ROOM 47
Life is not about waiting for the storm to pass
But, it's about learning to dance in the rain..~
_________________
Bhima lantas menghempaskan tubuhnya di kasur, ia izin hari ini. Moodnya benar-benar rusak karena kekecewaan yang masih bertengger manis di hatinya.
Sungguh ia sebenernya tak tega melihat wajah Chika yang tadi memintanya untuk ikut mengantar ke sekolah. Tapi hatinya sedang panas, ia tak ingin akhirnya jadi bertengkar lagi dengan Jasmine di depan Chika.
Baik Mama ataupun Papa, tak ada satupun yang berani menanyakan ada apa sampai Bhima dan Jasmine seperti ini. Cukuplah biar mereka yang menyelesaikan tanpa campur tangan orang tua. Mereka sudah dewasa, pasti akan bertemu dengan titik akhir untuk masalah mereka.
Sementara Jasmine sedang berusaha menahan air matanya saat sudah dalam perjalanan pulang. Bhima mengabaikannya, seperti yang ia lakukan belakangan ini dan rasanya sesakit ini?
Pantas saja Allah meminta kembali si kecil dari rahimnya, Jasmine masih saja berkelakuan kepala batu seperti ini. Air mata itu akhirnya luruh, deras sekali di iringi Istighfar dalam hatinya, memohon ampunannya.
Namun apa yang Jasmine dapatkan ketika ia pulang? Bhima masih mendiamkannya seperti tadi pagi, sepertinya amarah Bhima belum reda. Jasmine menunduk dalam ketika matanya bertemu pandang dengan Bhima, jelas terlihat kilat kecewa di matanya.
Bhima berusaha diam dan tak peduli walau sesungguhnya hati merindu tak karuan. Ia memilih keluar saat Jasmine masuk ke dalam kamar.
Seketika Jasmine merasa ada yang meremukkan jantungnya. Sakiiittt. Apa ini yang Bhima rasa ketika ia mendiamkannya? Sungguh rasanya Jasmine sangat berdosa.
"Maafin aku, mas. Maafin aku..." gumamnya di sela tangisannya.
Dadanya terasa sesak sekarang, ingin ia berlari kepelukan Suaminya, meminta maaf atas segala kelakuannya selama ini namun seolah ego masih menguasai, Jasmine berdiam diri di kamar tak berusaha menyusul Bhima.
💕💕💕
Hari sudah beranjak siang, matahari kota Jakarta tengah bersinar dengan teriknya. Bhima juga sudah bersiap menjemput Chika dan berbarengan dengan Jasmine yang juga sudah rapih.
"Saya aja yang jemput Chika. Udah janji, kamu di rumah aja." ujar Bhima begitu melihat Jasmine berada di anak tangga.
Bhima segera menyambar kunci mobilnya, ia akan menjemput Chika di sekolah. Jasmine masih mematung di tangga, matanya kembali panas.
Kenapa ini semua jadi semakin rumit?? Ke mana Mas Bhima-nya yang tak pernah bisa lama-lama marah padanya?? Ke mana suaminya yang peduli?? Ke mana imamnya saat sholat? Kini semua terasa hambar!
Jasmine merasa sesak di dadanya semakin memuncak hingga akhirnya isakkan terjadi, lagi. Ia memilih kembali ke kamarnya, ia duduk di samping tempat tidurnya sambil memeluk kedua kakinya erat-erat. Tangisnya kembali menyesakkan, ia tak mau Ibu sampai tahu akan hal ini. Cukup Jasmine saha yang memendam saat ini.
Sementara di sekolah, Bhima langsung membawa Chika masuk ke dalam mobil dan mendudukannya di kursi depan lengkap dengan seatbelt nya.
Chika merasa ada yang lain pada Ayahnya. Biasanya Bhima selalu bertanya bagaimana harinya di sekolah? Namun kali ini Bhima hanya diam dan fokus dengan jalan di depannya.
"Eumm, ayah." panggilnya ragu-ragu.
"Iya kak?" sahut Bhima.
"Bunda, mana? Kok, nggak ikut?"
"Bunda di rumah. Istirahat." jawab Bhima lagi.
Chika hanya membulatkan bibirnya ber-oh ria mendengar jawaban Ayahnya. Ia diam saja sepanjang perjalanan sampai akhirnya mobil berhenti di rumah.
Hari ini Chika merasa aneh dengan kedua orang tuanya. Bunda juga seperti itu saat mengantarnya tadi pagi dan sekarang Ayahnya juga sama. Ia merasa bahwa ada yang salah di sini, apakah ia berbuat salah atau mengecewakan Ayah dan Bundanya?
Sepertinya tidak. Chika diam saja. Mendadak murung.
"Ayah?" panggilnya lagi sebelum turun.
Bhima menoleh, berusaha tersenyum menatap putrinya. Oh tidak, mata sendu itu. Bhima tahu maksud tatapan Chika jika seperti ini, wajahnya sedih dan sepertinya akan menangis sebentar lagi.
"Iya sayang?"
"Ayah, ayah sama bunda kenapa? Chika nakal ya? Chika salah ya ayah? Kok ayah diam aja daritadi? Bunda juga tadi pagi kayak gitu? Kenapa, yah??? Ayah kecewa sama Chika karena nilai ulangan Chika cuma 85? Iya, gitu, yah?" rentetnya tanpa jeda membiarkan sang Ayah menjawab pertanyaannya.
Chika lalu berusaha menahan isakkan nya. Sementara Bhima terhenyak dengan rentetan pertanyaan Chika barusan, apa jangan-jangan Chika memang merasa ada yang berbeda pada dirinya dan juga Jasmine tapi Chika tak pernah mau bicara.
Astagfirullah. Bhima hanya mampu beristighfar, lidahnya kelu tak mampu menjawab satupun pertanyaan putri kecilnya itu.
Merasa tak mendapat jawaban, Chika turun dari dalam mobil dan masuk ke dalam rumah setengah berlari. Bhima memejamkan matanya berusaha menahan segala gejolak yang ada. Ternyata sikapnya membuat sang anak bingung pada akhirnya.
Bhima menyusul Chika ke kamarnya namun sayang, ia kalah cepat dengan Jasmine. Bhima mencuri dengar dari pintu yang tak rapat tertutup itu, pertanyaan yang sama Chika lontarkan pula pada Bundanya, dan Jasmine juga tak bisa menjawab apapun.
"Chika nggak salah apa-apa sama Bunda dan Ayah. Chika jangan sedih lagi sayang ya," ujar Jasmine lembut lalu membelai kepala Chika.
"Beneran bunda sama ayah nggak apa-apa?" tanya Chika masih tak percaya.
"Iya sayang,"
💕💕💕💕
Bhima terbangun pukul 3 pagi. Usai makan, sholat isya dan menemani Chika bermain, Bhima langsung naik ke kamarnya.
Mereka masih dalam aksi mogok bicara satu sama lain. Belum ada yang mau mengalah. Bhima tiba-tiba teringat saat Bian dan Jihan tadi datang ke rumah, Jihan baru saja memeriksakan kehamilannya yang sudah memasuki minggu ke 10 itu.
Dan apa yang mereka dapat? Jihan hamil bayi kembar. Bhima bahagia akan kedatangan keponakan kembar lagi, namun hatinya seperti teriris begitu melihat Chika memeluk perut buncit Jihan lalu mengecupinya.
Allah. Kenapa cobaanMu begitu berat. Hamba iri ya Rabb!! Batin Bhima berteriak kencang begitu melihat Bian, kembarannya yang begitu mesra denga Jihan tanpa Jihan membantah sedikitpun perkataan Bian.
Bian yang notabene orangnya dingin, kini bisa berubah jadi romantis semenjak tahu Jihan mengandung buah hatinya. Di tambah lagi mereka akan dapat dua sekaligus.
Hhhhh
Bhima bangkit dari kasurnya, menuju kamar mandi dan mengambil wudhu. Ia gelar sajadah di samping kasurnya, mengumandangkan takbir lalu melaksanakan sholat tahajudnya.
Tepat di saat rakaat terakhir, Bhima menangis dalam sujudnya yang panjang. Ia memohon ampunan atas segala perbuatannya, atas segala dosanya agar ia bisa keluar dari semua masalah yang membelenggu keluarga kecilnya ini.
Sungguh, ia tak ingin ada perceraian dalam pernikahannya. Jasmine untuknya satu seumur hidup. Ia tak ingin masalah ini semakin larut dan membuat keadaan jadi semakin runyam tak karuan.
"Ya Allah, illahirobbi, ampuni dosa hamba, dosa istri hamba, kuatkan kami. Berikan kami kesabaran atas apa yang terjadi saat ini, tapakkan hati ini pada kesabaran yang takkan ada habisnya." isak Bhima di sela doanya.
"CobaanMu begitu berat dan banyak ya Rabb, hamba tahu, itu semua untuk menguji seberapa jauh iman kami sebagai hambaMu bisa bertahan. Kuatkan ya Rabb, kuatkan. Apapun yang terjadi, beri kami yang terbaik." isaknya makin terasa sesak.
Air mata tak berhenti sejak sujud terakhirnya hingga salam dan berdoa. Bhima sedih luar biasa, sedih karena merasa apapun yang dilakukannya kini selalu salah di mata Jasmine. Apapun itu, Bhima selalu merasa bersalah.
Tanpa Bhima sadari, sejak tadi ada Jasmine yang terbangun karena mendengar isakan Bhima. Ia masih dudum di atas kasurnya menahan rasa ingin menangisnya.
Tak tahan, ia menghampiri Bhima yang masih terisak di atas sajadahnya. Bhima terjingkat mendapati tiba-tiba Jasmine bersimpuh di hadapannya sambil ikut terisak-isak.
"Maafin aku, mas. Aku salah, aku durhaka, maafin aku," ujarnya bergetar sambil menyembunyikan wajahnya.
"Maafin aku mas, aku udah mendiamkan kamu selama ini. Maafin aku, iya, aku berdosa sama kamu," tangisnya makin kencang.
Bhima mengangkat tubuh Jasmine, di tangkupnya wajah yang sedang memerah karena menangis itu dengan kedua tangannya.
Jasmine masih menangis tersedu-sedu mengingat semua hal yang di lakukannya ternyata adalah salah. Ia merasa hambar dan semuanya terasa datar akibat dirinya yang masih belum bisa menerima kepergian Ananda.
Bahkan sampai hari ini Jasmine belum mau mengunjungi makamnya. Ia bersedih terlalu lama saja sudah salah, apalagi sampai mendiamkan Bhima seperti yang lalu?
Bhima menghapus jejak air mata di wajah Jasmine dengan tangannya. Ia kecup mulai kening, kedua mata, hidung dan bibir ranumnya sekilas. Ia tatap wajah Jasmine yang matanya masih tertutup rapat takut menatap Bhima.
"Mas udah maafkan." ucap Bhima kembali menatap Jasmine teduh.
"Dosaku banyak sama mas," gumamnya lalu menunduk dalam. "Maafin aku, aku bukan istri yang baik,"
Bhima membelai wajah Jasmine, menelusuri pipinya, lalu menghapus air matanya lagi. "Mas tahu kamu kehilangan, tapi tolong ingat. Di sini ada aku dan Chika, kami butuh kamu, dan Ananda, dia mungkin nggak di sini tapi ada di hati kita." ujar Bhima, Jasmine kembali terisak, Bhima memeluknya erat.
Direnggangkannya pelukan itu, lalu Jasmine mencium tangan Bhima dalam seraya memohon maaf sekali lagi atas kelakuannya itu.
"Sekarang, terserah mas mau apain aku. Do everything you want from me, aku mau." ucap Jasmine sambil menghapus air matanya sendiri.
Bhima paham maksud Jasmine, ia rengkuh Jasmine dalam gendongannya dan di rebahankan di atas kasur mereka sampai akhirnya semua itu terjadi lagi setelah berbulan-bulan.
💕💕💕💕
Hwallaawwhhhh momsye's back!!!
Ciyus ini terakhir bikin kalian nangis jamaah. Beneran serius!!! Ampun aku tuh nangis juga nulisnyahhh 😩😩😭😭😭
#dahgituaja
#awastypo
#salamsnelli
Danke,
Ifa 💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top