ROOM 37

Keluarga besar Prayuda kini kedatangan anggota keluarga baru, seorang lagi cucu laki-laki lahir sudah ke dunia dan di sambut suasana bahagia keluarga besar ini.

Namun ada satu sisi yang mengganjal di hati Jasmine saat menggendong keponakan barunya kini. Ia menatap wajah tampan nan menggemaskan itu, pipi tembam dan rambut yang banyak. Dalam hati ia terus membatin, kapan seorang malaikat kecil akan hadir dalam rahimnya?

Ia tersenyum getir sesaat mengingatnya. Ia tahu kekurangannya, ia tahu bahwa Bhima memang tidak menuntutnya untuk segera hamil, sekeras apapun mereka berusaha. Namun, rawut wajah dan binar mata Bhima saat melihat keponakannya itu tak bisa dibohongi lagi.

Bhima menginginkannya, Jasmine tahu itu.

Tak ingin berlarut terlalu lama, mereka pamit karena hari sudah sore. Langit Jakarta sudah mengguratkan senjanya di langit sana, sang surya sudah siap kembali ke peraduannya dan di gantikan dengan sang bulan yang siap menyapa.

Mereka berdua keluar dari ruang rawat itu dalam diam setelah menutup pintu. Berjalan menuju lift dan langsung turun ke basement, Jasmine sudah diam saja. Bhima menatapnya dalam diam saat Jasmine sibuk memasang seatbeltnya.

"Are you okay?" tanya Bhima saat mobil melaju meninggalkan KMC.

Jasmine mengangguk. "Mas, ada pasar malam," Jasmine mengalihkan pembicaraan.

"Di mana?"

"Agak jauh sih kayaknya dari sini, itu lho yang lapangan sana,"

"Mau ke sana?"

"Mauu, aku bete. Pengin pacaran," satu senyum terbit di wajah Jasmine saat mengucapkan kata yang terakhir.

Bhima terkekeh lalu melajukan mobilnya di tengah kemacetan Kemang lalu mengarahkan ke lapangan yang di maksud.

Sesampainya di sana, Bhima langsung memarkirkan brvnya dengan mulus tak jauh dari pasar malam. Bhima menggandeng Jasmine dan membawanya ke tempat pembelian tiket wahana.

"Mau naik apa, yang? Tong setan? Biar bisa teriak-teriak?" ajak Bhima sambil menaik turunkan alisnya menggoda Jasmine. Namun yang ada ia malah mendapat pukulan di lengannya.

"Jangan gila! Nggak akan!"  tolaknya keras.

Bhima tertawa sambil mengelus-elus bekas pukulan tadi. "Ya kan aku nanya, yang. Atau mau naik bianglala atau komedi putar tuh?"

"Bianglala aja," putus Jasmine.

"Yaudah yuk," ajaknya lalu menggandeng tangan Jasmine menuju loket tiket dan menaiki wahana tersebut.

Kita remaja yang sedang dimabuk asmara
Mengikat janji bersama selamanya
Hati telah terikat, sepasang mata memikat
Melambungkan asmara
Yang selalu meminta
Mengulur senja menanti datang
Sang pemilik hati
Rela menanti sejak terbit mentari
Tak sadar ?tuk berbagi
Segala isi di hati
Jayakan sanubari dalam bercumbu di ujung hari

Indahnya kisah-kasih kita di masa remaja
Di bawah rayu senja kita di madu bermanja
Tiada masa-masa yang lebih indah dari masa remaja
Seakan dunia, milik berdua

Lagu Remaja milik HIVI terdengar lewat pengeras suara di sudut-sudut lapangan, seiring semakin pelannya laju berputar bianglala yang di naiki pasangan ini. Tapi ada yang lain sepertinya, Jasmine nampak kurang menikmati malamnya. Ada sesuatu yang terpendam dan Bhima belum tahu sama sekali.

Yaa walau sebenarnya mereja bukan lagi remaja 😌😌

"Hey, senyum dong," Bhima menangkup wajah Jasmine saat sudah turun dari bianglala.

"Aku kesel! Bete!" jawab Jasmine kesal.

"Kenapa sih? Hmm? Cerita dong. Pasien ya?" tebak Bhima.

Jasmine menggeleng kuat. "Aku nggak suka aja. Sama omongan suster-suster, beberapa dokter juga, koas juga! Aku denger sendiri, mas!" kesalnya.

"Mereka ngomong apa emangnya? Denger sendiri?"

"Ya katanya enak aja jadi iparnya dr. Adrian. Serasa dispesialkan, nggak pernah shift malam dan lain sebagainya," papar Jasmine. "Termasuk aku di bilang mandul sama mereka," batinnya.

"Lho, kan, emang jadwalnya pagi terus. Bulan depan kamu juga ada shift malam kok,"

"Ya aku nggak suka mas. Makanya kemarin aku minta tukar, kan? Risih dengarnya, aku udah berusaha diam dan cuek nggak peduli, tapi nggak bisa, sampai ke hati mas!"

"Iya. Mas ngerti kok," Bhima meraih tubuh Jasmine dan memeluknya. Tak peduli mereka ada di tempat umum.

"Kalau emang hadirku jadi kisruh. Mending pindah ke klinik aja,Bantuin Aluna sama bunda," putusnya setelah pelukan Bhima terlepas.

"Yakin?"

"Ya gimana? Menurut mas aja," Jasmine bergetar lalu air matanya luruh lagi. Bhima reflek menghapusnya.

"Nanti mas ngomong sama mas Adri, ya?"

"Nggak usah. Jangan dikit-dikit ngadu, kita sama-sama pegawai biasa, nggak usah merasa terspesialkan nanti malah orang semakin membicarakan kita," tolaknya keras dengan air mata yang terus luruh tak tertahankan.

"Di klinik butuh dokter umum satu lagi, aku bakal mengajukan surat resign dan ngelamar ke klinik pun dengan prosedur umum. Nggak usah main belakang, dan jangan bantu aku!"

Bhima mengangguk paham dengan keingiban istri tercintanya ini. Lalu Bhima membawa Jasmine menuju penjual arum manis demi memperbaiki mood Jasmine yang sudah tak karuan karena ceritanya barusan. "Nih yang," Bhima menyodorkan arum manis besar pada Jasmine.

"Maem berdua ya," ujar Jasmine berbinar seperti anak kecil saat diberikan arum manis, Jasmine menyuapi Bhima sepotong besar arum manis.

"Enak?" tanya Jasmine.

"Iya enak, yang,"

"Enak sih enak. Tapi kenapa sampai ngemut jariku?" protesnya, Bhima malah terbahak.

"Naik apa lagi? Naik ombak mau? Biar teriak, hilangin stress," tawarnya.

"Mau sih. Tapi takut, kalau jatuh gimana? Mau tanggung jawab?"

"Kan ada aku. Hold me tight and you'll never fall. Peluk aku aja, jangan suggest. Atau mau naik itu tuh, apa, carousel? Santai muter-muter aja,"

"Nggak mau, nggak ada adrenalinnya. Ya udah ayo naik ombak," Jasmine akhirnya berani menaiki wahana ombak. Seperti biasa, genggaman tangan Bhima tak pernah lepas dari tangan Jasmine sampai di wahana Ombak.

"Yuk naik," ajak Bhima sambil mengulurkan lengannya.

"Yuk. Huuft..., Bismillah. Pegangin ya," dan Jasmine berhasil duduk di ayunan berbentuk bulatan besar itu dengan perasaab sedikit takut, wajahnya sudah pucat, lalu Bhima duduk di sebelahnya dan merangkul tubuh Jasmine erat dan sebelah tangan lainnya berpegangan pada sandaran ayunan di belakangnya.

Ayunan ombaknya mulai terasa saat sedikit demi sedikit di dorong oleh beberapa orang di sana. "Maas... Mass!! Iiih serem!!" pekik Jasmine lalu meremas tangan Bhima saat ayunan semakin kencang.

"Wuhoooooo!!!" teriak Bhima kini.

"Aaaaaaaaa!!!" Jasmine menjerit ketakutan.

"NIKMATIN AJA YAANGGGGG WOHOOOOI!!"

"AAAAAAAAAAA,"

"KELUARIN SEMUA YAAANNGGGG!!! LAMPIASIN DI SINIIII!!!" teriak Bhima kencang-kencang.

"BODOOOOOO AMAAAAAATTTTT!!! NGGAK PEDULI!!!" Jasmine pun tak kalah kencang teriaknya.

Mereka tertawa seolah ada beban yang hilang dan pelukan mereka semakin erat sampai ayunan terasa pelan, pelan dan semakin pelan dan akhirnya selesai, benar-benar berhenti.

Jasmine terburu-buru turun lalu berlari ke pinggir, perutnya bergejolak dan benar saja. Jasmine memuntahkan isi perutnya setelah naik wahana ombak ini. Bhima berdiri di belakangnya sambil mengusap tengkuknya.

Bhima mendapat pukulan lagi di lengannya saat Jasmine selesai dengan muntah-muntahnya. "Aduh! Kdrt kamu mah yang. Sakit bun," ujarnya lalu mengusap lengannya yang memerah.

"Lemes. Beli minum," rengeknya.

Mereka segera berlalu dari sana dan membeli sebotol air mineral di pinggir jalan dan langsung menuju mobil lalu mengarahkan ke Pejaten.

Jasmine memilih langsung pulang dan makan malam di rumah saja. Ia baru ingat kalau Chika sendirian, Mama Papa masih berada di rumahsakit menemani Aliya sementara Kani sedang lembur.

💕💕💕

Setelah mobil berhenti sempurna di halaman rumah, Jasmine buru-buru turun lalu masuk dan menemukan Chika tertidur di kursi dekat jendela.

"Ya Allah anak bunda," Jasmine mengusap kepala Chika namun tidurnya tak terganggu sedikitpun. Sepertinya Chika sudah pulas lalu Bhima menggendongnya sampai di kamar.

"Dia nungguin kita, tumben nggak telepon ya?" ujar Bhima begitu membaringkan tubuhnya setelah mandi di samping Chika yang sudah memeluk gulingnya.

"Lupa kali dia, mas." sahut Jasmine sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk di depan cermin besar dan setelah selesai ia juga ikut berbaring di sana.

Ia lupa, harusnya ia bersyukur bahwa ia masih memiliki Chika. Walaupun Chika bukan anak kandungnya, tapi Jasmine berusaha untuk terus belajar menjadi ibu yang baik bagi Chika dan calon adik-adiknya kelak.

Sebenarnya Chika masih dalam masa percobaan selama setahun ke depan tinggal bersama Jasmine dan Bhima sebelum akhirnya pengadilan akan mengesahkan dirinya sebagai anak angkat pasangan ini.

Jasmine tersenyum saat Chika berbalik dan memeluk dirinya, matanya masih terpejam tapi seolah tahu bahwa yang ia peluk adalah bundanya, pelukannya semakin erat.

💕💕💕

Pagi menyapa, hanya ada Bhima, Jasmine dan Chika di meja makan. Kanika baru saja sampai dan masuk ke kamarnya, sudah di pastikan dia pasti tidur dan melewatkan sarapannya. Efek lelah lembur.

Sarapan dengan khidmat dengan menu sederhana yang selalu jadi favorite sejuta umat. Nasi goreng dengan telur ceplok juga nuget goreng untuk Chika.

Selesai dan kenyang, mereka lalu masuk ke dalam mobil dan mengantar Chika ke sekolah. Sepanjang perjalanan, seperti biasa Chika selalu duduk di depan bersama Bundanya, mendengarkan beberapa lagu anak-anak yang di putar Bhima lewat ponselnya hingga sampai di sekolah. "Daaa ayah..., Daaa bunda," pamitnya lalu berlari ke arah kelas.

"Kamu tahu yang, dulu ada suster yang di sidang mas Adri sama mama Nadia karena ghibahin mbak Aliya. Katanya mbak MBA. Suami mana yang gak berang?" cerita Bhima begitu mobilnya keluar dari sekolah Chika.

"Hmmm kelakuan orang-orang tuh. Terus akhirnya gimana mas?"

"Ya akhirnya di pecat sih kalau nggak salah. Dia dendam sama mbak Al, katanya dulu mbak Al waktu SMA pernah membentak anaknya si suster itu yang kebetulan magang di KMC, karena nggak sengaja tumpahin alkohol ke lukanya mbak Al,"

"Sshhhh, pasti perih banget itu lukanya sampai mbak Al berani bentak orang," Jasmine meringis.

"Yaa begitulah. Awalnya dendam dan akhirnya terjebak pada omongannya sendiri,"

Jasmine mengangguk setuju. "Ya kamu tahu lah, mama Nadia gimana? Apalagi menyangkut menantu dan anaknya,"

"Heum,"

Bhima memarkirkan mobilnya di parkiran depan dengan lurus sempurna. Mereka lalu turun dan langsung menuju tempat absen, Jasmine segera berlalu dari sana dan menuju UGD. Sedangkan Bhima, ia segera menuju poli umum bersama suster yang bertugas bersamanya hari ini.

Sesuatu mengganggu pendengaran Bhima saat ini. Nama istrinya disebut-sebut beberapa orang suster yang sedang ngerumpi di poli sebelah yang tengah sepi dan tak menyadari saat Bhima melewati gerombolan itu.

Ada rasa sakit yang timbul di hati Bhima saat mendengar apa yang mereka katakan. Apa ini yang di rasakan Jasmine kemarin? Mengapa rasanya begitu pedih? Seperti luka yang tersiram cairan alkohol? Hal ini kah juga yang di rasakan kakaknya dulu saat baru menikah dengan Adrian?

Sial. Rasanya seperti bukan lagi tertusuk paku. Tapi terhunus pedang. Rasanya ingin sekali Bhima membungkam mulut-mulut itu dan bilang semua itu tidak benar. Namun sekali lagi ia ingat bahwa ia berada di rumah sakit, ia harus professional dan menutup pendengarannya seolah tak peduli apa yang terjadi.

Tak bisa di pungkiri bahwa sebenarnya Bhima geram luar biasa. Tapi apalah dayanya? Sepertinya Tuhan memang memberinya sabar yang tak berbatas. Sekuat mungkin Bhima berusaha menenangkan dirinya untuk tidak kalap dan akhirnya ia memilih untuk menyibukkan dirinya dengan pasien yang silih berganti masuk bergantian.

💕💕💕

Jasmine baru saja kembali dari luar usai makan siang bersama Bhima, ia sedang duduk manis di mejanya. Namun pandangannya langsung menangkap Jihan yang sedang duduk di pojok UGD dengan masker hijau meliputi bibir dan hidungnya. Jasmine curiga, ada apa dengan Jihan?

Tak biasanya Jihan seperti ini? Apa dia sakit? Karena biasanya Jihan akan membaur bersama teman-teman koasnya, tidak mojok dan memejamkan matanya seperti ini.

"Jihan?" sapa Jasmine.

"Eh, dok." Jihan reflek bangun dan mengerjapkan matanya.

"Kamu kenapa?"

"Lagi gak enak badan, dok. Flu batuk," alibi Jihan, suaranya sudah bindeng sejak semalam.

Jasmine mengerutkan dahinya. "Kok masuk Jih? Harusnya mah izin aja," sarannya lalu punggung tangannya menyentuh kening Jihan. "Kamu demam lhi, pulang aja,"

"Ya gimana, dok? Saya masih ada tanggung jawab di sini," jawab Jihan sambil melepas maskernya dan tersenyum walau sebetulnya nafasnya sudah satu dua tak karuan namun coba di tahannya agar Jasmine tak menyuruhnya pulang.

"Kamu pulang gih. Izin aja, nggak apa-apa. Kan ada koas yang lain," paksa Jasmine. "Daripada gini lho Ji,"

"Nggak..., Apa-apa, dok," jawabnya lagi. Namun rasanya sesak di dadanya semakin tak karuan karena batuk sejak semalam.

"Astaga!" Jasmine menyadari sesuatu tak beres pada Jihan dan langsung menangkap tubuh Jihan yang langsung limbung ke depan.

Jihan pingsan.

"Dokter Bhima!! Suster!! Tolong!!"

😨😨😨

Hallooo syelamat Jumat soreee yang mendung manjiaahh. Akhirnya ya, update lagi 😂😂 monmaap yang tadi siang kepencet, lagi. Monmaaaappp yaaa 😚😚

Nyinyiers kembali beraksi di belakang sampai mas Bhima KZL. HUH.

Dan, ada apa sama mbak Jihan?

Nantikan episode 38 dan kelanjutan Mbak Jihan di episode 13 Build Of Us.

#dahgituaja

#awastypo

Danke,

Ifa 💕

Jakarta, 9-02-2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top