ROOM 36
Happiness is being able to enjoy the simple things in life...
💕💕💕
Hal sederhana yang selalu di lakukan Bhima dan Jasmine setiap pagi sebelum berangkat kerja kali ini adalah mengantar Chika ke sekolah sampai di depan kelas. Chika dengan bangganya memperkenalkan kedua orang tuanya pada teman-teman di sekolahnya karena selama ini orang tua angkat Chika yang sebelumnya tak pernah menampakkan diri, lagi-lagi hal sederhana itu membuat Jasmine dan Bhima tersenyum.
Begini kah rasanya jadi orang tua?
Kini Jasmine ada di kamar Chika, ia masih terlelap. Ia usap kepala hingga pipi itu perlahan, mencoba membangunkannya. "Ka..., Chika, bangun sayang. Sekolah," ucapnya lembut.
"Engghhh," lenguhnya sambil berusaha membuka kedua matanya. Chika tersenyum begitu yang ia lihat adalah wajah Bunda yang sedang tersenyum ke arahnya. "Hai bunda," sapanya serak.
"Hai sayang," Jasmine mengecup kening Chika. "Hmm, asyem," dengkusnya sambil mengelitiki Chika agar terbangun sepenuhnya.
Gelak tawa mulai terdengar. "Enak aja, bunda kali," tawanya.
"Hahahaha, bunda udah mandi dong. Yuk, sekarang kakak mandi. Mau sendiri apa sama bunda?" ajaknya sambil membantu Chika duduk di atas tempat tidurnya
"Sendiri aja bunda," ucapnya sambil menguap.
"Oke. Bunda siapin seragamnya, buku sekolah udah rapih kan?" tanyanya lagi, Chika mengangguk pasti sambil turun dari tempat tidur lalu merapikan sprei dan bed covernya sendiri.
Sementara Jasmine membuka gorden agar cahaya matahari bisa masuk ketika tinggi nanti. Chika langsung masuk ke kamar mandi setelah Jasmine meletakkan seragam putih merah dan rompi kotak-kotaknya di handle pintu lemari, memastikan lagi buku pelajaran yang di bawa Chika hari ini lalu keluar dari sana.
"Chika udah bangun, Una?" tanya Mama begitu melihat menantunya keluar dari kamar Chika.
"Udah, ma. Lagi mandi," jawabnya sambil membantu Mama di dapur menyiapkan sarapan.
"Mas mu?"
"Lagi mandi juga," sahutnya lalu tersenyum.
Mama melirik ke arah Jasmine, akhir-akhir ini menantunya itu tampak lebih ceria dari biasanya. Setiap pagi setelah shubuh, sejak kepulangannya dan kedatangan Chika disini, ia selalu turun tangan membuat bekal dan sarapannya. Walaupun dulu sebelum Chika disini ia sering turun ke dapur untuk membantu Mama, namun kali ini intensitasnya di dapur lebih sering dan lebih lama.
Beliau mengintip ke arah kotak-kotak bekal yang di siapkan Jasmine untuk Bhima dan Chika. Menunya sederhana, nasi goreng dengan jagung wortel, ada buah dan susu juga untuk camilan Chika jika ia belum mau makanan beratnya.
Selesai dengan beres-beres dan menyiapkan makanan di meja, semua berkumpul di meja makan lalu makan dengan tenang. "Bunda, Ayah, ayo berangkat!" ajak Chika setelah meneguk air minumnya.
Bhima melirik jam tangannya. "Yuk, udah siang nih," Bhima bangkit dari tempat duduknya, mengangkat Chika dalam gendongannya.
"Ayah. Chika mau salim opa sama oma dan om tante, kenapa di gendong?" protesnya lalu di sambut senyum seisi meja makan.
"Eheh," Bhima lantas menurunkan Chika lalu ia menghampiri Opa, Oma, juga Om dan Tantenya. Ia salami bergantian lalu pamit.
Sepanjang perjalanan ke sekolah, Chika hanya mau duduk di pangkuan Bundanya sambil ikut bernyanyi lagu Sherina-Kembali Ke Sekolah yang di putar Bhima lewat ponselnya yang terhubung ke speaker mobil.
*Mulmed On*
"Senang ya sekolah," tanya Bhima sambil melajukan mobilnya pelan di antara kemacetan yang melanda, Chika mengangguk senang sambil tersenyum.
"Sekolah yang pinter ya sayang," Jasmine kecup kening Chika.
"Iya dong bunda! Biar Chika bisa kayak ayah sama bunda." sahutnya sambil memperlihatkan deretan giginya.
"Aamiin.."
💕💕💕
Setelah mengantar Chika ke sekolah, mereka langsung menuju rumahsakit. Selama perjalanan senyum tak lepas dari wajah Jasmine, Bhima sesekali melirik sambil fokus menyetir.
15 menit kemudian keduanya sudah sampai di parkiran rumah sakit. Sambil menenteng tas dan snelli, mereka masuk kesana dan menuju finger print untuk absen.
Banyak pasang mata melihat ke arah mereka dengan tatapan yang sulit di artikan saat mereka melangkah masuk. Ada yang biasa saja, ada yang senyum tapi di belakang ghibah, bahkan ada yang terang-terangan tidak suka pada keduanya sejak hari pertama masuk.
Kabar berhembus tak enak sejak hari itu, lagi-lagi nepotisme di permasalahka, lagi-lagi di persoalkan. Padahal nyatanya baik Bhima maupun Jasmine, mereka sama-sama mengirim lamaran mereka, mengikuti tes dan lain sebagainya. Toh kemampuan mereka memadai, tapi ya, entah sepertinya orang-orang disini terlalu sibuk mengurusi pekerjaan orang lain padahal mereka sudah sibuk dengan pekerjaannya.
Jasmine sudah standby berada di ruangannya, Poli Umum 1, masih sepi belum ada tanda-tanda adanya pasien yang mengantre. Ia duduk sambil mengobrol dengan suster Fitri, salah satu suster senior di KMC yang sudah kenyang mendengar segala nyinyiran mulai dari Aliya hingga Jasmine saat ini.
"Nggak usah dipikirin, dok. Emang gitu, risiko."
"Ya iya, sih, ini risiko saya. Tapi..," Jasmine menggantung kalimatnya memilih menatap ke arah lain. Sungguh, ia jengah.
Obrolan mereka terinterupsi karena adanya pasien. Baguslah, Jasmine jadi bisa mengalihkan pikiran-pikirannya tentang the nyinyirs yang terus menerus bicara soal nepotisme.
Dengan sabar dan telaten, Jasmine mendengarkan keluhan para pasiennya yang beragam lalu memeriksanya. Sampai jam makan siang akhirnya ia baru bisa meregangkan tubuhnya. Tidak biasanya Poli umum ramai sampai seperti ini bahkan membeludak hingga Poli Umum 2.
Jasmine keluar dari ruangannya dan mencari Bhima di Poli Umum 3. "Sus, dr. Bhima ke mana, ya?" tanyanya.
"Poli masih penuh dok. Emangnya Poli 1 udah sepi?" jelas suster bername tag Riani itu.
"Hehehe, udah sus," kekehnya.
"Oh gitu. Di tunggu aja dok, mau makan siang ya?" tanyanya.
"Iya sus, udah siang."
"Oh iya sih, dok."
"Yaudah kalau gitu saya duluan ya," pamitnya dan beranjak dari sana. Ia memilih makan di kantin rumahsakit yang lebih mirip restoran di mall ini.
Ia mengambil duduk di pojok dekat jendela yang menghadap langsung ke jalan, memandang lalu lalang pengguna jalan sambil menyantap ikan tuna steam dan sayur bayamnya yang ia bawa sendiri dari rumah tadi di temani dengan sebotol jus apel dingin sambil sesekali mengecek ponselnya.
Baru saja Bik Minah mengiriminya pesan dan bilang bahwa Chika sudah pulang dan sekarang sedang disuapi makan siang.
"Eh eh, kok aku heran ya, dr. Bhima dan dr. Jasmine itu kan udah lumayan lama nikahnya. Tapi kok dr. Jasmine belum hamil juga?"
Deg!
Jasmine yang mendengar namanya disebut, diam-diam ia melirik ke arah salah satu meja yang tak jauh dari mejanya dan mendengarkan dengan seksama apa yang mereka bicarakan.
"Ih, mandul kali tuh," sahut salah satu di antara empat suster itu.
"Kalau bener kasian banget dr. Bhima,"
Jasmine yang semakin menajamkan pendengarannya. Ia terus merapalkan Istighfar dalam hatinya, ia tidak boleh marah hanya karena belum juga hamil setelah setengah tahun lebih menikah, ia tidak boleh lepas kendali atas tuduhan tak berdasar tersebut.
"Hush! Udah-udah! Nggak boleh ngomong gitu! Ya kita mana tahu kan kalau ternyata mereka beneran nunda buat punya momongan? Jangan suudzon jadi orang tuh, kalau orangnya ada disini, gimana?" lerai satunya lagi.
Jasmine menghela napasnya sedikit lega saat mendengar bahwa masih ada yang membela dirinya di saat seperti ini. Ia bersandar pada punggung kursi memikirkan ucapan-ucapan tadi.
Ia tidak mandul, tidak. Hanya sulit untuk hamil setelah operasinya waktu itu. Itu saja tidak lebih. Jasmine melirik jam tangannya sekilas, sepertinya ia kembali saja ke poli toh sebentar lagi jam praktiknya berakhir pukul setengah tiga sore nanti.
Ia bangkit dari tempat duduknya setelah membereskan kotak Tupperwarenya dimasukkan lagi ke dalam tas bekalnya. Berjalan dengan santai seolah tak terjadi dan tak mendengar apapun ia melewati ke empat suster tadi.
Mereka terpaku saat Jasmine melewati meja mereka. "Tuhkan! Apa ku bilang!! Kalau dia dengar yang kalian omongin tadi gimana??"
Ketiganya terdiam merutuki mulut mereka sendiri. Mereka juga sebenarnya takut, takut diadukan macam-macam.
Akhirnya kini giliran Poli 3 yang sepi, Bhima menggulung lengan kemejanya hingga siku dan berjalan keluar bersama bawaannya. Jam praktiknya sudah selesai, Jasmine juga, ia berjalan ke arah ruangan Jasmine yang di depannya sudah sepi, tidak ada pasien sama sekali.
Bhima mengetuk pintu berpapan nama dr. Aruna Jasmine. K. P di hadapannya ini. Setelah mendapat sahutan dari dalam, Bhima memutar kenop pintu dan mendapati Jasmine tengah menatap ke arah jendela.
Suster Fitri permisi keluar saat Bhima masuk dan menghampiri Jasmine di sudut ruangan dekat jendela kaca besar. Bhima pegang pundak Jasmine agar membuatnya tersadar dari lamunannya.
"Eh, kamu, mas."
Bhima tersenyum. "Kamu kenapa?" tanyanya namun Jasmine hanya menggeleng pelan, menandakan bahwa dirinya tak apa, padahal sesungguhnya kenapa-kenapa.
Woman. Typical.
"Bekalnya udah dimakan?" Jasmine mengalihkan pembicaraan.
"Udah dong. Makasi ya, masakan kamu makin enak deh," pujinya diiringi dengan senyum lebarnya.
"Alhamdulillah kalau mas suka. Yaudah, yuk pulang. Chika pasti nungguin," ajaknya seraya mengambil tas dan melepas snellinya lalu ditentengnya. "Yuk!"
Mereka keluar dari ruangan setelah menguncinya lalu absen. "dr. Jasmine," sapa seseorang.
"Eh, Jihan. Pulang juga?" sahut Jasmine.
"Hehehe, iya mbak. Tuh si bapak udah nunggu," kekehnya.
"Bapak? Kamu dijemput bapak?" Bhima mengernyit.
"Ih, bukan." tawa Jihan setelahnya. "Maksud Jihan tuh, bapak Arsitek, alias mas Bian, kembarannya dr. Bhima,"
"Oohhh hahahaha. Kirain, mau jalan ya?"
"Iya, mbak. Jihan duluan ya," pamitnya.
"Oiya iya, hati-hati."
Bhima dan Jasmine hanya geleng-geleng kepala melihat Jihan. Bisa-bisanya Jihan betah dengan Bian yang dinginnya saja sudah mirip kutub utara, pekanya kurang, senyum aja irit banget. Tapi yaa, namanya cinta, apapun jadi buta karenanya.
Mereka menuju parkiran setelah selesai absen dan lain-lainnya. Menyusuri jalanan Jakarta yang sudah padat, padahal belum jam 5 sore. Matahari sedang terik-teriknya, Jasmine hanya diam terpekur melihat ke arah jendela dengan tatapan kosong.
Sesekali Bhima melirik, ia ingin tahu ada apa sebenarnya? Tak biasanya Jasmine jadi diam seperti ini. Pasti ada apa-apanya.
"Mas--"
"Sayang--"
Eh? Kok bareng.
"Kamu duluan yang," ucap Bhima. Jasmine terdiam sebentar dan menarik nafasnya sebelum ia mulai berbicara.
"Mas? Kamu nggak nyesel nikah sama aku, kan?" ucapnya pelan.
"Ha? Ya nggak lah yang. Kamu kenapa sih? Kok tiba-tiba nanya kayak gitu?"
Jasmine menggeleng. "Aku cuma takut kamu nyesel nikah sama aku, mas. Aku banyak kekurangan,"
"Jangankan kamu, aku juga banyak kurangnya. Ada apa sih? Soal anak?" skak.
Bhima bertanya tepat sasaran. Jasmine diam lagi.
"Yang namanya anak, itu rejeki dari Allah. Setidaknya kita udah punya satu, kan? Jangan terlalu dipikirin soal itu, kita udah berusaha, berdoa juga udah. Jangan berhenti, terus, doa yang sering, doa yang banyak, sedekah jangan lupa." jelasnya panjang lebar. Jasmine tertunduk dalam mendengar ucapan Suaminya ini.
"Tapi mas, aku cuma nggak mau kamu kecewa sama aku,"
Bhima menghembuskan napasnya mendengar ucapan Jasmine.
"Kamu nggak pernah sekalipun kecewain aku, yang. Udah ah, jangan gitu ya, apapun yang terjadi, you're still my wife no matter what," Bhima meraih jemari Jasmine, ia genggam jemari itu sambil terus menyetir.
Hati Jasmine menghangat, ia tahu berapa kalipun ia bicara seperti tadi pastilah jawaban sama pula yang akan di dapatnya.
💕💕💕
Tepat saat adzan magrib berkumandang, mereka sampai di rumah. Chika sudah menunggu mereka di dekat jendela, jadi begitu Ayah dan Bundanya masuk, ia bisa memeluknya langsung.
"Assalammualaikum," ucap keduanya.
"Wa'alaikumsalam! Ayah! Bunda!" pekik Chika kegirangan lalu menubruk tubuh keduanya.
"Ehh anak ayah," Bhima mengangkat Chika dalam gendongannya. "Magrib dulu, yuk. Ayah sama bunda ganti dulu ya," ujarnya seraya mereka bertiga masuk ke dalam kamar. Belum ada yang pulang, baru mereka.
"Air anget, yah?" tanya Jasmine sambil berjalan ke arah kamar mandi.
"Nggak usah, bun. Biasa aja biar bisa langsung magriban,"
Jasmine mengangguk mengerti lalu segera cuci muka dan ganti pakaian, bergantian dengan Bhima setelahnya.
Selesai dengan semua dan sholat magrib berjamaah baru lah yang lain sampai di rumah. Sementara Jasmine sedang sibuk membantu Chika mengerjakan PR sekolahnya.
"Nggak bisa, bunda." keluhnya. Belum juga dibaca soalnya, ia sudah mengeluh tidak bisa.
"Eeh, dicoba dulu. Kalau udah dicoba nggak bisa ya coba lagi,"
Chika menggeleng keras, ia tidak suka pelajaran matematika.
"Dicoba lagi. Kalau nggak bisa, bunda ajarin lagi, ayo dibaca"
Akhirnya Chika mengerti dan menurut lalu mencoba mengerjakan soalnya. "Alin mempunyai 5 buah jeruk, lalu ibunya memberi lagi 2 dan ayahnya memberi lagi 6 buah. Berapa kah jeruk yang Alin miliki?" Chika membaca soalnya dengan teliti dan pelan-pelan.
"Enghhh..," ia melirik Bundanya. Jasmine sudah melipat kedua tangannya di depan dada.
"Ayo dihitung, Chika kan pinter. Ayo sayang."
"Mmm..., 5+2= 7 terus 7+6 sama dengan..., 13, bunda. Jadi jeruknya Alin ada 13 buah, ya kan?" jabarnya berharap jawabannya benar.
"Betul! Yeyy..., itu bisa"
Chika hanya bisa tersenyum sambil menunjukkan deretan giginya yang mungil-mungil sambil menulis jawabannya di buku PRnya. Chika bisa, hanya saja ia terlalu malas menghitung, makanya Jasmine selalu menggenjot jam belajar Chika tentang matematika.
Sementara di atas sofa, Bhima yang sejak tadi memperhatikan dalam diam hanya bisa tersenyum puas melihat pemandangan di depannya kini.
Ia tahu bahwa Jasmine bisa jadi Bunda yang baik untuk Chika dan adik-adiknya kelak. Jasmine bisa begitu sayang pada Chika seperti sayang pada anak sendiri, padahal Chika tidak lahir dari rahimnya namun ia bisa begitu sayang hingga apapun akan diperjuangkannya demi kebahagiaan Chika.
Hak asuh memang belum di tangan mereka. Tapi mereka yakin bahwa nanti di saatnya persidangan, hakim akan mengabulkan permohonan hak asuh atas Chika setelah tahu apa yang dialami Chika sebelum tinggal bersama Bhima dan Jasmine.
"Bhim, Una, Chika. Ayok makan dulu," suara panggilan Mama menginterupsi lamunan Bhima seketika lalu mengajak Jasmine dan Chika untuk segera makan malam bersama, Papa, Bian dan Kani juga sudah kembali dari kantornya. Meja makan terasa lengkap dan ramai karena sesekali Chika bercerita tentang teman-temannya yang nakal di sekolah.
"Iya, itu contoh buat Chika. Kita tidak boleh apa? Mengambil barang orang lain, karena itu bukan milik kita," jawab Opa menanggapi celoteh cucunya ini.
"Dan dosa ya, opaa?"
Opa mengangguk sambil mengunyah suapan terakhir di piringnya. Jasmine dan Bhima tersenyum bersamaan, Chika memang sudah bisa paham bahwa dia harus menghormati teman-temannya, sudah tahu apa yang boleh dan tidak boleh ditiru olehnya.
💕💕💕
Heyooo what's up genksssss!!! Yang kangen, mana suaranyaaahhhhh 😂😂😂 nih update, dikit aja ya 😘😘
#dahgituaja
#Awastypo
Danke,
Ifa💕
Vote pojok kiri, komen di sebelahnya.
Makasiihh 😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top