#1
Pada akhirnya, aku menyerah padamu. Aku mencintaimu, Prescott Maximillian, tanpa peduli bagaimana masa lalumu. Yang jelas aku hanya merasakan letupan-letupan ini.
Aku tersenyum pada bayanganku di cermin. Aku berbicara padanya lewat hati tentang keputusan akhirku. Aku mencintainya. Akhirnya. Aku tidak bisa menghapus kenyataan itu bahwa dia berhasil menjerat hidupku. Aku tidak peduli bagaimana dia yang menyebalkan dengan sikap kuasanya. Boleh aku memanggilnya si Dominan?
Aku tertawa sendiri. Si Dominan? Bayanganku menertawakan aku lebih kencang. Katanya, siapa di sini yang lebih dominan? Aku menaikkan alisku sebelah. Pada kenyataannya kami adalah seimbang. Sama-sama keras kepala. Tapi, aku tidak akan membiarkan keras kepalaku menyetirku. Akan kuusahakan meski itu sangat berat. Mengingat aku adalah termasuk tipe wanita independent. Oh, benarkah? Bayanganku membulatkan matanya tak percaya.
"Mmh, katakanlah begitu. Aku terbiasa melakukan semuanya sendiri," dengusku lirih. Tanganku mengambil ikat rambut. Aku mengumpulkan rambutku dan sedikit memilinnya sebelum aku membuat cepolan dengan ikat rambutku.
Sore ini aku berniat untuk menemani Milly jalan-jalan. Seperti biasa, kami akan berburu makanan untuk memuaskan kami. Biasanya seorang perempuan akan ke salon untuk memanjakan dirinya. Tapi kami lebih memilih berburu makanan untuk memanjakan lidah kami.
"Hay, sudah siap?" tanya Milly sambil melangkah masuk. Aku tadi berpesan padanya untuk langsung masuk kalau sampai di apartemenku. Aku menoleh ke arah pintu. Tampak olehku seorang Milly dengan minidress dan cardigan yang membalut tubuhnya. Astaga, aku melupakan kalau wanita ini sangat feminin.
"Sebentar lagi. Kita mau ke mana sih?" tanyaku sambil menyemprotkan parfum ke pangkal leherku.
"Enaknya kemana ya? Kemang yuk?"
"Kemang? Naik taksi?"
"Iya. Di sana surganya makanan."
"Iya. Tahu. Tapi kan jauh, Mill."
Aku sedikit keberatan. Bukan apa-apa, karena kalau si Lord tahu, pasti dia akan mengeluarkan tatapan tajamnya padaku. Dia pasti akan meninggalkan sekolah masak dan murid-muridnya hanya untuk memastikan bahwa aku mendengarkan pesannya untuk tidak kemana-mana tanpanya.
"Sebentar doang kok. Anyway, kemana Max?" Milly mengedarkan tatapannya ke setiap sudut kamarku.
"Max ke sekolahnya tadi siang. Terus dia mau lanjut perform di Escape."
"Escape?"
Aku menganggukkan kepala. Aku tidak terlalu paham di mana letak club yang hanya bisa didatangi kalangan atas mengingat harga tiketnya selangit itu. Yang kutahu dia mengatakan akan perform di club itu dan akan pulang nanti setengah empat pagi.
"Besok pagi kan pulangnya? Ayolah, kita nggak sampai malam kok."
"Emh, oke deh."
"Buruan. Kita ketemu Kak Iman di sana. Dia sedang di jalan."
Aku menaikkan alisku. Kak Iman? Oh, aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Aku bangun dari hadapan meja riasku, mengambil syal berwarna peach dan kukalungkan di leherku. Tanganku meraih tas kecilku sambil menjejalkan kakiku pada sepatu kedsku.
"Benar ya nggak lama," ucapku sedikit gusar.
"Iya. Paling jam sepuluh malam kita pulang."
Astaga! Jam sepuluh? Aku membulatkan mataku. Kulihat Milly malah terkikik geli sambil menggamit tanganku dan mendorongku untuk masuk pada taksi yang dia berhentikan sebelum aku kembali berubah pikiran. Aku mengembuskan napasku singkat.
Seperti biasa, sepanjang perjalanan dia bercerita tentang segala hal. Semua masalahnya, termasuk tentang cinta dan pekerjaannya. Sementara aku tidak bisa fokus mendengarkan ceritanya. Pikiranku bercabang pada Max. Bagaimana kalau dia tiba-tiba pulang lebih awal? Bagaimana kalau dia memergokiku di sana? Karena terakhir aku pergi diam-diam, dia memergoki aku sedang termenung di sebuah cafe menunggu Milly yang sedang dalam perjalanan menuju ke cafe tersebut. Pada akhirnya aku dan Milly gagal hang-out karena dia si Lord menyuruhku untuk pulang bersamanya. Aku kembali membuang napasku.
"Memangnya Max masih nyeremin ya? Kamu segitu takutnya sama dia," celetuk Milly membuat aku menoleh padanya seketika.
"Dia nggak serem, Milly. Dan aku nggak takut sama dia."
"Terus kenapa gelisah begitu?"
Aku mendengus. Apa yang kulakukan kali ini tidak ada sangkut pautnya dengan ketakutanku pada dirinya. Tapi aku hanya tidak ingin merusak hubungan kami yang mulai membaik dengan pertengkaran kecil karena keras kepalaku. Aku hanya belajar untuk memahaminya dan menghormatinya sebagai priaku. Yang dia inginkan adalah keadaanku baik-baik saja. Bukan dia possesive karena tidak menginginkan aku pergi tanpanya. Karena dia takut bagaimana kalau terjadi apa-apa denganku saat aku pergi tanpanya.
"Nggak apa-apa sih." Aku meringis tipis.
Aku menahan napasku ketika ponselku berdering. Kuharap ini bukan dari Max. Aku merogoh ponselku dari dalam tas kecilku. Ah, dia!!!
"Kenapa?" tanya Milly melihat perubahan ekspresi wajahku menjadi begitu tegang.
"Ya, Max," sahutku tanpa menunggu lama. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini.
"Sugar, aku baru keluar dari kelas. Aku ijin, biar teman yang menggantikan. Soalnya aku mau pulang. Aku lupa bawa baju ganti buat perform nanti. Kamu tolong siapin ya?"
Mampus!
"Oh, oke. Apa lagi?"
"Nggak. Itu saja."
Aku segera menutup telponnya dan menatap Milly dengan tatapan panikku.
"Aku nanti menyusul saja. Aku harus pulang."
"Kenapa?" tanya Milly bingung.
"Max mau pulang. Oke, aku turun di sini saja. Nanti aku akan menyusul kalau dia sudah pergi lagi."
"Janji?"
Aku mengangguk cepat kemudian menyuruh sopir taksi untuk berhenti. Aku bergegas keluar dan mampir sebentar ke supermarket, membeli beberapa bahan makanan sebagai alasan jika nanti Max bertanya dengan penampilanku yang cukup rapi dan riasan tipis di wajahku.
Huhft. Aku membuang napasku sambil keluar dari supermarket dengan sekantong belanjaan berisi roti tawar, beef cornet dan beberapa selai. Aku memberhentikan sebuah taksi dan menyebutkan alamat apartemenku pada sopirnya.
Begitu sampai aku melangkah cepat, jangan sampai Max sampai lebih dulu. Dia pasti akan berpikir yang bukan-bukan apalagi tentang pria lain. Dia selalu takut untuk itu. Dia takut masa lalunya akan terulang kembali, saat ayahnya meninggalkan ibunya. Hey, itu hal yang sama terjadi padaku.
"Sugar!!!"
Aku mengurungkan niatku untuk masuk setelah aku membuka pintu flatku begitu mendengar suaranya di ujung tangga.
"Hay," sapaku kaku sambil membalikkan tubuhku menghadap padanya. Dia terlihat mempercepat langkahnya dengan sorot tak terbaca.
"Dari mana?" tanyanya menyelidik.
"Dari... supermarket. Beli ini," jawabku pelan.
"Kenapa nggak bilang? Aku bisa beli nanti sepulang perform, Sugar."
Dia memperlihatkan wajah kecewanya padaku saat aku masih melakukan semuanya sendirian. Oh, dia ingin aku mengandalkannya untuk hal apapun.
"Ya. Kamu bisa. Tapi, Max. Aku masih bisa melakukannya sendirian. Lagipula, Max. Aku nggak mau kamu lelah. Kita bisa berbagi kan? Ayolah."
Max mendengus singkat lalu mengambil alih kantong belanjaan dari tanganku. Aku menghela napasku. Aku memakluminya. Aku sudah hafal dengan sifatnya. Kulihat dia menghentikan langkahnya ketika aku tak kunjung menyusulnya.
"Ya. Oke, kita bisa berbagi. Tapi kamu harus berjanji...,"
"Apa lagi sih, Max. Kita akan menikah. Itu janji tertinggiku."
"Oke. Kamu akan mendapatkan apapu dariku. Aku akan mengusahakannya untukmu."
Aku menahan senyumku, menatapnya jenaka. Dia menaikkan alisnya sedikit sebal karena aku kembali menggodanya.
"Menggodaku, Sugar?" bisiknya rendah.
Aku mengedikkan bahuku. "Mungkin."
"Sugar," panggilnya dengan nada memperingatkan.
"Aku akan menyiapkan bajumu." Aku bergegas meninggalkannya sekaligus menghindari apa yang akan dia lakukan.
Tanganku membuka lemari pakaian Max. Mataku meneliti setiap lipatan baju sambil membayangkan baju apa yang cocok untuknya malam ini. Aku bergumam singkat ketika menemukan pilihan yang pas untuknya. Setelan kaos putih lengan panjang dengan jas semiformal berwarna coklat.
"Max!" panggilku sedikit lebih keras.
"Hm?" Kudengar langkah kaki mendekat sambil meneguk teh kemasan milikku.
"Nanti malam kamu perform di mana?"
"Iya. Itu, aku suka. Acaranya perayaan wisuda. Mereka booking aku."
"Oh? Bakal seru dong. Banyak...,"
"Sexy-an kamu, Sugar. Kamu selalu bisa membuatku on dan berakhir berendam di kamar mandi."
Aku memutar bola mataku jengah. Dia seperti tidak ada rasa risih ketika mengatakan kalimat yang menurutku cukup vulgar itu. Aku menahan napasku ketika dia meletakkan botol teh itu di meja tak jauh darinya kemudian berjalan mendekatiku.
"Max."
"Hm?" Dia melingkarkan tangannya, memelukku dari belakang. Apa ada yang tahu? Aku hanya setinggi bahunya. Aku yang mungil atau dia yang terlalu tinggi?
"Hey, kamu harus kembali bekerja, Max."
"Aku tahu. Tapi aku mau recharge energiku dulu. Kiss."
"Nggak mau."
"Oh? Oke, nggak mau ya? Fine, aku tahu kamu dari mana. Kamu pergi kan sama Milly?"
Aku membelalakkan mataku. Bagaimana dia bisa tahu? Dia tertawa kecil.
"Tadi Pedro yang mau ambil bajuku. Tapi pas sampai, Pedro lihat kamu jalan sama Milly naik taksi."
Bahuku merosot seketika. Oh, Tuhan, mengapa Kau berikan jalan apapun untuknya mengawasiku?
"Little rabbit! Aku sudah pernah bilang kan? Jangan pergi tanpa aku bersamamu."
"Tapi... Max, ini Milly bukan pria lain."
"Aku tahu. Tapi siapa yang menjamin nggak akan ada pria yang menggodamu?"
"Oh? Oke. Siapa yang menjamin nggak ada wanita menggodamu?"
Dia memutar mulutnya. Dengan cepat dia membalikkan tubuhku hingga menghadap padanya. Tangannya menggenggam rahangku, menariknya sedikit hingga menatap lurus padanya.
"Tapi aku butuh bekerja untuk masa depan kita. Memangnya kamu mau puasa sepanjang waktu kalau aku nggak kerja?"
Aku mendengus. "Kenapa kamu selalu punya banyak alasan dan kamu nggak pernah bisa menerima alasanku."
"Oke, kita akan hangout dengan teman-temanmu. Tapi nanti kalau aku ada waktu lebih. Kalau aku sudah puas sama kamu."
Iya. Sampai gajah bertelur mungkin! dengusku dalam hati. Karena yang kutahu, meskipun Max memiliki waktu libur, dia pasti akan menghabiskan waktunya seharian bergelung di dalam selimut mengurung diriku. Dia bilang, dia sangat merindukan saat-saat itu dan dia belum puas meski seharian memelukku.
"Sama saja!"
"Beda."
"Di mana bedanya?"
"Di sini." Dia menyapukan ibu jarinya pada bibir bawahku dengan lembut sebelum akhirnya dia mendekatkan bibirnya, menghapuskan jarak di antara kami. Dia mulai menyerangku dengan ciuman yang kini menjadi candu bagiku. Bukan. Bagi kami. Manis, semuanya terasa manis ketika kami menikmati segalanya.
***
tbc..
trial dulu part awal. masih flat dan belum muncul konflik. kuharap ini seri terakhir yang sesuai dengan bayanganku. aamiin.
26 Des 2015
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top