#2

Aku mengganti mode hening pada ponselku karena untuk kesekian kalinya Milly menelponku. Aku tahu, pasti mereka sedang menungguku. Sementara aku tidak bisa berkutik karena pria ini malah bersantai di kamar. Dia berkata akan berangkat lagi nanti sekitar pukul setengah sepuluh malam. Aku membuang napasku sambil memijit pelipisku tapi kemudian aku merubah mimik mukaku seolah aku tidak apa-apa ketika mendengar langkah kaki miliknya mendekat. Kulihat dia memposisikan dirinya duduk di lantai bersandar pada bagian depan single sofa yang kududuki. Di tangannya terdapat toples kecil berisi cemilan.

"Max," panggilku pelan.

"Hm? Kamu pengen sesuatu?" Dia memutar kepalanya sedikit menengadah dan melirikku dari sudut matanya.

"Iya."

Dia menaikkan alisnya bermakna tanya, apa?

"Ayolah, Milly nunggu aku di sana." Aku mulai merengek -menjijikkan- dengan harapan Max mau mengabulkan permintaanku.

Dia terdiam beberapa saat kemudian kembali ke posisi semula, menghadap ke layar TV. Gagal lagi, desahku dalam hati. Diam-diam aku mengetikkan pesan bernada sesal untuk Milly. Aku benar-benar tidak enak pada teman-temanku. Aku memutar mulutku lalu menautkan alisku dengan sengit pada punggung Max sambil menyelipkan ponselku di antara pantatku dan sandaran sofa.

"Jawabannya enggak," ucapnya tegas setelah beberapa saat lamanya terdiam.

Aku sudah tahu! dengusku dalam hati. Yang keluar dariku hanya helaan napas. Aku sedang kesal dan tidak berminat bicara dengannya. Biar saja!

"Lebih baik kamu marah sama aku tapi kamu tetap aman di rumah dari pada lihat kamu tersenyum di luaran sana tapi aku nggak tahu bahaya apa yang mengancammu."

"Kan ada Kak Iman!" ketusku.

Dia menoleh seketika. Tangannya meletakkan toples yang menyisakan cemilan hanya separuhnya. Dia mengangkat tubuhku sesaat kemudian mendudukkan tubuhku di pangkuannya.

"Kak Iman? Sebaiknya kamu jaga jarak darinya."

"Kenapa?"

"Coba sekarang pikirkan. Anggap aku adalah Iman dan kamu adalah istrinya. Terus aku jalan sama wanita lain. Nongkrong, hangout dan apapun dengan wanita lain meskipun aku selalu bilang dia seperti adikku sendiri, apa yang kamu rasakan? Sakit nggak sebagai istri, suami kamu malah jalan sama yang lain?"

Aku terbungkam. Pikiranku mencerna apa yang dia katakan. Selama ini kenyataan itu tidak pernah terlintas di kepalaku. Aku hanya merasa bahagia bersama orang-orang yang selalu ada untukku tanpa pernah memikirkan orang-orang yang berada di belakang mereka.

"Sudah punya jawabannya?"

Aku memainkan bibirku, menghindari tatapannya. Dia selalu benar.

"Emh...,"

"Aku bukan pria baik-baik. Tapi aku bisa melihat hubungan nggak baik darinya. Dia seorang pria, suami dan ayah tapi ...,"

"Kak Iman nggak seperti itu, Max!"

Max mengembuskan napasnya. Dia memejamkan matanya beberapa saat. Aku merasakan cengkeraman di pinggangku mengerat. Dia sedang mencoba mengontrol dirinya.

"Apanya yang nggak seperti itu, Sugar? Kalau dia memang seorang suami, dia akan lebih meluangkan waktunya untuk istri dan anaknya ketimbang nongkrong nggak jelas yang ujung-ujungnya ngabisin uang. Dia nggak akan melarikan diri dari setiap masalah rumah tangganya bersama kalian.

Memang baik, Sugar, kedekatan kalian semua baik. Tapi kamu nggak pernah tahu, kan? Kedekatan kalian cuma membuat dia manja. Dia merasa ada tempat untuk berlari bukan malah menghadapinya. Itu alasan aku selalu melarang kamu hang out sama mereka. Paham?! Jangan bikin Iman jadi pria pengecut dan manja karena kedekatan kalian. Menjauhlah. Biarkan dia belajar menghadapi masalahnya sendiri."

Dia benar. Lagi-lagi dia benar. Selama ini memang Kak Iman selalu ada untuk kami dan dia selalu datang pada kami ketika pusing karena masalah keluarganya. Dia menghabiskan segenap waktunya bersama kami untuk melupakan kepenatannya. Aku mengangkat wajahku. Mataku bertemu dengan mata teduhnya.

"Darimana kamu tahu...,"

"Dari mana itu nggak penting. Sugar, dia memang baik, tapi nggak selamanya kebaikan itu murni. Kadang ada alasan di balik kebaikannya. Oke? Dengarkan aku, please!"

Aku menarik napasku dalam-dalam. Tanganku mengusap tengkukku. seseorang dalam diriku mengangguk patuh dalam diam, menuruti apa kata sang Lord.

"Sugar,"

"Oke." Aku menjawab dengan pelan kemudian merubah posisiku hingga mengangkangi pahanya.

Tanganku mengalung di lehernya. Lama aku tidak melakukan ini. Kulihat dia tersenyum penuh padaku. Tangannya mendorong punggungku untuk rebah di dadanya.

"Mana ponselmu?" tanya Max.

"Untuk?"

"Menelpon Milly. Aku nggak yakin kalau mereka nggak nungguin kamu."

"Emh, ya, oke. Tapi ... biar aku saja yang nelpon dia nanti."

"Yakin?"

"Iya."

"Oke. Kamu mau makan malam apa? Aku akan memasak untuk kita."

"Nggak usah. Aku ntar bikin sendiri saja. Kamu harus siap-siap kan?"

Dia melirik pada jam dinding kemudian mengecup puncak kepalaku. Tangannya bergerak merangkum wajahku dengan lembut seperti biasa.

"Baru jam tujuh, Sugar. Kita masih punya banyak waktu untuk sekedar makan malam," ucapnya sambil melepasku dari pangkuannya. Dia berjingkat dengan senandung ringan di mulutnya seringan langkahnya meninggalkan kamar ini.

Aku mengangkat kedua tanganku sambil menggelengkan kepalaku. Siapa yang bisa menentang si Lord? Aku membuang napasku singkat sambil mengambil ponselku. Aku harus menghubungi Milly dan mengarang alasan bahwa Max tidak jadi perform. Dengan begitu kuharap Milly memaklumiku karena tidak jadi gabung hangout. Setelah itu aku melangkah ke dapur menyambangi pria yang kini berbalut celemek yang menutupi t-shirt abu-abunya. Si Lord yang tampan.

"Apa yang kamu buat?" tanyaku sambil mendekatinya.

Dia menoleh sekilas disertai senyum lebarnya. Tangannya sibuk menghaluskan telur rebus di sebuah mangkuk stainless. Di hadapannya tersedia mayonise, irisan lemon, olive oil, irisan smokebeef dan cincangan halus daun parsley.

"Isian sandwich. Tapi kita nggak akan makan sandwich untuk malam ini." Dia kini terlihat sedang mencampurkan bahan-bahan itu lalu mengaduknya kembali dengan spatula.

"Terus?"

"Roti goreng dan aku buat ini sebagai cocolannya. Kalau kamu mau sedikit pedas, kamu tinggal menambah saus sambal, Sugar."

"Masih lama?"

"Hm. Sebentar lagi. Aku tinggal buat roti gorengnya."

"Aku bisa bantu apa?" tanyaku sambil menatap sekeliling.

"Duduk manis di meja makan itu sangat membantu, Sugar. Atau boleh kalau kamu mau, siapin orange juice untuk kita."

Aku segera bergegas setelah menganggukkan kepalaku. Aku mengambil sebotol orange juice dan menuangnya ke dalam dua gelas. Setelah itu aku menarik kursi untuk kududuki. Tak lama kemudian dia datang membawa dua porsi makanan untuk kami.

"Sudah telfon Milly?" tanya Max sambil duduk di hadapanku.

"Sudah."

"Bagus. Kamu nggak marah kan?" Dia memicingkan matanya padaku. Sementara tangannya sedang menyobek roti gorengnya kemudian mencocolnya pada saus yang tadi dia buat.

"Nggak. Kan niat kamu baik. Kamu pulang jam berapa?" tanyaku setelah menelan kunyahanku.

Dia terlihat sedang berpikir sejenak sambil mengunyah. Kemudian dia mengedikkan bahunya. Itu artinya, belum pasti dia akan pulang jam berapa.

"Tapi begitu acara selesai, aku akan langsung pulang. Kamu tidur saja. Jangan nunggu aku pulang."

"Tapi...,"

"Kalau ada apa-apa, aku pasti nelpon kamu. Mudah-mudahan sih baik-baik saja."

"Umh. Oke."

"Atau aku suruh Pedro untuk menemanimu?"

Dengan cepat aku menggelengkan kepalaku. "Nggak. Biar Pedro sama kamu saja. Kamu nggak mungkin bawa mobil sendiri, kan?"

"Aku bisa naik taksi kok."

"Nggak apa-apa. Nanti kamu telfon saja kalau sudah mau pulang."

"Tapi kamu tidur cepat ya? Jangan sampai telfonku ganggu tidur kamu."

"Iya."

Aku kembali menikmati makananku, sementara dia sudah selesai. Dia kini meneguk orange juicenya sampai habis kemudian menopang dagu, menatapiku.

"Masih lapar?" tanyaku menaikkan alisku sebelah begitu melihat dia menatapiku tanpa kedip.

"Nggak. Aku bisa makan di luar nanti kalau lapar lagi."

"Katanya mau hemat buat pernikahan?"

"Iya tapi nggak harus puasa juga kan?"

Aku tertawa kecil. "Memang nggak. Ini makan saja punyaku," sahutku sambil mendorong piringku padanya.

"Buat kamu saja. Kamu pasti nanti lapar lagi kalau ini kumakan."

"Aku bisa bikin mie nanti kalau lapar lagi."

"tapi ...,"

"Atau mau aku suapin?"

"Kalau nggak keberatan," sahutnya cepat dengan mata berbinar.

Matanya seperti berdansa riang ketika aku menyuapinya tanpa disertai protes seperti biasanya. Karena aku tahu, dia membutuhkan banyak energi untuk perform nanti.

"Thanks. Aku harus segera cuci muka," ucapnya begitu dia menerima suapan terakhir dariku. Matanya melirik pada jam dinding yang menunjuk tepat pada jam sembilan.

"Oya? Kalau begitu aku akan membantumu. Tasnya yang biasa kamu bawa kan?"

"Hm. Jangan lupa ponsel sama powebankku, Sugar." Dia melangkah menuju ke kamar mandi.

"Selalu siap, Max."

"Sayang!" serunya dari dalam kamar mandi meralat sebutan dariku.

"Ya. Baiklah, Sayang," sahutku sambil memutar bola mataku jengah.

"Good!!!"

Aku memutar mulutku sambil menutup ritzleting tasnya setelah memastikan semua barang yang harus dia bawa tidak ada yang terlewat. Tak lama kemudian dia keluar sudah berganti pakaian dan wajahnya terlihat lebih segar karena dia baru saja mencuci mukanya.

"Pedro ada di bawah," ucapku memberitahu dari pesan yang muncul di ponselnya.

"Oke. Aku akan segera turun." Dia meraih jaketnya dan segera mengenakannya untuk melapisi T-shirt putihnya.

"Hati-hati," ucapku sambil membereskan handuk kecil yang baru saja dia pakai.

"Eh, ada yang ketinggalan!" serunya ketika dia hendak melangkah keluar.

"Apa?" tanyaku mendekat dengan wajah panikku.

"Kiss."

Aku melebarkan mataku. Dia berhasil menjebakku. Padahal aku sengaja menghindari hal satu itu untuk kali ini. Aku sedang ingin menggodanya. Tanpa banyak kata, dia meraup wajahku dan menyumpal bibirku dengan bibirnya. Dia melakukannya dengan cukup ganas kali ini. Aku bahkan sampai merasakan sedikit perih karena dia tak sengaja cukup keras menggigit bibirku.

"Aku akan segera pulang begitu selesai. Ingat, jangan kemana-mana." Dia berkata dengan sisa napasnya.

"Aku mengerti."

Dia mengecup keningku cukup lama sebelum dia melangkah pergi. Tapi tak lama kemudian dia berbalik lagi. Ada apa lagi? Keningku mengkerut bingung.

"Weekend besok aku mau kosongin jadwal. Kita akan hunting buat pernikahan kita," serunya kemudian kembali melanjutkan langkahnya tanpa menunggu jawaban dariku.

Senyumku mengembang seketika. Beruntung lorong ini sepi jadi tidak ada orang yang mendengar seruannya.

Aku akan menunggu untuk itu. Kuharap itu benar-benar terjadi, batinku sambil menutup pintu flatku.

***

Tbc..

28 Des 2015
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: