ROOM 5
Emergency room baru saja kedatangan pasien, seorang wanita, korban perampokkan dan kekerasan di jalanan.
Wajahnya penuh lebam dan hidungnya berdarah, ia datang dengan ambulance bersama anaknya yang berusia sekitar 10 tahun, Jasmine yang sedang berjaga di sana pun langsung turun tangan menangani bersama para dokter lainnya.
"You're okay sweetie" ujar Jasmine sambil terus membersihkan sisa darah di keningnya yang tergores.
Anak itu shock karena melihat ibunya yang berdarah-darah dan tak sadarkan diri di depannya tadi.
"Is mommy okay?" tanyanya sambil menangis.
"She's okay...." sahut Jasmine tersenyum.
Anak itu hanya diam saja usai di bersihkan lukanya, ia takut, tak tahu mau berbicara apa karena kejadian tadi cukup menyita pikirannya.
"Lieve, do you wanna tell me about what happend to you and your mom?" tanya Jasmine hati-hati karena Jasmine khawatir akan psikisnya yang pasti terguncang.
Dia masih diam, namun menatap Jasmine dengan nanar. Sorot matanya masih menyiratkan ketakutan yang mendalam. "Eungg...." gumamnya.
"Tak apa kalau tidak ingin cerita" Jasmine tersenyum mengerti keadaan si anak perempuan di depannya ini.
"If you ready to tell me, i'll be right here" ujar Jasmine lagi, anak itu mengangguk samar menanggapi ucapan Jasmine.
Jasmine melangkah keluar dari ER, ia ingin ke ruagan loker sebentar untuk mengambil ponsel di tas dan menelepon ibunya di Jakarta.
"Jas?" panggil seseorang.
Jasmine berhenti dan menoleh begitu namanya di panggil. "Yup?"
Seseorang itu mendekat dan memberikan Jasmine kotak bekal. Jasmine mengerutkan kening dan kedua alisnya bertaut heran. "Wat betekent dit?" tanya Jasmine sambil menatap kotak bekal itu.
"Voor jij. Let's eat. I saw you really busy with everything in here, so i think you don't have enough time to eat some food" ujar lelaki di depan Jasmine yang tengah berdiri tegap.
Laki-laki lokal bernama Jeroen, dokter residen bedah di sini.
Jasmine melirik jam tangannya sekilas, masih jam 12.45 siang, itu artinya masih jauh dari kata buka puasa. "Um, sorry i can't, Jeroen" Jasmine mengangsurkan kembali kotak makan tersebut pada yang punya.
"But why?" Jeroen heran, mengapa Jasmine menolak pemberiannya. "It's kebab, for you. You're favorite, right?"
Jasmine tersenyum hambar. "Ya, i know. But sorry, i'm fasting today. It's monday. Mondaag-donderdag vastend" akhirnya Jasmine menjawab.
"Aahh.., sorry i don't know if you fasting today" jawab Jeroen tak enak hati jadinya.
Jasmine tersenyum seadanya, memaklumi ketidaktahuan Jeroen.
"It's okay Jeroen. So i'll leave now, see ya" pamit Jasmine sambil menganggukan kepalanya, Jeroen mengangguk dan menatap kepergian Jasmine dengan nanar.
Gagal lagi, gagal lagi. Sabar ya Jeroen.
🐢🐢🐢
Jasmine mendaratkan tubuhnya di atas kursi empuk di ruang lokernya setelah megambil ponsel di tas ranselnya, segera saja ia menelepon Ibunya di Jakarta, ibu Annisa Fadillah, seorang kepala sekolah di salah satu sekolah SMP di Jakarta. Di dering ketiga, telepon di angkat.
"Assalamualaikum, ibuk??" sapa Jasmine sekuat tenaga menahan suaranya agar tak bergetar.
"Wa'alaikumsalam anak ibuk..., nduk apa kabar?"
"Alhamdulillah, Una baik, buk. Ibuk sama Ayah gimana?" airmata Jasmine meluncur dashyat tanpa komando apapun dan sebisa mungkin tidak terisak.
"Alhamdulillah ibuk dan ayah juga baik sayang, kamu dimana ini nduk?"
"Una masih di rs buk, jaga pagi. Nanti sore juga Una sudah pulang kok"
"Ooh begitu, sudah makan nak?"
"Una puasa buk" jawabnya setelah meredakan tangisnya. "Ibu sudah pulang kerja ya?"
"Iya ini udah sampai rumah daritadi kok. Ya udah cah ayu, ibuk ada tamu nih, nanti sambung lagi ya?"
"Nggeh buk. Assalamualaikum"
"Wa'alaikumsalam...."
Jasmine menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, ia rindu ibunya. Jasmine homesick. Sudah dua tahun ini ia tak sempat pulang ke Jakarta, padahal uang tiket sudah ada namun Jasmine lebih memilih untuk meneruskan kegiatannya di sini. Jasmine rindu, serindu-rindunya.
Ah, tapi Jasmine tak boleh terus seperti ini, Jasmine harus kuat, harus professional. Setelah kuliahnya selesai Jasmine akan pulang dan bekerja di Jakarta saja. Karena sesungguhnya tinggal jauh dari keluarga dan orang tua itu sama sekali tidak menyenangkan.
"Jasmine?" seseorang menepuk bahu Jasmine sampai ia terhenyak dari tangisnya.
Ia buru-buru mengelap air mata yang tersisa dan mencoba tersenyum lalu berbalik badan menghadap seseorang itu. "Hi, Will. Ada apa?" tanyanya pura-pura tersenyum.
William, ya William the another man who-admire-Jasmine-so badly. Ia menatap Jasmine dengan kening berkerut seolah ia tidak mendengar pertanyaan Jasmine tadi.
Jasmine sampai harus melambaikan tangannya di depan wajah Willy hingga Willy tersadar dari lamunannya. "Ehm maaf Jasmine. Are you okay? Kenapa kamu menangis?" tanya Will akhirnya.
"No, i'm okay. I'm just tired" jawab Jasmine berdusta.
Willy semakin menatapnya dalam, menunggu jawaban sebenarnya karena ia tahu Jasmine berbohong.
"Are you lie to me?" cecarnya.
Jasmine menggeleng.
Jasmine membuang pandangannya ke arah lain dan tersenyum samar menanggapi pertanyaan Willy tadi.
"I'm okay, Will and this is not your bussiness" jawab Jasmine lalu meninggalkan Will yang mematung di ruang loker.
Jasmine tidak suka dengan William ataupun Jeroen, ia hanya menganggap mereka berdua hanyalah teman dan senior saja tidak lebih dari itu.
Entahlah mengapa Jasmine jadi dingin seperti ini, ia juga bingung dengan perasaannya sendiri saat ini padahal rasanya tidak ada seorang pun yang mengisi hatinya saat ini, atau seseorang yang sedang di taksirnya.
Namun akhir-akhir ini Jasmine jadi sering memikirkan seseorang, yang bertemu dengannya dan mengajaknya makan saat pertemuan PPI dan seminar waktu itu. "Bhima...." gumamnya.
Jasmine bukan tipe perempuan hoby pacaran, ia malu, malu dengan kerudungnya kalau masih ikut-ikut pacaran seperti temannya yang lain.
Cukuplah nanti bila ada jodoh yang datang ia berharap langsung menemui Ayah dan Ibunya, meminta restu untuk meminangnya.
Ia lebih baik ta'aruf atau pacarannya nanti setelah halal dari pada pacaran sekarang belum tentu nikah juga kan?
Entahlah, apa yang Jasmine rasa akhir-akhir ini membuat tidurnya tak lena, untung saja saat kerja ia masih bisa fokus, kalau tidak bisa bahaya.
"Hhh, kenapa sih kamu ada di kepala saya terus? Kamu siapa sih? Ketemu saja baru sekali-kalinya kemarin itu, tapi kamu kenapa ada di kepala saya terus sih?" batinnya lagi.
Ia meghela nafasnya kasar hingga membuat perhatian teman di sebelahnya teralihkan dan menolehkan kepalanya ke arah Jasmine yang sedang menginput data di medical record yang ia bawa sejak tadi.
"Are you alright?" tanya Meghan, roomate Jasmine.
"Hmm?" Jasmine menoleh menatap Meghan. "I'm okay, Meg"
"You look pale. Sudah makan siang?"
Jasmine menggeleng. "No, i'm fasting"
"Oopss, sorry" ujar Meghan, Jasmine hanya menanggapinya sambil tersenyum maklum saja.
Jasmine bukannya tak mau membuka hati, hanya saja rasa trauma akan kehilangan seseorang malah membuat hatinya semakin terluka bila kembali di ingat. Dulu, saat zaman SMA, Jasmine pernah di jodohkan oleh Ayahnya dan niatnya akan segera menikah dan kuliah di waktu bersamaan lalu menunda momongan.
Tapi sayang seribu sayang, saat Jasmine sudah suka, lelaki yang di jodohkan itu malah memutuskan perjodohan tersebut dan meninggalkan bekas-bekas luka yang tak berdarah di lubuk hati Jasmine.
Karena dia lah salah satu alasan kenapa Jasmine saat ini berada di Belanda setelah pemutusan perjodohan dan tragedi undangan itu. Untuk menenangkan hati dan pikirannya saat itu, Jasmine sempat down saat melihat undangan pernikahan mantan tunangannya tergeletak di meja teras sepulang Jasmine dari luar rumah.
Sejak hari itu, tekad Jasmine sudah bulat, ia akan berangkat ke Belanda, menempuh pendidikan di sini hingga gelar S1 atau bahkan S2 nya selesai di sini tanpa pernah memikirkan lagi soal jodoh atau pacar atau apapun sebutannya itu.
Setiap kali sang Ibu bertanya soal masa lalunya, Jasmine selalu hanya bilang tidak apa-apa padahal hatinya remuk redam saat itu sampai bila tiba-tiba teringat hatinya terasa perih. Amat-sangat perih terlebih beberapa bulan lalu saat Jasmine baru tahu dari temannya di Jakarta kalau mantan tunangannya itu sudah memiliki dua orang anak.
"Hhh, move on Jasmine!!" pekik hatinya.
Tapi, sejak pertemuannya dengan Bhima hari itu..., perasaan Jasmine jadi menghangat. Sikapnya terhadap Jasmine terlihat sangat lain, saat acara PPI berlangsung, Bhima banyak di hampiri teman-teman lain yang notabene perempuan, lelaki mana yang di sodori 'ikan' tidak tertarik?
Sepertinya hanya Bhima seorang, ia terlihat dingin dan cuek saja saat di hampiri mereka-mereka yang sepertinya terobsesi dengan Bhima.
Jasmine yang ada di situ hanya menonton saja, ia mengamati setiap gerak dan gerik Bhima di depan perempuan-perempuan itu dan ternyata mereka jengah sendiri dengan sikap Bhima yang terkesan diam dan dingin dan akhirnya mereka pergi.
Jasmine tentu hanya mengulas senyum melihat pemandangan itu dan Bhima langsung mengajaknya makan di luar karena merasa tak nyaman dengan acara itu. "Hah..., kenapa sih kamu tuh...." batinnya lagi.
.
.
.
tbc----
🐤🐤🐤
Hollaaaa syelamat pagii, ku kembali 🙋🙋 miss me?
Heehh, pede banget dedek hahaha 😁😂😂
Kangen Mas Bhima yaaaa??? Hayoo ngakuuu... 😂😂
Maaf banget telat update hihihi, baru dapet pencerahan. Itu pun aku harus berkutak dengan males dulu 😂😂 kerena tetiba lupa mau nulis apa, kecapekan juga jadi baru bisa update sekarang deh 🎉🎉 Yeay!
#DahGituAja
Danke,
Ifa 💕💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top