pembeli ditempat itu. Orang yang berlalu lalang seakan tak ada habisnya, dan barang serta makanan yang mereka jual seolah punya daya tarik tersendiri yang memaksa Ann juga Violin untuk berlama-lama menatapnya.

Sampai sebuah melodi yang mengalun terbawa angin membuat mereka menengok. Ditengah kerumunan itu masih bisa terlihat seseorang yang tengah memejamkan mata, tangannya begitu piawai menggesek dawai pada biola kecil yang ia letakkan dibahu. Wajah pemuda itu tampak serius menghayati harmoni yang ia ciptakan. Sesekali ia melayangkan senyum lembut saat mendengar bunyi koin yang dilemparkan ke dalam kaleng yang tadi ia letakkan sebelum memulai pertunjukan.

"Agra?"

Pemuda itu menengok ke arah Ray dan mengernyit. Merasa bahwa wajah orang yang tadi memanggilnya itu tidak asing, pemuda dengan biola yang tadi dipanggil Ray dengan nama Agra Itu masih mencoba menggali ingatannya sampai sejurus kemudian ia tersenyum lebar dengan mata berbinar.

"Rayden flint?"tanyanya meyakinkan diri sendiri.

"Ya, ini aku,"jawab Ray cepat.

"Kemana saja kau selama ini?"

"Aku ... "Ray menggantungkan kalimatnya, mencoba memilih kata apa yang cocok untuk dapat ia katakan pada Agra tanpa harus membuatnya curiga. "berkelana,"lanjut pemuda itu dengan nada ragu. "kau sendiri kenapa bisa sampai disini?"

"Hanya ingin mencari suasana baru,"jawab Agra. ia melirik ke arah Violin dan Ann.

"Ah ya, perkenalan, ini temanku Ann dan Violin."

"Hai Ann dan, Violin?"ucap pemuda itu dengan mengangkat sebelah alisnya. "Ini juga Violin."jari telunjuk Agra mengarah pada biola yang ada ditangannya.

Violin ikut melihat ke arah alat musik itu dan mengangguk pelan, sebelum akhirnya melontarkan pertanyaan, "Kau memberi nama benda itu Violin?"

"Tidak, tapi ini memang disebut Violin atau mungkin kau menyebutnya Biola."

"Oh begitu, bunyinya bagus,"balas Violin lagi, sekedar berbasa-basi.

"Tentu saja, karena itu aku paling menyukai ini diantara alat musik yang lain,"katanya seraya mengerling."seakan Violin memang hanya tercipta untukku."

"Kata-katamu terdengar ambigu,"komentar Ann seraya mendelik, merasa Agra terlalu dini untuk memulai sebuah gurauan.

Agra hanya tersenyum singkat menanggapi gadis itu. "Kalian baru saja tiba, mau mampir ke rumahku?"

"Tapi kami ingin mencari pekerjaan, jadi sepertinya tidak bisa,"tolak Ann.

"Pekerjaan?"

"Iya, agar bisa mendapatkan kertas seperti itu dan menukarnya dengan makanan."

Agra terlihat berpikir sejenak, ekor matanya melirik ke arah kaleng yang kini sudah terisi penuh dengan uang.
"Kalau begitu ayo kita beli makanan, aku dapat lumayan banyak hari ini."

"Tapi itu uangmu,"sahut Ray merasa tak enak.

"Tidak apa, kau kan temanku, dan mereka tamuku."

...

Ann sejak tadi memandangi deretan hidangan yang ada dimeja penjual itu, sudah setengah jam ia berdiri namun juga tak bisa menentukan pilihan. Semuanya terlalu banyak dan terlihat enak, tapi Ray mengatakan padanya agar hanya memilih satu. Atas dasar kesopanan, Ann setuju tapi malah dihadapkan dengan dilema begini.

"Semuanya terlihat enak. Violin, Kau mau yang mana?"

"Aku yang ini saja,"kata gadis itu sambil mengambil sepiring ikan bakar.

"Hei, yang benar saja, kau makan temanmu sendiri?"tanya Ann terkejut dengan pilihan gadis itu.

"Apanya yang teman?"

"Bukannya kalian hidup di air yang sama, bagaimana bisa saling memakan seperti itu?"

"Kau pikir biasanya aku makan apa jika tidak makan ikan?"

"Kukira kau makan itu,"tunjuk Ann pada nasi kepal dengan nori dibagikan bawahnya.

"Ah yang itu aku juga suka,"kata Violin sambil mengambil lagi nasi kepal itu hingga memenuhi tangannya.

"Ray bilang hanya boleh ambil satu."

"Oh iya benar, eh, kalau begitu, aku ambil ikannya kau ambil nasi kepalnya, jadi kita bisa saling berbagi, bagaimana?"

"Sejak kapan kita jadi akrab begini sih?"

Violin hanya mengendikkan bahu. "Setuju tidak?"

"Hmm, baiklah."

"Ann, Violin,"panggil Ray yang tampak kelelahan berlari ke arah dua gadis itu. "Kalian lama sekali!"

"Kami hanya beli makanan, kenapa harus terburu-buru sih?"

"Aku menemukan petunjuk baru,"kata Ray serius. "Saat kalian pergi, aku iseng membaca mantra di buku kuno dan disana tertulis bahwa hutan kabut dapat terlihat saat ... "

"Apa tadi kau bilang hutan kabut?"tanya Agra yang tiba-tiba datang. "jangan pergi ke sana."

....

TBC

A/N

Akhirnya Speculum update lagi setelah sekian lama berhibernasi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top