ROOM 20
Bhima sekarant sedang bersiap untuk menjemput Jasmine. Hari ini Bhima ada janji bertemu Mama nadia untuk memeriksakan keadaan Jasmine yang sebelum berangkat ke Jakarta mengeluh sakit jika siklus bulanannya datang.
Bhima khawatir ada sesuatu terjadi nanti pada Jasmine bila terlambat di tangani. Lebih baik tahu sekarang daripada menyesal kemudian.
Tapi satu hal yang Bhima tekankan. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa apapun hasilnya nanti, ia akan tetap di sisi Jasmine, apapun yang terjadi.
Bhima sudah berada di daerah komplek rumah Jasmine. Ia memilih di antar Pak Win daripada nyetir sendiri, mumpung Pak Win nganggur di rumah karena krucils akan di jemput Daddynya nanti di tempat les.
"Aku takut" ujar Jasmine di ujung sana.
"Apa yg kamu takutin?"
"Hasilnya"
"Apapun, mas terima. Seburuk apapun hasilnya. Kamu tenang aja, oke? Aku udah di area komplek"
"Kamu ketemu ibuk gak?"
"Ya ketemu dong. Nanti aku bilang mau ajak keluar, masa mau ajak jalan anak orang nggak izin"
"Yaudah, aku tunggu"
Klik.
Bhima mengetuk pintu di depannya sambil mengucapkan salam.
"Assalamualaikum,.." Bhima segera menyalami Bu Nisa.
"Wa'alaikumsalam" masih ada ibu dan ayah di rumah. "Masuk Bhim. Sama siapa kamu?" Bhima ikut masuk ke dalam setelah di persilakan ibu lalu menyalami ayah yang sedang baca koran.
"Sendiri aja, sama pak Win heheh. Bu, eengghh, saya mau izin buat ajak Jasmine keluar, boleh kan?"
"Ada janji sama Una ta? Ya boleh lah" jawab ibu di sertai senyum manisnya.
"Tuh Una nya keluar" ujar Ayah saat melihat putrinya menuruni tangga.
"Buk, Yah. Mau keluar sama mas" izinnya.
"Oh iya iya. Jangan malam-malam ya" jawab Ayah sambil mewanti-wanti keduanya agar tidak pulang larut malam setelah keduanya bergantian menyalami.
"Kami pamit yah, buk.. Assalamualaikum"
"Iyaaa..., Wa'alaikumsalam"
Jasmine dan Bhima segera masuk ke dalam mobil, mereka duduk berdua di belakang. Jasmine tampak gusar dan gelisah sepanjang perjalanan, keringat dingin menyerang, perutnya mulas, gugup, semua jadi satu.
Ia takut mengecewakan Bhima, ayah ibu nya, mama Lanny dan papa Hardi. Ia takut apabila hasilnya di luar ekspektasi, ia akan mengecewakan banyak orang, takut, sungguh ia rasanya ingin menghentikan semua ini.
Bhima memperhatikan wajah Jasmine yang gusar dan memucat seiring mobil mereka mendekati rumah sakit, ia tahu Jasmine kini tengah di landa ketakutan, telapak tangannua tampak basah dan memutih, ingin Bhima memeluknya namun ia tahan.
"Yang..."
Jasmine menoleh.
"It's okay" Bhima meyakinkan Jasmine sekali lagi. "I'm here, with you" ucapnya sekali lagi dan Jasmine hanya mampu menganggukan kepalanya. Hingga mobil mereka berhenti di lobby rumahsakit.
Jasmine gemetar.
"Don't be scare" Bhima meremas jemari Jasmine,akhirnya, sambil menatap mata Jasmine dan lagi, Jasmine hanya mampu mengangguk.
Mereka melangkah ke dalam, entah mengapa rasanya rumahsakit hari ini terlihat seperti menyeramkan. Padahal Jasmine hampir 24jam di rumahsakit ketika bekerja. Apa ini yang kerap di rasa pasien bila sesuatu terjadi padanya? Hanya satu. Takut.
Bhima langsung membawa Jasmine ke ruangan Mama Nadia di lantai 2. "Suster, permisi, saya sudah buat janji dengan dokter nadia" ujar Bhima saat mencapai meja sustet di dekat ruangan Mama Nadia yang sudah antre pasien.
"Oh, iya pak. Atas nama siapa?" Tanya Suster.
"Atas nama ibu Jasmine Kusuma" ujar Bhima, ia masih senantiasa menggenggam jemari Jasmine, mengelusnya pelan seolah menyalurkan kekuatan.
Suster mengecek nama Jasmine yang tertera pada buku medical record dimejanya. "Oh iya pak, setelah ini ya. Tunggu sebentar masih ada pasien di dalam"
"Oh ya, terimakasih, sus" ucap Bhima.
Setelah beberapa menit menunggu, pasien dari ruangan Mama Nadia keluar lalu Jasmine dan Bhima dipersilakan masuk.
Bhima mengetuk pintu di depannya pelan.
"Masuk" sahut Mama Nadia dari dalam.
"Assalamualaikum, mam?"
"Waalaikumsalam, Bhim" jawab Mama Nadia. "Ini ya Jasmine?"
"Iya mam, ini Jasmine" Bhima mengenalkan Jasmine, ia lantas menyalami Mama Nadia.
"Saya Jasmine, dokter" ucapnya sambil mengulas senyum.
"Panggil Mama aja yaa"
"Ngg..., Nggak apa-apa?"
"Ya nggak apa-apa dong. Ada apa nih? Mau periksa pra nikah ya?" Tanya Mama Nadia to the point.
"Ngg sebenarnya Jasmine mam, yang mau periksa" sela Bhima.
"Oohh yaaa. Gimana-gimana, Jasmine?" Mama Nadia menangkupkan kedua tangannya di atas meja lalu mendengarkan keluhan Jasmine. "Ada keluhan apa?"
"Sayaa...." Jasmine menggantung kalimatnya, gugup tak karuan. Mama Nadia menatapa Jasmine dengan alis terangkat. Jasmine tengan menatap Bhima, Bhima tersenyum dan mengangguk meminta agar Jasmine menyelesaikan penjelasannya.
"Saya kalau haid sering merasa sakit berlebih ma" ujar Jasmine akhirnya.
"Oke, lalu?" Mama Nadia menyiapkan pulpen ya sambil membuka medical record Jasmine.
"Beberapa kali bahkan sampai pingsan dan darah yang keluar juga lebih dari normal.
Hari pertama bahkan bisa bleeding parah, Jas harus ganti sejam sekali, sampai lemes dan nggak bisa ngapa-ngapain" tuturnya.
Mama Nadia menangguk paham sambil terus menulis dan mendengarkan. "Kadang siklus juga nggak teratur. Pernah 3 bulan nggak keluar dan sekalinya keluar langsung bleeding parah. Sakit banget di perut bagian bawah" tutupnya lalu menghembuskan nafas berat setelah menjelaskan.
"Oke, kita langsung cek aja gimana?"
"Jasmine takut Ma..."
"Nggak apa-apa, kalaupun ada sesuatu mama bantu Jasmine untuk sembuh" ujar Mama Nadia berusaha menenangkan.
Mereka lalu bangkit dari kursi masing-masing sementara Bhima menunggu dengan cemas.
Tirai sudah di tutup, Jasmine sudah berbaring dengan jantung bergemuruh dan keringat dingin. Suster mulai mengecek tekanan darah Jasmine sementara Mama Nadia mengenakan handscoonnya.
"Berapa tekanannya, Sus?"
"110 dok, normal"
Mama mengangguk. "Jasmine pucet gitu, rileks aja sayang..." Mama menangkap gurat tegang dan wajah memucat Jasmine sejak tadi, Jasmine hanya tersenyum tipis cenderunh meringis. Mama Nadia mulai memasang stetoskopnya. "Jas, degdegan bgt ya? Kerasa lho ini" ucapnya lagi saat memeriksa jantung Jasmine. "Rileks sayang, inhale, exhale ya" bimbingnya, Jasmine mulai tenang.
Lalu pindah ke perut bagian bawah. "Sakit?"
"Eeh..., Sakit ma" Jasmine meringis lagi.
"Usg ya?" Putusnya. Jasmine sudah duga. "Mama curiga ada sesuatu" tambahnya. Sekeras apapun Jasmine menolak namun kali ini ia tak berani lagi.
"Ma" Jasmine menggeleng.
"Karena dari penjelasan kamu tadi menjurus..." Mama Nadia menarik napasnya panjang. "Ke kista...."
Runtuh.
Air mata Jasmine akhirnya runtuh mendengar penjelasan Mama Nadia sedetik lalu, ia mencoba untuk tidak terisak, takut Bhima makin khawatir.
"Jasmine..., Jangan nangis sayang. Tenang ya, kita usg abdominal dulu ya" ujar Mama Nadia setengah berbisik.
Tangan Jasmine sudah mulai mencengkeram pinggiran bed saat Mama Nadia menyingkap baju Jasmine.
"Mama mulai, ya?"
Jasmine hanya mengangguk dan Suster mulai mengoles gel bening di atas transducer.
Transducer mulai bergerak perlahan, Mama Nadia sudah melihat namun kurang jelas, harus pemeriksaan dalam untuk lebih jelas.
Jasmine sudah gemetar tak karuan enggan melihat monitor satu lagi yang menempel di dinding.
Rawut wajah Mama Nadia mulai berubah seiring apa yang ia temukan saat ini. Ia tam sanggup menyampaikan sejujurnya, namun ia harus professional, bagaimana pun Jasmine pasiennya.
She has to tell the truth.
"Maa, Ke... Napa?" Jasmine menatap Mama Nadia dari samping, wajah Mama tampak gusar
"Jas..., Sepertinya dugaan mama benar. Tapi belum terlalu jelas" ujarnya.
"Lalu ma?"
"Harus pemeriksaan dalam"
Jasmine sudah tak sanggup menolak, ia sudah pasrah saat Mama Nadia melanjutkan pemeriksaan berikutnya walau ada rasa sakit yang benar-benar ia terima tapi ini tak sebanding dengan saat ia mendengar vonis Mama Nadia barusan.
Prosedur pemeriksaan damam selesai, Mama Nadia melepas handscoonnya lalu mendekat lagi ke Jasmine sambil menggennggam tangannya.
"Mama sudah lihat tadi...."
"Jadi?"
"Ada kista"
"Astagfirullah" Jasmine menangis lagi.
"Sabar sayang..., Kita berjuang sembuh sama-sama ya nak..., Masmu pasti support. Mama akan bantu, apapun"
Jasmine blank. Diam.
"Jasmine yang kuat ya..., Masih ada harapan untuk Jasmine hamil nanti. Yuk kasih tahu masmu...."
"Yang? Mama? Gimna hasilnya?"
Jasmine kembali duduk di samping Bhima, ia sudah penasaran.
"Bhima. Tolong janji satu hal sama mama, bisa?" Tanya Mama Nadia sebelum menyampaikan diagnosanya.
"Insha Allah, bisa mam" jawab Bhima mantap.
"Jangan tinggalkan Jasmine apapun, apapun yang terjadi" ujar Mama Nadia, Bhima mengangguk mantap lalu mulai menyampaikan apa yang ia dapatkan tadi.
Bhima tampak kaget, lalu Jasmine kembali menangis, Bhima menggenggam jemari Jasmine. Benar dugaannya.
"Treatment apa yang harus Jasmine jalani, ma?" Tanya Bhima.
"Ini cukup parah, Bhim. Mama takut bila di biarkan terlalu lama akan menyebar kemana-mana dan pecah sewaktu-waktu. Mama akan jadwalkan OP secepatnya. 3 hari lagi, kalian kembali ke sini, ya?"
"Baik ma, Bhima akan ajak ibunya Jasmine sekalian. Bantu kami mam, saya nggak mau ini berlarut dan menyulitkan kami ke depannya...."
"Insha Allah, pasti mama akan bantu. Kamu pun harus support, Jasmine butuh kamu"
Bhima mengangguk pasti, Mama Nadia menuliskan beberapa obat untuk Jasmine minum nanti di rumah. Mereka lalu pamit setelah Jasmine tenang dan turun ke apotek rumahsakit dan menebus obat.
"Kamu nggak mau pikir-pikir lagi soal pernikahan kita?" Ujar Jasmine saat mobil menjauh dari rumahsakit.
"Untuk apa? Mas udah mantap kok"
"Nggak terlalu kecepatan? Atau kamu pikir lagi deh! Sebelum telanjur...."
"Nggaak Jasmine..., Mas udah nggak mau ubah pendiria mas lagi.." tegasnya.
"Tapi aku yang ngubah mas!! Aku nggak siap!!" Sarkasnya tak peduli Pak Win memperhatikan.
"Jasmine..-"
"Aku nggak siap mengecewakan banyak orang"
"Kamu nggak mengecewakan siapapun.."
"Justru, Kalau kamu minta semua ini dihentikan atau mas pikir-pikir lagi itu malah kamu yg akan bikin semua orang kecewa.. Mas gak mau itu, Jasmine"
"Nggak, aku nggak mau! Aku selesain dulu aja koas"
"Jasmine...."
"Aku nggak pantes, Mendampingi kamu mas"
"Siapa yang bilang gituu??! Siapa yang bilang kamu gak pantes??"
"Aku minta kamu pikir-pikir lagi!!"
"Setiap org punya kekurangan dan kelebihannya masing-masinh ada aku menerima semua yang ada di kamu. Kalau aku cari yang sempurna, itu nggak ada di dunia ini. Aku yang akan jelasin ke ibu kondisi kamu..., Kita sembuh bareng-bareng"
"Aku nggak mauuuu!!! Nggak mau nikah sama kamu!!!!" Teriaknua frustrasi.
"Jasmine! Kamu kenapa sih??!!"
"Akuu, nggak sama kamu mas! Tiinggalin aku!!"
"Dengerin mas" Bhima pegang bahu Jasmine di hadapkan ke wajahnya. "mas-nggak-akan-ninggalin -kamu-apapun- Apapun- yang -terjadi sama kamu...." Bhima menekan tiap kalimat yang di ucapkannya.
"...Kalau yang kamu takutin adalah nggak bisa kasih mas keturunan, nggak apa, mas nggak masalah, mas cuma takut di tinggal kamu. Masalah anak itu urusan Allah, kita berusaha, Allah menetukan, banyak kok kasus yang sama dengan kamu setelah itu mereka hamil"
Jasmine melepaskan tangan Bhima di bahunya, memejamkan mata sejenak dan membuang pandangannya.
"Jangan giniin mas, Jas. Jangan..."
"Aku sayang mas"
"Mas lebih sayang sama Jasmine"
"Lepasin aku kalau emang mas sayang
Jasmine.."
"Tolong jangan minta hal itu lagi ke mas
Itu namanya mas nggak sayang sama kamu. Mas bukan laki-laki brengsek yang tinggalin calonnya begitu aja setelah tau kekurangannya, nggak.. Mas nggak gitu..
Mas sayang kamu makanya kita ikutin saran mama tadi"
Sisa perjalanan di habiskan Jasmine dengan tertidur, hari masih sore namun mereka sudah tak selera kemana-mama setelah ini.
Begitu mobil berhenti, Jasmine terbangun dan turun dari mobil tanpa menunggu Bhima. Ada Ayah dan Ibu saat mereka masuk.
"Jas" panggilannya tak di gubris, membuat ayah dan ibu bingung di buatnya.
"Lho, Jasmine? Nak, ada apa? Kalian habis tengkar??" Ibu membrondong pertanyaan pada Bhima.
"Nggak buk" kilahnya.
"Lalu ada apa?" Tanya Ayah. "Bhima, jelasin ke ibu dan ayah. Ada apa sama kalian?" Tuntut Ayah.
"Jadi gini buk, yah..., Tadi kami dari rs, bulan lalu Jasmine ngeluh sakit di perutnya kalo dtg bulan..., Saya bawa dia tadi ke dokter Nadia, ibu mertuanya mbak Aliya dan periksa Jasmine..." Jelas Bhima.
"Astagfirullah. Lalu?"
"Dan tadi dokter bilang ada kista di sana buk, yah..."
"Innalilahi..., Yaaah...." Ibu mulai panik, Ayah diam seketika.
"Dokter saranin untuk di angkat secepatnya karena bisa saja pecah sewaktu-waktu..."
Tak ayal, Ibu menangis sesegukan di rangkulan Ayah.
"Maaf bhima buat ibuk dan ayah sedih'
"Terus gimana Jasmine, Bhim?" Tanya Ibu.
"Jasmine syok juga tadi. Bahkan dia minta saya untuk tinggalin Jasmine karena dia nggak mau mengecewakan saya buk.."
"Allahuakbar..., Unaaaaa" tangis ibu mengencang, memekakkan telinga, Ayah sudah memeluk dan menenangkan ibu.
"Padahal saya udah tegaskan berkali-kali sebelum hari ini kalo saya nggak akan tinggalkan Jasmine apapun hasilnya nanti"
"Biarin aja dulu. Kasih waktu buat dia, nanti kalau udah reda baru diajak ngomong lagi" ujar Ayah sambil terus menenangkan ibu.
"Iya yah. Tapi buk, yah.. Saya nggak akan tinggalin Jasmine apapun yang terjadi..."
"Iya Bhim. Ayah percaya kamu"
"Buk.. Maafin Bhima harus sampaikan semua ini..."
"Nggak apa-apa, Bhim. Kalau nggak gini kita nggak bakal tahu. Tahu sndiri adikmu gimana?"
"Iya buk..., Dari awal jasmine ngeluh sakit sama saya, saya udah curiga"
"Sejak kapan itu nak?"
"Sebelum berangkat ke Jakarta buk.. Karena sampai pingsan di tempat kerja, sejak saat itu saya paksa dia untuk cek tapi selalu ngeyel"
"Astagfirullah" ibu hanya mampu beristighfar.
"Dia ngelak terus bilang nggak apa tapi selalu ngeluh tiap telepon saya"
"Kayak gitu tapi nggak pernah cerita ke ibuk" ucap Ibu sambil menghapus air matanya.
"Mungkin Jasmine nggak mau bikin ibuk kepikiran. Bahkan, dua hari sebelum saya pulang ke Jakarta, Jasmine sempat drop bu. Dan ketika saya sampai di sini, dia kabarin saya kalau dia masuk rs, opname karena ada infeksi di lambungnya" Bhima membeberkan semua yang tak di ketahui Ayah dan Ibu selama ini.
"Ya Allah..., Yaah..., Anakmu..., Astagfirullah, Jasmine...."
"Kenapa nggak pernah cerita sih nduk..., Ya Allah" ujar Ayah setengah berbisik.
"Saya udah kasih tahu untuk telepon ibuk. Tapi dia gak mau, Bahkan Jasmine sampai minta pulang paksa demi presentasi kasus di kampusnya. Saya sampai debat tapi Jasmine tetap ngeyel untuk pulang dan lanjut infus di rumah"
"Keras kepala sekaliii anakku ini... Masha Allah...." Keluh ibu.
"Nggak kebayang kalau nggak ada kamu Bhim. Jasmine jadi ada yang perhatiin sampai segitunya" sahut Ibu lagi.
"Ibuk benar, Bhim. Justru kami yg harusnya makasih..." Tambah Ayah.
"Dia calon saya, calon ibu anak-anak saya kelak, saya cuma mau yang terbaik buat putri ayah sama ibu"
Ibu dan Bhima naik ke lantai 2, di ketuk pintu kamar Jasmine, namun tak ada jawaban, akhirnya ibu membuka paksa pintu itu. Jasmine akan seperti ini bila ada masalah atau sesuatu yang di rasa.
"Nduk..." Panggil Ibu.
"Una ingin sendiri buk"
Ibu terus membujuk Jasmine untuk tenang, namun ia tak bisa. Jasmine lantas menarik diri dan menutup badannya dengan selimut, menutup kedua telinganya tak ingin mendengar apapun dan justru mengusir Bhima pulang.
"Yaudah mas pulang kalau Jasmine maunya gitu" Bhima mulai beranjak dan Jasmine tiba-tiba bangun.
"Saya permisi bu"
"Mas, maaf" gumamnya.
"Mas"
"Mas jangan pergi"
"Maafin Jasmine"
"Tadi kamu minta saya pergi kan?" Ujar Bhima saat mencapai pintu, tangis Jasmine semakin menjadi. "Yaudah saya pulang ya"
"Mas, maafin Jasmine"
"Jangan pergi"
Bhima mengumpulkan kesabarannya, ia genggam handle pintu dengan segenap kesabaran sambil membuang nafasnya berat dan kembali ke arah Jasmine.
"Tolong jangan giniin mas, Jasmine" ujar Bhima, Jasmine tertunduk. "Mas sayang kamu apa adanya.. Jangan minta mas buat ngejauh dari kamu"
"Maaf"
Ibu mulai menceramahi putri semata wayangnya. Mengungkit soal apa yang Bhima ceritakan tadi.
"Maafin Jas mas"
"Iya mas maafin"
"Jasmine nggak akan bilang gitu lagi"
Bhima menatap Jasmine dalam, penuh arti sambil terus menggenggam jemarinya. Bhima bilang pada Ibu untuk ikut di check up selanjutnya agar ibu tahu perkembangannya.
💕💕💕💕
"Aku kayak orang sakit keras" gumam Jasmine sambil mengambil obat di tangan Bhima. Bhima hanya bisa menampilkan senyumnya.
"Ikhtiar ya yang, bismillah sembuh. Ayo minum obatnya"
Jasmine langsunh menelan obat dan meneguk air hingga tandas."Gimana ngomongnya sama mama Papa? Sama keluarga kamu, mas?"
"Nanti mas yang ngomong. Mama pasti nggak masalah, kista bisa sembuh kok. Walaupun OP solusinya"
"Mama pasti kecewa"
"Nggak.. Mereka paham tubuh manusia pasti beda.. Ini juga bukan di sengaja kan?"
"Mas" panggil Jasmine.
"Dalem?"
"Kita nggak bisa ngomongin mau punya anak berapa. Pengen kembar, Hah. Tapi ya dikasih aja udah MashaAllah" Jasmine tampak putus asa.
"Insha Allah bisa sayang. Kamu jangan pesimis"
"Aku nggak pesimis. Aku bicara fakta dan kemungkinan. Bagaimanapun anak itu adalah idaman setiap orang yang menikah"
"Jangan mensugesti seperti itu dulu dan jangan pikirin itu dulu, sembuh dulu. Oke?"
Bhima mengelus kening Jasmine pelan, agar Jasmine tenang. "Mmmm...."
"Mas tuh sayangggg banget sama kamu yang. Makanya mas bawel" ujar Bhima.
Air mata Jasmine meluncur tanpa aba-aba. "Aku baru ketemu cowok kayak kamu mas.
Tulus"
"InshaAllah ya. Jika Allah berkehendak, Mencintai itu harus tulus..."
"Makasiiih banget. Buat semua"
"Sama-sama yang. Mas lakuin ini karena mas percaya, You're the one that i want. Mau kamu nolak mas kayak tadi juga mas nggak akan nyerah kejar kamu sampai dapat.."
"Iiiih. Udah ditolak juga"
"Tapi mas gak mau nyerah gimana dong?"
"Yaudah iya iya menang. Kamu kenapa mau sama aku sih?" Tanya Jasmine.
"Mungkin ini gombal, but i'm in love at first sight sama kamu yang, hehe" Bhima terkekeh.
"Halah! Masa?"
Bhima mulai menceritakan dan mengingatkan kembali tentang pertemuan pertama dan makan siang pertama mereka. "Tapi sayang kita jarang ketemu makanya mas gak ungkapin.. Mas mau langsung ke ayah ibu"
"Kok bisa?"
"Karena mas jatuh cinta sama kamu dan kerudungmu.. Mas tau mempertahankan kerudung di tengah keminoritasan tidak mudah tapi kamu bisa survive"
"Ya ampun, kalau soal kerudung ya karena emang ini identitas mas. Mau di mana juga nggak boleh dilepas. I'm muslim and I'm proud to be muslim"
"Iya, dan mas bangga akan hal itu. Mas bangga kamu bisa mempertahankannya.
Nggak banyak yg bisa seperti ituu"
"InshaAllah bakal terus menjaga hijab ini kok"
"Iya mas percaya. Makanya mas mau sama kamu..."
"Hehehe" Jasmine blushing dan terkekeh mendengar penuturan Bhima.
Bhima menemani Jasmine hingga lewat magrib dan makan malam bersama. Sebenarnya Bhima enggan pulang, takut Jasmine kenapa-kenapa ketika dirinya tak ada di sana.
Tapi ia harus pulang karena tak ingin timbulkan fitnah sekitaran. Bhima pamit pada Ayah dan Ibu, tapi Jasmine nampak enggan di tinggal Bhima, tapi ia harus rela.
Jasmine meraih tangan Bhima lalu menyalaminya sebelum Bhima masuk ke dalam mobil.
"Hati-hati" ujar Jasmine.
Bhima mengangguk. "Assalamualaikum"
"Wa'alaikumsalam"
💕💕💕💕
Hallowww malam minggu
Mas bhima mbak jas update lageee
Yuhuu 😘😘
#dahgituaja
#awastypo
#momsyelaper
Danke,
Ifa 💕💕
Leave voment
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top