ROOM 46
"But sometimes, no matter how hard you try, it's still not enough."
-Meredith Grey-
Grey's Anatomy
________________
A few months later.
Bhima menghela napasnya berat saat Jasmine masih saja membalas dengan singkat pesannya di whatsapp. Hubungan mereka memang nampak baik saja, tapi, tapi itu semua semu. Kelihatan baik hanya di depan anak mereka, juga Mama dan Papa. Bhima lelah dengan semua ini.
Sudah hampir tiga bulan hubungan Bhima dan Jasmine renggang seperti ini, semenjak kejadian itu. Jasmine yang membuat jarak, di saat Bhima berusaha mendekat, Jasmine membuat batas di saat Bhima ingin sesuatu yang lebih, bahkan untuk sekedar dapat morning kiss, Bhima sudah tak pernah dapatkan. Apalagi kebutuhan batinnya.
Bhima melepaskan snelli nya, merapikan barang-barangnya lalu bergegas keluar dari ruangannya. Wajahnya sudah tak pernah lagi tersenyum saat ini, hanya pada pasien saja ia bisa menyembunyikan dan menutupi perasaan yang ada.
Ia mengendarai mobilnya langsung menuju rumah. Namun hatinya masih bimbang, pulang cepat atau dia keluyuran dulu? Satu sisi hatinya bilang bahwa sebaiknya ia keluyuran dulu, toh Jasmine juga sedang tak mau dengan Bhima kan? Namun sisi lainnya berkata berlawanan.
Tapi kasihan Chika. Ya sudah, ia mengalah lalu pulang saja.
Dan benar saja, sampai di rumah dengan keadaan sudah lelah bukan main. Inginnya sampai di rumah lalu disambut hangat istrinya, di siapkan makannya dan lain sebagainya yang biasa seorang istri lakukan.
Tapi sekarang, coba lihat. Chika sudah teriak-teriak heboh melihat Bhima pulang, Jasmine hanya diam di kamar seolah tak tahu bahwa suaminya itu sudah pulang.
"Bunda mana, kak?" tanyanya menatap Chika.
"Di kamar, yah. Dari habis suapin kakak makan belum turun lagi." sahut Chika datar sambil memilin-milin bonekanya.
"Oma, Opa?"
"Oma tadi ngelayat katanya ada meninggal di blok sebelah. Opa belum pulang kan," jelasnya.
Bhima menatap pintu kamarnya, entah mengapa ia ingin marah saat ini karena melihat anaknya sendirian di sini sementara Jasmine ada di kamar. Sedang apa, Chika juga tak tahu Bundanya melakukan apa di kamar.
"Ayah mandi dulu ya, kak."
Chika hanya mengangguk saja lalu kembali menonton teve.
Bhima masuk ke kamarnya, ia lihat Jasmine memunggunginya, Jasmine tengah menghadap ke jendela dan tidak melakukan apapun. Ia lalu meletakkan tas dan snellinya di kursi rias dan menggulung kemjeanya.
"Ekhem," Bhima berdeham, Jasmine membalik tubuhnya menghadap Bhima. Jasmine hanya tersenyum sedikit lalu menyalami Bhima, setelahnya ia kembali ke kasur sebelum Bhima sempat mencium kening Jasmine.
Hhhhh. Sudah lah.
Bhima segera masuk ke kamar mandi setelah mengambil setelan ganti di lemari. Ia segera mandi lalu keluar dengan kaos polosnya warna navy dan celana pendek abu-abu. Jasmine masih di tempat tadi, tak bergerak se-inchi pun juga, menoleh bahkan tidak.
Bertanya sudah makan atau belum saja tidak. Bhima hanya bisa menggelengkan kepalanya saja melihat kelakuan Istrinya saat ini. Tapi bisa jadi lain ketika di depan Chika juga Mama dan Papa.
Malas berdebat, Bhima memilih keluar dari kamar. Ia lihat Mama sudah kembali dan sedang bercanda dengan Chika, ia menuju meja makan dan menyendok makanannya.
Ada sayur kari, kentang balado dan sambal terasi juga kerupuk ikan. Bhima makan dalam diam, sendiri berusaha menelan. Sementara di dalam kamar Jasmine tengah menangis, ia merasa berdosa mendiamkan suaminya seperti itu namun hatinya belum mau berdekatan lebih lama dengan Bhima.
Ia tahu ia berdosa besar mengabaikannya, bertanya ingin makan apa pun Jasmine enggan. Semua yang terjadi akhir-akhir ini seperti topeng, opera sabun, karena kenyataannya bila sedang berdua seperti tadi ya seperti itu. Seperti orang tidak mengenal satu sama lain, seolah tak terjadi apa-apa, semua terasa hambar.
Usai makan, Bhima hanya diam menatap piringnya yang kosong. Ada yang hilang dalam dirinya, ia tahu risiko seseorang yang kehilangan anaknya, ya contohnya seperti Jasmine ini.
Tanpa Jasmine tahu, Bhima bahkan merasakan sedih yang teramat dalam bahkan sampai bisa merubah moodnya seketika ketika ditanya soal anak. Bhima memang tak pernah menunjukkan raut wajah sedih atau usai menangis di depan Jasmine
Bhima merasa bahwa semua ini ia penyebabnya. Ia tidak bisa menjaga istri dan amanah dari Allah yang sudah Jasmine tunggu sepanjang satu tahun lebih perjalanan pernikahan mereka.
There is life after dead. Bhima percaya itu, percaya bahwa suatu saat nanti ketika dirinya dipanggil pulang, ia bisa bertemu dengan malaikat kecilnya.
Mama memperhatikan Bhima dari jauh. Ia tahu perasaan anaknya, sebagai seorang ibu ia tahu betul masa di mana anaknya baik saja dan 'baik-baik saja'. Baru saja beliau ingin menghampiri namun Bhima beranjak dari kursi dan buru-buru masuk ke kamarnya lagi dengan wajah yang masih tertekuk masam.
"Oma, ayah kenapa, sih? Kok nggak mau main sama Chika?" tanya Chika polos, ia memang sadar bahwa ada yang berubah pada Ayah dan Bundanya namun ia tak ingin bertanya, ia takut.
"Ayah mungkin lagi capek banyak kerjaan di rs. Chika main sama Oma aja ya? Atau mau bobok aja di kamar Oma?"
"Chika mau bobok sama ayah dan bunda. Tapi Chika takut, oma. Bobok sama oma aja deh," jawabnya langsung menarik tangan Oma nya untuk segera masuk ke kamar.
Jasmine langsung menghapus air matanya saat Bhima membuka pintu kamarnya. Tetap dengan posisi yang sama seperti tadi, ia tak bereaksi sedikit pun ketika kasurnya sedikit berguncang karena Bhima rebahan di sampingnya.
Bhima hanya mampu menatap punggung yang terbalut gaun tidur itu. Ada rasa rindu membuncah di hati Bhima, ia merindukan istrinya tapi apa mau di kata kalau istrinya sendiri tak mau?
Ia berusaha meraih tubuh Jasmine, ia lingkarkan tangannya di pinggang Jasmine namun bukan kembali memeluk erat, tangan Bhima justru dihempaskannya.
Bhima terhenyak.
Oke di tolak. Bhima mencobanya hingga beberapa kali, ia menyerah lalu bangkit dari posisi rebahannya. "Aruna Jasmine!" hentaknya, Jasmine sedikit kaget.
Jasmine tahu, sebentar lagi pasti ia akan dimarahi Bhima. Ia juga tahu bahwa Bhima sudah menahan amarahnya lama sekali karena tingkahnya ini. Jasmine merubah posisinya menjadi duduk, lalu tertunduk.
"Kamu kenapa sih?!!" suara Bhima yang kencang jadi makin kencang. Masa bodo di dengar orang.
"Kenapa kamu nggak mau aku sentuh?!! Kenapa sedikit pun kamu nggak mau ku peluk?!! Kenapa!!"
Hentaknya, Jasmine mengkeret takut mendengar suaminya marah seperti ini. Jasmine kembali menangis.
"...Kamu tahu kan, apa hukumnya kalau seorang istri mengabaikan suamianya?!! Kamu begitu nggak satu dua hari!! Ini sudah berbulan-bulan!!"
Jasmine semakin menangis mendengar penuturan Bhima.
"Saya tahu, kamu sedih. Asal kamu tahu, saya juga!!"
Jasmine menutup kedua telinganya kuat-kuat. Ia takut. Takut sekali bila Bhima marah seperti ini.
"Tapi apa pantas, kamu bersedih berlarut-larut seperti ini? Aku tahu kamu seorang ibu yang pasti akan sedih luar biasa bila kehilangan buah hatinya. Aku tahu, paham. Tapi apa kamu pernah sadari bahwa di sini, di sini ada aku!!! Aku, si ayah yang berduka kehilangan calon buah hatinya, di tambah istri yang mengabaikannya berbulan-bulan dan berpura-pura semua baik saja di depan banyak orang!!"
Bhima masih dengan nafas memburu mencoba meredam kembali emosinya saat ini.
"Kalau kamu masih terus seperti ini. Ya udah, terserah. Aku udah berusaha tapi kamu memilih seperti ini, baik. Aku yang akan mundur bila itu maumu." Bhima segera mengganti bajunya. Lalu keluar dari kamarnya dengan membanting pintu kuat-kuat serta perasaan yang carut marut.
BRAAAKKKK!!!
Tangis Jasmine pecah saat Bhima mengucapkan kata terakhir sebelum keluar dari kamar dengan celana training serta jaket parasut hitamnya. Ia menangis tersedu sambil memukuli dadanya.
Ia tak mau menyerah begitu saja. Ia tak ingin rumah tangganya hancur perlahan hanya karena duka berkepanjangan yang di alaminya. Ia memeluk kedua kakinya dan menangis tanpa peduli lagi terdengar Mama.
Bhima tengah mencari kunci motornya di kotak kunci ketika Mama keluar dari kamarnya. Beliau mendengar semua yang terjadi, rumah memang sedang sepi jadi suara kecil pun dapat terdengar.
"Jangan lari dari masalahmu, Abhimata." ujar Mama demikian lalu membuat Bhima menghentikan langkahnya di depan pintu yang menghubungkannya dengan garasi.
"Maaf, Ma. Tapi Bhima butuh menenangkan diri. Permisi, Assalamualaikum." Bhima lalu masuk ke dalam garasi lalu keluar dengan motornya entah ke mana sementara Jasmine masih menangisi kesalahannya setelah Bhima mengeluarkan semua unek-uneknya yang di pendam selama beberapa bulan belakangan ini.
Bhima menembus kemacetan Jakarta yang masih nampak padat padahal sudah pukul 9 malam. Ia tak tahu mau ke mana jadi ia putuskan malam ini untuk menginap di rumah Bunda Ella.
"Assalamualaikum, Bunda." ucap Bhima saat masuk ke dalam rumah. Bunda El dan Ayah Mario memandangnya bingung.
"Wa'alaikumsalam, Bhima."
"Lho, Jasmine dan Chika mana?" tanya Bunda begitu melihat Bhima sendirian saja.
Bhima diam sejenak. "Mas numpang tidur, bun, yah."
Keduanya mengangguk namun tetap dengan tatapan bingung mereka. Bhima segera naik ke atas dan merebahkan tubuhnya begitu saja.
"Itu anak pasti kenapa-kenapa deh, bun. Coba kamu tengok, nggak biasanya dia begitu," ujar Ayah Mario, Bunda El hanya mengangguk lalu naik ke atas.
Ia membuka pintu kamar di depannya perlahan dan melihat Bhima tengah meringkuk. "Mas Bhima," panggilnya, Bhima menoleh.
"Ya bunda?"
Beliau duduk di tepi kasur. "Kamu ada apa? Nggak biasanya lho. Ada masalah? Cerita sama Bunda kalau kamu berat cerita ke Mamamu,"
Bhima diam menatap tantenya itu. Memang rumah ini adalah tempat pelarian dan menepinya dari segala hal jika sesuatu terjadi. "Jasmine, bun." sahut Bhima. "Mas tahu nggak seharusnya mas kabur-kaburan begini, tapi mas juga punya perasaan. Mas merasa nggak berguna akhir-akhir ini, setelah kejadian kemarin, tiap kali kami berduaan udah nggak pernah lagi saling sapa. Kami kelihatan akur hanya di depan Chika, bun, Jasmine nggak mau mas sentuh, nggak pernah ada kontak fisik lagi setelah hari itu. Dan puncaknya, tadi,"
Bhima menghebuskan napasnya berat, beban di pundaknya semakin terasa saat ini. "..sikapnya begini udah 3bulan, bunda. Mas tahu Jasmine berduka, mas pun. Tapi apa bagus kalau kita terus meratap seperti itu seolah tak ada hari esok?"
Bunda El mengusap lengan Bhima pelan. Ia tahu rasanya, ia pernah berada di titik ini sebelum Aluna hadir. "Bunda pernah ada di posisi Jasmine. Bunda pernah hampir bercerai dengan Ayah karena sikap Bunda berubah setelah keguguran pertama, sebelum akhirnya hadir Aluna. Bunda ingin menyerah dan pasrah saja jika Ayah dulu menceraikan bunda karena tak memberinya keturunan, namun Ayah justru menahan bunda, berusaha lagi dan menggandeng bunda untuk menghadapinya bersama tak peduli kata orang."
"..bunda paham pasti ini berat untuk kalian. Sudah banyak cobaan yang kalian hadapi sejak sebelum menikah sampai hari ini. Itu tandanya Allah sayang, Allah sudah menyiapkan yang lebih baik dari ini, berdoa yang kuat, rayu Allah agar Jasmine di lembutkan hatinya dan ikhlas dengan semua yang terjadi. Allah mengujimu karena Dia tahu kalian bisa melewatinya," beliau mengusap kepala Bhima perlahan.
Ia sedih melihat Bhima seperti ini, terlihat kuat namun rapuh di dalamnya. "Istirahat, besok kamu temui Jasmine dan saling instrospeksi diri masing-masing." lanjutnya lagi lalu meninggalkan Bhima yang masih terpaku di tempatnya.
Bhima kecewa dengan semua yang terjadi belakangan ini. Sebelumnya nampak baik saja, namun lama kelamaan mereka semakin menjauh, jauh dan jauh. Jarak yang dibuat Jasmine semakin jelas ketika Bhima sadar bahwa ia ditolak istrinya sendiri
Kecewa.
Datar.
Hampa.
Hambar.
Bhima kembali merebahkan tubuhnya lagi, lalu menutup matanya dengan dahi yang mengkerut dalam. Ia butuh tenang saat ini.
💕💕💕💕
Jasmine terbangun dengan wajah sembab, ia meraba sebelahnya, tak ada orang. Bhima meninggalkannya sendiri dan pasti tidak pulang semalaman, ia tahu ini semua salahnya membiarkan dan mengabaikan Bhima terlalu lama seperti ini.
Air matanya kembali terjatuh saat mengingat kejadian semalam yang membuatnya menangis hingga pulas tertidur.
"Maafin aku, mas." gumamnya sambil menatap kaos biru navy yang Bhima pakai semalam sebelum di ganti masih tergeletak di atas tempat tidur.
Ia bergegas bangun lalu mandi, ia harus menyiapkan sarapan untuk Chika dan mengantarnya ke sekolah. Jasmine segera turun setelah selesai, nampak Mama yang memperhatikan namun Jasmine berusaha tidak tahu.
"Bunda, ayah mana? Kok, belum kelihatan?" tanya Chika menatap Jasmine.
"Ayah udah berangkat ke rs. Chika sama bunda aja ya di antar ke sekolahnya?" tawar Jasmine, Chika nampak cemberut dan mau tak mau menuruti kata Bundanya.
"Ya udah," sahutnya pendek dan kembali menyuap makanannya.
Selesai dengan sarapannya Jasmine segera keluar rumah dan menuju mobilnya namun tepat saat itu Bhima sampai di rumah. "Ayah!!!" pekik Chika kegirangan melihat Ayahnya.
Bhima lantas memarkirkan motor dan melepas helmnya lalu menyapa Chika. "Kakak sama bunda dulu ya, ayah capek mau istirahat."
"Yaahhh, ayah kok gitu." Chika mendadak sendu.
"Nanti pulangnya ayah jemput, oke cantik?"
Mata Chika berbinar lagi. "Beneran ayah?" Bhima mengangguk pasti lalu mengecup kening Chika, Jasmine masih diam di tempatnya.
"Berangkat gih, hati-hati ya."
"Daaa ayaaahhh,"
Bhima melambaikan tangannya sebelum masul ke dalam rumah. Ia melewati Jasmine begitu saja tanpa tegur sapa apalagi cium kening lalu menghilang masuk ke dalam rumah.
💕💕💕💕
A/n: cerita dalam part ini terinspirasi dari kisah nyata.
HWALLAAWWHHHH MOMSYE'S BACK!!! Udah nggak tahan mau up part ini fufufu.. maafkan aku ya sayangs 😭😭😭
Udah ah, selamat membaca dan siapkan tisue kalian.
#dahgituaja
#awastypo
#SalamSnelli
Danke,
Ifa 💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top