ROOM 42
Akhirnya usai sudah serangkaian acara pernikahan Bian dan Jihan. Sepulang dari rumah Jihan, Chika langsung terlelap di kursi tengah, masih dengan gaun princess dan kerudungnya ia begitu saja tertidur. Kelelahan main dengan saudara yang lain saat acara, bundanya sibuk mengukuti anaknya kesana kemari.
Begitu sampai di rumah, Bhima langsung memindahkan Chika ke kamarnya dan Jasmine menggantikan bajunya, Chika tertidur tanpa terusik itu artinya ia sudah kelewat lelah, untung saja besok hari minggu jadi dia bisa bangun sesiang yang ia suka.
"Mas," panggil Jasmine nampak wajahnya sedikit menahan sakit.
"Iya bun?" sahut Bhima sambil menyuap makanannya, Jasmine menggeleng lalu tersenyum menandakan bahwa ia tak apa, Bhima bisa lanjutkan makan malam yang kelewat malam itu.
Menit berikutnya Bhima selesai dengan makannya. Ia beralih naik ke kasur, Jasmine sudah berbaring, Bhima perhatikan sejak tadi istrinya ini meringis-ringis pelan, sesekali mengigiy bibir bawahanya berusaha meredam sakit yang menusuk perutnya.
"Kenceng bun," ujar Bhima dengan khawatir saat mengusap perut Jasmine
"Ssshhhhh," ringisnya lagi lalu mengeratkan pegangannya pada Bhima lalu merapal doa agar kandungannya tak apa. "Aku kenapa lagi, mas? Kok gini rasanya? Aaarghhh sakit!! Mas sakit!!" teriaknya tak tertahankan.
"Bun, darah." gumam Bhima pelan namun mampu membuat Jasmine syok seketika saat melihat cairan bercampur darah merembes dan membuat baju tidur Jasmine basah.
"Ya Allah. Astagfirullah, anakku." Jasmine lemas, Bhima langsung membuka pintu kamarnya lalu menggendong Jasmine keluar dari sana.
Teriakan Bhima membangungkan Mama dan Papa yang hampir saja tertidur. Mereka buru-buru masuk ke mobil, Papa menyetir dan segera meluncur ke KMC.
Kepala Jasmine sudah terasa seperti berputar-putar. Rasanya ringan. Ia sudah separuh sadar saat perjalanan ke KMC, sejak tadi mulutnya meracau tak jelas. Hingga akhirnya semua gelap, Jasmine pingsan dan Bhima makin freak out saat Jasmine tak sadarkan diri hingga sampai di ER KMC.
Papa berhenti di depan ER sampai ban mobil berdenyit nyaring, Mama dengan sigap turun dan memanggil beberapa suster lalu kembali dengan brankar.
Genggaman tangan Bhima tak lepas sampai brankar masuk ke dalam ER dan dirinya tak boleh masuk. "Sus, saya mau nemenin di dalam," pinta Bhima memelas, wajahnya sudah pucat.
"Maaf, dr. Bhima bisa tunggu di luar." perintah Suster ER dan langsung menutup pintu ER rapat-rapat.
Mama meremas bahu Bhima lalu membawanya duduk di salah satu kursi depan ER. "Yang tenang, mama tadi tanya suster kalau dr. Andara lagi di sini. Beliau ada operasi SC dan baru aja selesai. Tenang ya," ujarnya berusaha menenangkan anak lelakinya ini.
Bhima hanya menatap ER dengan nanar tanpa berniat mengucapkan sepatah kata apapun. Dalam hati ia terus merapal agar Jasmine dan bayi mereka baik-baik saja.
dr. Andara baru saja masuk ke dalam ER, ia langsung tahu apa yang terjadi pada Jasmine saat ini begitu di lihat dari bajunya yang penuh darah. Ia juga baru sadar kalau beberapa bulan yang lalu Jasmine baru saja menjalani operasi laparoscopy bersama dr. Nadia saat kemarin Jasmine pulang setelah pemeriksaan.
Ia keluar dari sana lalu menghampiri Bhima yang masih duduk bersama Mama dan Papa. "Bhima," panggilnya.
"Iya? Dok, Jasmine nggak apa-apa kan?" pertanyaannya seperti Bhima bukan dokter saja. Sudahlah pasti ia tahu akan berakhir apa kalau Jasmine sudah seperti ini.
"Setelah saya periksa dan merunut kejadian sebelum Jasmine di bawa ke sini sepertinya harus di lakukan kuretase secepatnya," papar dr. Andara, inilah pekerjaan paling sulit, sesuatu yang buruk harus di sampaikannya saat di salah satu ruangan baru saja ada rona bahagia menyambut kelahiran anak mereka.
Duaaarrr
Bhima lemas seketika, mungkin kalau Mama tak memeganginya ia sudah jatuh sekarang. "Ku-kuret, dok?" Bhima tergagap, dr. Andara hanya mengangguk. Mata Bhima sudah berkabut, sebentar lagi ia pasti menangis. Ia mengangguk lemah membiarkan dr. Andara melakukan pekerjaannya.
Sekuat apapun Bhima menahan dr. Andara agar tak melakukan tindakan, takkan merubah apapun yang ada. Sebulir air mata jatuh meluncur di pipi Bhima, ia mencoba menahan namun hatinya menolak, ia akhirnya menangis tersedu di pelukan Mama.
It's okay to cry, right?
Mama bisa merasakan tangisan yang begitu sesak. Ia memeluk putranya erat, ia tak pernah melihat Bhima menangis teraedu seperti ini, ia mungkin tak pernah ada di posisi Jasmine saat ini namun ia tahu rasanya berpisah dan di pisahkan dengan anak itu sakitnya luar biasa.
Mama menangkup wajah Bhima, ia masih diam namun matanya tak henti mengeluarkan air mata. "Apa salah mas ma?? Kenapa di saat Bhima akan jadi seorang ayah, Allah ambil lagi anak mas, ma?? Kenapaa??" suaranya menggema di lorong ER yang sepi.
"Hey, mas, dengar mama. Kamu atau Jasmine nggak salah apa-apa, tidak ada yang salah di sini. Allah sedang menguji kalian, Allah sedang rindu. Anak itu titipan Allah dan kamu, udah jadi ayah, mas. Chika anakmu juga, jaga dia." Mama kembali memeluk putranya.
"Maafin mas ma, maafin mas," gumamnya.
***
Sinar matahari menelusup masuk ke dalam ruang rawat Jasmine. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali mengumpulkan fokusnya, ia lihat Bhima masih tertidur di sebelahnya menelungkupkan wajah di lipatan tangannya.
"Mas?" panggilnya lirih, Bhima segera terjaga dan mengusap wajahnya. Seketika jantungnya berdegub tak karuan.
"Ya sayang?"
"Aku kenapa?" tanya Jasmine, Bhima hanya mampu diam. Ia tak mampu bagaimana menjelaskan semua ini pada Jasmine.
"Mas? Aku tanya? Dijawab dong," Jasmine mengulang pertanyaannya.
"Maaf," gumam Bhima
"Untuk apa?" Jasmine mengerutkan dahinya bingung, ia masih tak paham.
"Semalam, harusnya aku bisa lebih cepat bawa kamu ke sini,"
"Astagfirullah!! Dedek!!" pekiknya lalu meraba perutnya, rata. "Anakku?? Adiknya Chika kenapa mas??!!" tangis Jasmine pecah seketika saat menyadari bahwa anak yang di kandungnya sudah diminta pulang oleh sang Maha Pemberi Kehidupan.
Bhima hanya mampu memeluk Jasmine yang masih terisak hebat, berusaha menenangkannya dengan segala cara sambil berulang kali mengumandangkan kata Maaf di telinga Jasmine, memohon maaf karena tak mampu menjaga titipanNya.
"Mas. Maafin aku, aku terlalu menyepelakan adek, aku terlalu abai kemarin.. aku.. aku.." ucapannya terhenti, tenggorokkannya tercekat, lidahnya kelu tak sanggup mengucap apapun.
"..Maafin aku mas. Aku jahat, aku yang menyebabkan adek jadi kayak gini,"
"Shhhh... Kamu gak jahat. Semua udah kehendak Allah," ujar Bhima sambil menahan tangan Jasmine agar tak memukul-mukul perutnya terus menerus.
"Jangan nyakitin dan nyalahin diri sendiri sayang, semua kehendak Allah," ulangnya sekali lagi lalu memeluk Jasmine erat.
"Aku udah nunggu lama, Allah udah kasih dan aku menyia-nyiakan itu semua. Astagfirullah, ampun ya Allah, Gusti. Maafin aku, mas, aku nggak becus jadi ibu," ucapnya masih memeluk Bhima erat-erat.
"Kamu ibu yang baik. Nggak ada ibu yang nggak baik,"
Jasmine terus terisak-isak di pelukan Bhima, sesakit ini kah rasanya kehilangan anak? Bahkan di saat belum melihat wajahnya. Sakit! Jasmine teringat akan ucapan demi ucapan Bhima yang selalu mengingatkan agar jangan terlalu banyak bekerja, dan peringatan lainnya namun Jasmine terlalu abai. Ia durhaka pada Bhima, mungkin kah ini hukumannya?
"Dedek udah pulang, dia nunggu kita. Nanti akan ada saatnya kita ketemu dedek. Dedek bakal jagain kamu, jaga kita, jaga Kakak," ujar Bhima lalu menghapus jejak air mata dan mengecup kening Jasmine lama.
"Aku pengin sendiri. Tinggalin aku mas," pinta Jasmine, Bhima menggeleng.
"Aku nggak mau kamu sendirian,"
"Sebentar aja. Aku pengen tenang," pintanya lagi.
Bhima menghembuskan napasnya pasrah. "Oke, aku di depan. Panggil aku kalau butuh sesuatu," ucapnya, Jasmine mengangguk.
Bhima lalu keluar dari ruang rawat Jasmine dan ketika itu pula Jasmine kembali sesegukan sendirian di ruangan sepi ini. Ia merutuki kesalahannya, merutuki sikapnya yang abai karena tak pernah mendengarkan kata-kata Suaminya.
Ia takkan bisa mengembalikan apa yang sudah terjadi saat ini. Jasmine terus menangis tersedu sementara Bhima duduk di kursi depan sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Ayaahhh," pekik Chika saat melihat Ayahnya sendirian. Tadi pagi saat ia bangun, ia menangis, mengamuk tak karuan mendapati kamar Ayah Bundanya kosong dan ia melihat bercak darah di sprei kamar. Chika datang ke rumah sakit bersama Uti dan Akungnya.
Chika berlari lalu memeluk Ayahnya. Bhima menyalami Ibu dan Ayah mertuanya. "Ayah
Bunda mana? Bunda kenapa? Adek nggak apa-apa kan?" Chika memberondong banyak pertanyaan.
"Bunda nggak apa-apa," Bhima menatap Chika sendu. "Dan adek udah nggak ada."
"Udah gak ada? Maksudnya? Mmmm... Aayaahh," Chika sudah ingin menangis saat ini.
"Adek udah nggak ada di perut bunda. Adek pergi. Ke surga, lebih dulu." ujarnya sendu dan berhasil membuat Ibu mertuanya juga ikut menangis.
"Huwaaaaaaaaa!!! Ayaaahhh!! Ayah bohong kaannn??" tangis Chika meledak dan memenuhi lorong VVIP yang sepi.
"Hei nggak apa-apa. Adek bahagia di sana, adek nuggu kita di sana," Bhima berusaha menenangkan, kini ia harus menenangkan kedua perempuan kesayangannya agar tak sedih terlalu dalam.
"Enggak!! Kakak belum ketemu adek!! Ayaaahhhh!!" pekiknya lagi lalu sesegukan di dada Ayahnya.
"Le, gimana kejadiannya kok bisa begini? Kemarin sebelum acara gak ada keluhan apa-apa kan?" tanya Ibu setelah Chika jatuh tertidur habis puas menangia
"Nggak ada buk. Jasmine cuma ngeluh capek," sahut Bhima.
"Ibuk udah kasih tahu kemarin duduk aja diam sama Chika. Tapi dia kesana kemari," ucap Ibu lalu menghela napas. "Maafin anak ibuk ya, le."
"Nggak apa-apa, buk. Yah saya nggak bisa nolak juga kalau Allah udah berkehendak," sahut Bhima berusaha tenang sambil masih mengelus pundak Chika.
Saat di rasa sudah cukup lama mereka di luar, akhirnya mereka masuk ke dalam. Jasmine sedang diam, menatap jendela dengan nanar, untung saja kaca jendelanya tidak ada tuas untuk membuka, pintu akses ke balkon juga di kunci. Kalau tidak Bisa-bisa Jasmine terjun ke bawah.
Ibu langsung menghambur ke pelukan putrinya. Jasmine menangis tersedu di pelukan ibunya, Chika juga sudah bangun, namun ia tak berani menyapa Bundanya. Ia takut melihat Bundanya menangis sambil memukuli perutnya dan Utinya berusaha menenangkan.
Seolah paham, Akung lalu mengajak Chika keluar dan cari jajan. "Ka, ikut akung keluar, yuk? Kita cari jajan di kantin," ajaknya.
Chika lalu turun dari pangkuan Ayahnya lalu ikut keluar dari ruang rawat Bundanya bersama Akung. Akung tahu, cucunya ini sangat menantikan seorang adik, walau tak nampak, namun di dalam hatinya Chika juga pasti sedih.
Buktinya, di ajak jajan seperti ini Chika hanya diam saja. Biasanya ia akan antusias bila di ajak jajan, namun kali ini sepertinya tidak. Wajahnya murung, makanan di depannya juga ia suap sesekali tanpa minat.
"Chika, kenapa?" tanya Akung pelan.
Chika hanya menggeleng saja, padahal ia ingin sekali memeluk Bunda saat ini namun ia takut untuk menyapa. Ia kembali menyuap makanannya, mengunyahnya pelan namun matanya membengkak, ada air mata yang sebentar lagi akan meluncur jatuh ke pipinya.
Setelah selesai mengunyah, Chika terisak lalu memeluk Akung yang masih ada di sisinya. Ia kembali menangis tersedu tak tertahankan di pangkuan Akungnya.
"Sstt, sayang, nggak apa-apa sayang. Doain adek ya, nanti ada saatnya Kakak ketemu sama adek, ya nak, ya?"
Chika mengangguk sambil menyusut ingusnya. Mengusap matanya dengan punggung tangannya lalu menatap Akung.
"Tapi Bunda tetap sayang aku kan, Kung?"
"Iya. Bunda akan tetap sayang Chika. Chika kan anak bunda sama ayah, pasti di sayang. Chika nggak boleh nangis ya, kasian bunda nanti sedih. Oke nak?"
Chika mengangguk mengerti ucapan Akungnya ini.
💔💔💔💔💔
Maafkan aku.
#dahgituaja
#awastypo
#SalamSnelli
Danke,
Ifa 💕
Mulmed: Rossa-Jangan Hilangkan Dia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top