7. Karena Pagi Hari Sudah Tiba
Day 2
Angella diam-diam membuka matanya. Hal pertama yang Ia rasakan adalah berat di kelopak matanya, namun cahaya matahari yang menyilaukan membuatnya mau tak mau harus membuka matanya. Iris biru muda milik Angella kini terekspos.
Langit-langit rumah, Ia bisa melihat itu sekarang.
Beberapa kali Angella mengerjapkan matanya tak sabaran. Ia yang awalnya masih berharap bisa memejamkan mata itu kini seperti tidak percaya. Dengan hati-hati, Ia mencoba mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Ia bisa merasakan kepalanya pusing sekali dan tubuhnya terasa berat.
"Aku terkena demam?"
Angella kembali mengingat kejadian tadi malam. Dimulai dari pemadaman listrik, sampai dimana kemunculan pembunuh itu. Ia bahkan masih ingat rasanya tertidur di antara rerumputan basah nan dingin. Ia memeluk tubuhnya, meski sudah pagi, tapi demam ini membuatnya masih merasa kedinginan.
Sekarang pertanyaan inti yang tertanam di kepala Angella adalah, siapa pemilik rumah ini?
Siapa yang menemukannya tadi malam? Siapa yang membawanya ke sini?
Angella memegang kepalanya yang pusing memikirkan itu semua, Ia sekarang khawatir dengan nasib teman-temannya.
"Oh, nak Angel bukan?"
Tiba-tiba, suara seorang pria mengagetkannya. Angella menatap ke sumber suara, mendapati sosok pria tua yang pernah Ia kenali sebelumnya.
"P-pak James?!"
Pak James tersenyum ramah saat membuka pintu. Ia masuk diikuti seorang gadis muda yang membawakannya sup hangat dan teh manis. Angella terkejut, Ia tak menduga kalau ini adalah rumah milik Pak James, orang yang pernah membela mereka saat kedatangan pertama.
"Pak James? Apakah anda yang membawa saya ke sini?" tanya Angella sesopan mungkin. Pak James tertawa kecil mendengarnya.
"Tidak perlu formal-formal, benar, bapak yang membawa kamu ke sini," ucap Pak James, Ia berdiri di sisi ranjang kecil tersebut. "Tadi malam bapak baru saja dari rumah kenalan, tapi karena hujan deras tidak berhenti-berhenti, bapak nekat melewati hujan, di situlah bapak lihat Nak Angel pingsan," jelasnya membuat Angella menghela nafas tenang.
"Terimakasih Pak James, kalau saja bapak tidak ada, saya pasti bisa mati," ucap Angella sembari mengingat lagi betapa dinginnya di luar malam itu.
Pak James hanya mengangguk pelan. "Kamu pasti lapar kan? Ini ada sup buatan cucu bapak, namanya Pola," ucap Pak James mengenalkan cucunya yang sepertinya berumur kisaran 15 tahun.
Gadis kecil itu memiliki rambut pendek berwarna coklat dan mengenakan pakaian ala-ala gadis desa. Ia memiliki bentuk wajah yang mirip dengan Pak James, namun matanya biru sejernih langit. Gadis itu tidak mengeluarkan ekspresi apapun saat dirinya diperkenalkan di depan Angella. Ia hanya mengulang namanya saja, tak ada rasa semangat dalam suaranya.
"Kalian bapak tinggalkan dulu ya, bapak masih ada kerjaan, mungkin baru bisa kembali 2 atau 3 jam lagi," ucap Pak James dengan lembut. "Pola, perlakulan nak Angella dengan baik ya!"
"Hm."
Setelah Pak James keluar dari sana, Pola menarik salah satu kursi dan duduk di samping ranjang. Tanpa senyum sama sekali, Ia mulai duduk di sana dan menyiuk sup itu dengan sendok yang Ia bawa. "Buka mulutmu!" pinta Pola dengan nada datar.
Angella hanya menurut, sebenarnya Ia tak terlalu menyukai gadis ini sejak awal Ia masuk ke kamar. Tatapan Pola nampak seperti mengintimidasinya, gadis itu juga terlihat tidak ramah dan tidak punya sopan santun, terlebih setelah Ia menanggapi permintaan Pak James dengan kata "hm" dan memanggil Angella dengan sebutan "kamu" seperti pada anak seumurannya.
Gadis ini benar-benar tak menuruti permintaan kakeknya dengan baik.
Tapi untuk sekarang, Ia hanya perlu bersyukur mendapat perlindungan. Saat tubuhnya sudah membaik, Angella berharap bisa kembali ke villa untuk mencari teman-temannya.
.
.
.
Mika membuka matanya perlahan-lahan. Cahaya matahari mulai masuk dari pintu, rasa kantuk sudah hilang sepenuhnya dari pikiran Mika. Saat Ia menyadari di mana Ia sekarang, Ia mulai terduduk secara tiba-tiba.
"S-sudah pagi?!"
Mika termenung, Ia terkejut akan dua hal. Pertama, karena lukanya tersa sedikit perih saat Ia melakukan aktivitas mendadak seperti tadi. Kedua, sebuah jaket berwarna jingga ada di atasnya, menyelimutinya sedari tadi.
Gadis itu mulai menatap ke arah kiri dan kanan. Jaket di genggamannya ini milik Will, tapi Ia tidak menemukan keberadaan pemuda itu di manapun.
"W-will?" Mika sedikit panik, Ia mulai berpikiran negatif. Bagaimana jika Will pergi meninggalkannya? Atau bagaimana jika Will ternyata sudah ditangkap pembunuh itu? Bahkan Ia bertanya-tanya bagaimana jika Will sebenarnya bersekongkol dengan pembunuh itu dan kini sedang mengambil senjata sebelum akhirnya kembali dan membunuhnya.
Mika menggeleng kuat. Meski sulit, namun Ia mengusahakan agar pikiran positif kembali padanya.
Saat itu, pintu dibuka secara perlahan, Mika terkejut karena awalnya Ia pikir itu adalah sang pembunuh.
"Mika, sudah baikan?"
"Eh?"
Mika memiringkan kepalanya kebingungan saat Will bertanya sudah baikan atau belum. Ia kini kebingungan tentang apa yang terjadi padanya tadi malam. Ia hanya ingat menemukan rumah kecil ini dan...,
Oke, sekarang dia ingat kalau kemarin Ia jatuh pingsan tepat di ambang pintu.
"Semalam kamu demam, sekarang sudah baikan?" tanya ulang dari Will karena Mika tak kunjung menjawab pertanyaannya.
Mika mengangguk dengan cepat. "Ya! Aku sudah baikan!" ucapnya meskipun Ia merasakan hidungnya sedikit tersumbat. Ia rasa Ia mulai terkena flu karena berlari di tengah badai kemarin.
"Kalau begitu, kita makan dulu," ucap Will seraya mendekati Mika, Ia mengeluarkan dua buah jeruk dari balik kantung yang Ia buat dari karung bekas di tempat itu. Ia memberi salah satu jeruk untuk Mika.
"Terimakasih!" ucap Mika senang, namun sebelum Ia mengupas jeruk itu, Ia kembali terpaku pada jaket milik Will. "Ah, ini, terimakasih," ucap Mika, Ia mengembalikan jaket itu kepada pemiliknya, namun pemiliknya malah menatap datar.
"Kamu saja yang pakai, kamu kedinginan kan?" tanya Will.
Mika terkejut dengan ucapan Will, sejak kapan juga pemuda itu jadi sedikit perhatian dengan sekitarnya? Padahal kalau dipikir-pikir pemuda itu juga pasti kedinginan karena semalaman tak mengenakan jaket.
"Tapi kamu juga kedinginan kan?"
"Tidak, aku-"
"Sudah ah! Ambil saja!" paksa Mika seraya memaksakan jaket itu untuk kembali ke pemiliknya. Will terkejut karena Mika mendorong jaket itu ke arahnya. Mika tersenyum puas kemudian mulai mengupas kulit jeruk di tangannya.
"Baiklah...," ucap Will pasrah. Keduanya kini sibuk memakan sarapan mereka yang hanyalah buah-buahan. Sebenarnya ini tidak cukup untuk sarapan, mereka membutuhkan karbohidrat pula untuk menambah energi setelah terkuras habis kemarin.
Saat itu, matahari semakin meninggi, mereka bisa membaca kalau saat itu waktu sudah menunjukan sekitar pukul 9 lebih. Dengan cepat, keduanya menghabiskan jeruk itu. Will berdiri dari duduknya lalu mengenakan jaketnya. "Kita harus mencari yang lain, bersiaplah!" pinta Will.
Mika mengangguk bersemangat. Langkah awal untuk bebas dari tempat ini sudah ada di depan mata.
.
.
.
Leanna telah bersiap dengan segala barang yang ada di gudang. Ia tadi menemukan sebuah tali tambang dan beberapa barang lainnya. Ia membuat senjatanya sendiri, karena hari sudah pagi dan Ia harus pergi dari sana.
Sebelum pergi keluar, Leanna memeriksa kembali mobil rusak yang ada di ruangan itu. Kemarin Ia mencoba mengotak-ngatik mobil itu karena beruntungnya kunci mobil itu masih di sana. Tapi Ia masih kurang beruntung pula, mobil itu kehabisan bensin dan sepertinya sudah mulai rusak mesinnya.
Ia kecewa, jika saja ada laki-laki di sini yang lebih mengerti tentang mesin, mereka pasti bisa kabur lebih mudah menggunakan mobil. Dan soal bensin, harusnya ada satu atau dua tangki jerigen yang di simpan para penebang.
Tunggu, para penebang.
Leanna menggeleng, Ia tak bisa bergantung pada para penebang. Boleh jadi penebang di sini memanglah orang dibalik semua teror yang menimpa mereka.
Sedari dulu Ia memang memiliki sifat curiga. Baik pada yang Ia kenal ataupun tidak. Dan saat misteri tengah berlangsung seperti sekarang, Leanna tidak akan menyerah untuk mengungkap sosok di balik topeng itu. Ia berjanji dalam hati akan membalas sosok itu dan membawanya ke ranah hukum.
Dengan keyakinan kuat itulah Leanna membuka pintu gudang tua tersebut. Cahaya matahari sekarang adalah kobaran semangatnya.
Leanna mulai melangkah menjauh dari sana.
.
.
.
Taiki, Calvino, dan Ara sudah di setengah perjalanan menuju villa. Peta yang mereka bawa itu akurat karena bukan hanya informasi berbentuk garis dan bulat saja,namun dilengkapi beberapa foto. Benar-benar seperti peta untuk tour.
Udara hutan pada pagi itu cukup dingin, sedangkan tanah yang mereka pijak terlarut dengan air. Sepatu ketiganya kotor dan terkadang kepala mereka basah terkena air hujan yang masih menempel di dedaunan.
Kabut masih menyelimuti area itu meskipun tak setebal semalam. Ketiganya berjalan berbaris, Taiki memimpin di depan, Ara di tengah, dan Calvino di belakang. Taiki nampak serius dengan perjalanan kali ini, Ia sudah memiliki firasat buruk di benaknya. Sedangkan Ara terlihat tidak peduli, Ia memperhatikan sekitarnya, mencari keberadaan makhluk hutan seperti tupai ataupun kupu-kupu. Dan Calvi sepertinya tak berhenti menguap, entah Ia tidur jam berapa tadi malam.
"Hei, bagaimana kalau di villa nanti ternyata mereka tak ada?" celetuk Calvino tiba-tiba.
Taiki menghela nafas lelah, Ia menatap ke arah Calvi dengan wajah sedikit kesal. "Jangan bicara yang aneh-aneh! Mereka pasti baik-baik saja," ucap Taiki.
"Aku tidak bicara yang aneh-aneh," elak pemuda Spanyol itu sambil nyengir. Mungkin hanya dia yang bisa tersenyum seperti itu dalam keadaan genting seperti ini. "Aku hanya bertanya," lanjutnya tanpa merasa bersalah sedikitpun.
Ara yang masih memperhatikan sekitar itu kini fokus terhadap keduanya. Gadis itu membenarkan kacamatanya. "Jangan bertengkar!" pintanya pelan. Baik Taiki dan Calvino akhirnya diam.
Bisa dibilang, Taiki lelah sejak perjalanan ke sini, tapi Ia berusaha menahannya. Belum lagi sejak kekacauan muncul, Ia yang terus menjadi penengah. Sebenarnya Ara dan Calvino menyadari itu, tapi mau bagaimanapun juga, masing-masing dari mereka tidak ada yang mampu mengganti posisi Taiki yang sudah natural leader itu.
Jalan yang mereka lewati tinggalah 200 meter lagi. Namun pemandangan sekitar tetap membosankan di pandang.
Pohon, pohon, dan pohon.
Oke, beberapa burung juga beterbangan. Namun setidaknya mereka ingin menemukan keindahan lain di hutan ini.
Saat itu, semuanya sudah bisa melihat petunjuk jalan menuju villa Cloverlives. Dan hanya dengan berjalan beberapa menit lagi, mereka sudah sampai di villa itu.
Villa sederhana dengan tanda daun semanggi di papan namanya.
Ada yang bilang, semanggi dengan bentuk daun empat itu bisa membawa keberuntungan untuk seseorang. Mungkin, itu adalah tujuan awal villa ini dibangun untuk umum.
Namun sekarang, mereka tak merasa begitu.
Setelah mendapati sofa di ruang tengah hancur terbagi dua dan jendela yang terbuka juga pintu yang tak terkunci, mereka cukup frustasi. Tidak ada hawa keberadaan keempat temannya di sana. Tapi ada jejak kaki basah di dalam villa, jejak kaki yang cukup besar. Jejak kaki sepatu boots.
"Jangan bilang yang meneror kita datang semalam?" ucap Calvi tercekat.
Keduanya tak menjawab pertanyaan itu. Banyak skenario yang tengah mereka terka sekarang. Ada kemungkinan keempatnya tertangkap peneror tersebut, ataupun hanya beberapa saja. Tapi mereka berharap keempatnya berhasil kabur dari sana.
Diam-diam mereka berharap, jika saja mereka tidak berpisah.
Jika saja mereka cepat pulang dari sana meski hari sudah malam.
Jika saja para polisi datang.
Namun terlambat sudah menyesali itu semua. Hal yang bisa mereka lakukan sekarang tidak lain dan tidak bukan adalah untuk meminta bantuan langsung kepada aparat keamanan. Mereka harus keluar dari hutan ini terlebih dahulu dan segera tiba ke kantor polisi terdekat, menceritakan yang terjadi.
Polisi pasti akan mengerti jika mereka menceritakannya langsung kan?
"Ayo kita minta bantuan!" ajak Taiki. Ia membawa kedua kakinya melangkah keluar. Ara dan Calvino saling pandang, kemudian keduanya mengikuti pemuda itu.
Meskipun pagi sudah tiba, tapi mereka ingin segera pulang.
.
.
.
3 Days
By Macarin
Karena udah pagi, jadi target pertamanya udah mau diburu nih sama pembunuhnya. Ada yang bisa nebak siapa orang pertama yang bakal diburu?
Next chapter :
"'Tenang saja, kita pasti bisa keluar dari sini!' Begitu, katanya"
Meongmuu Tehashin AisakiRoRa melloncchi potumcream sirupmerah
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top