ROOM 44
Biasakan follow dahulu, lalu tinggalkan jejak di cerita yang kamu baca. Thanks.
______________
Two weeks later
Sudah dua minggu setelah kejadian itu Jasmine masih belum mau pulang ke rumah Mama. Sejak keluar dari rumah sakit setelah recovery, ia lebih memilih pulang ke rumah Ibunya. Bahkan sampai hari ini pun ia tak menanyakan di mana Chika, apa kabarnya, bagaimana sekolahnya. Seolah ia lupa bahwa ada satu malaikat kecil lainnya yang menunggu dirinya untuk pulang.
Jasmine masih sering duduk termenung memandangi kolam ikan dengan tatapan kosong di teras belakang rumahnya dan menangis tiba-tiba bila mengingat kejadian lalu. Ia bahkan tak ingin di dekati siapapun, termasuk Ibu dan Ayahnya, ia butuh sendiri tak butuh kata-kata penyemangat atau apapun, yang ia butuhkan hanyalah ketenangan setelah turbulensi besar terjadi dalam hidupnya.
Bhima juga jadi serba salah karena apapun yang ia lakukan selalu salah di mata Istrinya. Bahkan saat tidur pun mereka tak lagi saling berpelukan seperti biasanya, mereka saling memunggungi satu sama lainnya. Ia juga jadi kasihan dengan Chika yang kerap kali menanyakan Bunda ketika sepulang kerja Bhima mampir ke rumah Mama.
Pernikahan mereka menjadi renggang, tak ada sapaan hangat selamat pagi, kecupan manis sebelum berangkat kerja seperti biasa dan hal-hal kecil lainnya yang biasa mereka lakukan sebelumnya.
Tanpa Jasmine tahu, Bhima juga sering menangis sendiri dalam sholatnya. Mengapa hal ini harus menimpa keluarga kecilnya? Kenapa malaikat kecil yang selama ini mereka nanti kan harus pergi selamanya tanpa sempat Bhima menggendong sambil mengumandangkan adzan di telinganya.
"Astagfirullah," desis Bhima sambil mengusap wajahnya kasar saat ia masih berjaga di Poli Umum. Sepertinya sore ini ia akan mampir ke makam lalu ke rumah Mama sebentar untuk menemani Chika sampai ia tidur.
💕💕💕💕
"Bhima," tegur Adrian saat Bhima lewat di hadapannya hendak pulang.
"Dok," sahut Bhima lalu menghampiri Adrian di nurse station.
"Don't call me like that, bukan jam kerja," ujar Adrian lalu Bhima terkekeh pelan. "Udah mau pulang? How's Jasmine?"
Bhima menghela napasnya berat. "Masih sama, Pa. Belum ada perubahan, bahkan Chika aja seperti di lupakan Jasmine." jawabnya pelan.
"Sabar, Jasmine sedang dalam masanya. Papa mungkin nggak pernah ada di posisi kamu, tapi Papa tahu rasanya seorang ibu yang kehilangan anak seperti apa karena Mama Nadia pernah mengalaminya. Satu hal yang perlu kamu lakukan saat ini adalah terus bersamanya, walau ada kerenggangan dalam hubungan kalian, tapi bertahan adalah satu-satunya jalan terbaik." Adrian berujar sambil meremas bahu Bhima pelan.
Bhima mengangguk pelan, hatinya sedang bergemuruh rindu pada Jasmine. Tapi apalah yang bisa Bhima lakukan bila Jasmine terus menerus menolak dirinya. Ia lalu pamit pulang dengan wajah yang masih sama sendunya seperti dua minggu yang lalu.
Ia melajukan mobilnya keluar dari rumah sakit menuju area pemakaman khusus di daerah Tanah Kusir. Untungnya lalu lintas sedang bersahabat jadi Bhima bisa cepat sampai di TPU, ia memarkirkan mobilnya di pinggir jalan lalu membeli sekantong bunga dan sebotol air mawar.
Berjalan pelan sampai di depan makam mungil itu lagi. Bhima memejamkan matanya, meredam air mata yang sejak tadi ingin meluruh dari matanya. Ia berjongkok sambil memanjatkan doa untuk Ananda dan Ibu Anneke.
Dua orang yang di sayangi Allah sampai di minta pulang lebih dahulu. Bhima percaya, ia dan Jasmine akan di pertemukan dengan Ananda di JannahNya.
Bhima menatap makam anaknya sambil terus terdiam namun hatinya terus berbicara. Menyampaikan apa yang ia rasa selama dua minggu ini, bagaimana Bunda merindukan Ananda namun belum mau mengunjungi tapi suatu saat pasti Bunda akan datang menengok ke sini.
Hari sudah menjelang gelap, matahari hampir tak terlihat lagi. Bhima membersihkan sekitar makam itu dari dedaunan yang terbang lalu menaburi dua makam di depannya dengan bunga juga di sirami air agar rumput yang menutupi terlihat segar.
Tanpa mengucap apapun Bhima keluar dari sana, melangkah keluar menuju mobilnya dan segera menuju pejaten. Ia rindu Chika. Menembus kemacetan Jakarta akhirnya Bhima sampai di rumahnya, ia masuk sambil mengucap salam namun rumah besar itu nampak sepi sekali. Kemana semua penghuninya?
Mobil Mama dan Papa juga motor matic Kani ada di garasi namun tak ada satupun orang di sini termasuk Chika. Bhima memilih naik ke lantai dua dan mencari di mana putrinya, ia buka pintu coklat di hadapannya. Di sana ada Chika tengah duduk termenung di balkon tanpa beralaskan apapun, menengadah ke langit dengan sinar bulan yang terang tak menyadari kedatangan Ayahnya.
Bhima berdiri di tempatnya memperhatikan gerak gerim Chika yang mendadak terisak di sana. Sambil menggumamkan kata ia rindu sekali dengan Bundanya.
Punggung Chika bergetar, ia peluk boneka teddy bear pemberian Bunda waktu itu erat-erat. Sungguh ia rindu Bunda! Bhima menghampiri Chika lalu memeluknya dari belakang, Chika terhenyak lalu membalik badannya dan balas memeluk Ayahnya.
Ia menangis sejadi-jadinya menumpahkan kesedihannya, ia paham Bunda dan Ayahnya sedang berduka, dirinya pun. Namun apa yang bisa ia lakukan? Ia bukan tak mau menegur sang Bunda dan memberinya pelukan, ia terlalu takut menatap mata Bundanya yang sedang memancarkan kesedihan yang begitu mendalam. Amat. Sangat. Dalam.
"Maafin Bunda dan Ayah ya sayang," gumam Bhima sambil terus memeluk Chika. "Chika kangen Bunda ya?"
Chika hanya mampu mengangguk, air matanya terus luhur. Perih hati Bhima melihatnya, ia tak pernah melihat Chika sesedih ini sebelumnya, yang ia tahu adalah Chika anak yang periang, namun akhir-akhir ini selalu nampak murung.
Bahkan, kerap kali Bhima mendapat laporan dari guru kelas Chika bahwa anaknya itu selalu diam bila di ganggu teman-temannya, selalu terlihat menyendiri dan enggan di dekati. Beberapa nilainya juga turun drastis selama dua minggu ini dan pada akhirnya Bhima harus menjelaskan ada apa dengan anaknya yang sekarang masih terpukul.
Tangis Chika mereda akhirnya, ia tatap wajah Ayahnya dengan mata sendu sembabnya, tanpa kata ia peluk Ayahnya. "Chika mau ikut ayah ke rumah Uti?" ajak Bhima.
Chika menggeleng. "Chika cuma nggak mau Bunda sedih, ayah. Biarin Chika di sini aja sama Oma, nggak apa-apa. Chika, kan, udah biasa sendiri." jawabnya lalu melepaskan pelukan Ayahnya dan naik ke atas tempat tidur dan memunggungi Ayahnya.
Bhima tercenung mendengar penuturan putri kecilnya itu. Chika kembali menangis, Bhima mencoba memeluk Chika namun tangannya di singkirkan begitu saja. "Ayah ke Bunda aja, nanti dicariin. Aku nggak apa-apa kok di sini sama Oma, ayah pulang aja." tolaknya sambil terisak-isak.
Namun Bhima bergeming tetap di tempatnya semula, memeluk Chika dalam posisi miring walaupun penuh penolakan namun lama kelamaan penolakan itu hilang, Chika sudah. terlelap dengan sisa-siaa air matanya.
Bhima mengendurkan pelukannya lalu menyimuti Chika. Ia beralih ke meja belajar, di sana ada beberapa lembar kertas dan krayon pastel. Ia mengambil selembar di antaranya lalu lembar lainnya yang membuat Bhima menangis tertahan.
"Cepat sembuh Bunda"
"Chika sayang Ayah dan Bunda"
"Bunda jangan sedih ya!"
Bhima pejamkan matanya, serindu itukah Chika pada Jasmine? Jasmine harus lihat ini, Bhima gulung kertas itu jadi satu, ia kecup kening Chika dan mematikan lampu kamarnya lalu keluar dari sana.
"Bhima?" sapa Mama saat melihat Bhima turun dari tangga.
"Mama," Bhima langsung menyalami Mama.
"Chika nangis lagi ya?" tebaknya, Bhima hanya mengangguk. "Dia kangen Bundanya, coba kamu bujuk lagi dia buat pulang ke sini, atau Chika yang ke sana."
"Chika nggak mau, mam. Dia mau di sini aja katanya sama oma, dia masih takut lihat bunda." sahut Bhima sendu.
Mama hanya bisa menghela napasnya sambil mengelus lengan Bhima. "Ya udah, kamu sabar-sabar aja ya? PPD* itu nggak mudah, apalagi buat yang seperti Jasmine. Tangani dengan hati, ajak bicara pelan-pelan. Seiring berjalannya waktu, dia pasti menerima, jangan putus doa untuk selalu minta di kuatkan. Doa mama papa juga nggak pernah putus untuk anak-anak dan cucu-cucu mama, terutama kamu saat ini." ujarnya menenangkan lalu memeluk Bhima, mengusap punggungnya beberapa kali.
"..pulang, temui Jasmine. Bicara baik-baik." tutupnya saat melepaskan pelukannya.
"Iya mam, Bhima pulang dulu. Assalamualaikum," Bhima raih punggung tangan Mama lalu di ciumnya lama.
"Wa'alaikumsalam." sahut Mama begitu Bhima berlalu dan menutup pintu depan.
💕💕💕💕
Bhima hanya diam dan fokus menyetir sepanjang perjalanan, kabin mobilnya sepi, tak seperti biasanya yang selalu riuh dengan tawa juga celoteh Chika. Jarak yang tak terlalu jauh membuat Bhima jadi cepat sampai di rumah, saat masuk, ia di sambut Ibu dan Ayah yang hendak tidur karena memang sudah jam 10 malam juga.
Ia langsung naik menuju kamarnya, di sana Jasmine tengah meringkuk lagi-lagi dengan tatapan kosong. Bhima coba mendekati dan berlutut di hadapannya, mengsuap wajah Jasmine perlahan di kecupnya kening itu tanpa penolakan yang ada Jasmine malah menangis setelah Bhima berhasil memeluknya.
"Maafin aku mas, maafin aku.." ujarnya penuh sesal, matanya sudah berkantung, wajahnya lesu.
"Kamu nggak salah sayang. Udah ya," Bhima menempelkan keningnya ke kening Jasmine, menghapuskan air matanya lalu mengecup bibir Jasmine sekilas. "Ada yang rindu sekali sama kamu," Bhima menyodorkan gulungan kertas yang tadi ia ambil dari kamar Chika.
Jasmine membukanya perlahan dan satu persatu ia baca dan hasilnya ia malah kembali menangis. Ia baru teringat ada Chika yang menunggunya. Sejak hari pertama di rumah sakit bahkan Chika tak menyapanya, ia sedang kalut tak melihat sekitarnya.
Bhima menceritakan bahwa setiap malam selama dua minggu ini ia selalu mampir ke rumah Mama dan menidurkan Chika yang selalu menangis dan menanyakan Bunda. Sampai barusan pun juga seperti itu, Jasmine serasa di tampar. Ibu macam apa dia? Berduka sampai putrinya terabaikan!
"Maafin bunda, sayang." ia kembali menangis di pelukan Bhima setelah membaca lembar demi lembar gambar yang dibuat anaknya itu. "Aku mau pulang ke rumah mama besok,"
"Iya, kita pulang ya. Besok weekend, Chika pasti senang," Bhima kembali membawa Jasmine dalam pelukannya. Ia merindukan istrinya, begitupun Jasmine, ia baru sadar lagi kalau ia kini merindukan candunya yang sekarang sedang memeluknya erat-erat.
*Mulmed On*
When I look into your eyes
It's like watching the night skies
Or a beautiful sunrise
There's so much they hold
And just like them old stars
I see that you've come so far
To be right where you are
How old is your soul?
I won't give up on us, even if the skies get rough
I'm giving you all my love, I'm still looking up
And when you're needing your space, to do some navigating
I'll be here patiently waiting, to see what you find
'Cause even the stars they burn
Some even fall to the earth
We've got a lot to learn
God knows we're worth it
No, I won't give up
I don't wanna be someone who walks away so easily
I'm here to stay and make the difference that I can make
Our differences they do a lot to teach us how to use
The tools and gifts we got yeah, we got a lot at stake
And in the end, you're still my friend at least we did intend
For us to work we didn't break, we didn't burn
We had to learn how to bend without the world caving in
I had to learn what I've got, and what I'm not and who I am
I won't give up on us, even if the skies get rough
I'm giving you all my love
I'm still looking up, still looking up
I won't give up on us
God knows I'm tough enough
We've got a lot to learn
God knows we're worth it
I won't give up on us, even if the skies get rough
I'm giving you all my love, I'm still looking up
💕💕💕💕
Hwallaawwhhhh momsye's back sayang 😚😚😚😚
Janji ini terakhir bikin sedih-sedih yaaa 😆😆😆 so sowrryy 😚😚
#dahgituaja
#awastypo
#SalamSnelli
Danke,
Ifa 💕
Author note:
-PPD (bukan nama bus yaa😝) PPD- Post Partum Depression
Mulmed: Jason Mraz-I Won't Give Up
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top